Faktor lain yang turut memicu perundungan adalah kurangnya mekanisme pelaporan yang efektif di institusi pendidikan tinggi. Banyak mahasiswa yang merasa enggan melaporkan kasus perundungan karena takut akan pembalasan atau merasa laporan mereka tidak akan ditindaklanjuti secara serius. Berdasarkan survei yang sama, 63% mahasiswa yang menjadi korban perundungan memilih untuk tidak melaporkannya karena khawatir akan mendapatkan stigma atau dianggap sebagai pihak yang lemah.
Dampak Perundungan terhadap Korban dan Lingkungan Akademik
Dampak perundungan di perguruan tinggi tidak dapat diremehkan. Seperti yang dialami oleh dokter Aulia, korban dapat mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, hingga keinginan untuk menghentikan studinya. Trauma yang dialami korban juga dapat berpengaruh pada kehidupan pribadi dan profesionalnya di masa depan. Dalam kasus yang lebih parah, perundungan bisa memicu korban untuk melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri.
Selain itu, perundungan juga dapat merusak citra perguruan tinggi secara keseluruhan. Institusi yang gagal menangani perundungan dengan baik bisa kehilangan reputasi sebagai lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung. Hal ini tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga dosen dan seluruh civitas akademika.
Solusi dan Langkah Pencegahan
Mencegah dan menangani perundungan di perguruan tinggi membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh institusi pendidikan tinggi untuk mengatasi masalah ini adalah:
- Kebijakan Anti-Perundungan yang Kuat: Perguruan tinggi perlu merancang kebijakan yang secara jelas mendefinisikan perundungan dan memberikan prosedur pelaporan yang mudah dan aman. Kebijakan ini harus mencakup sanksi tegas bagi pelaku dan perlindungan bagi korban. Pada tahun 2021, hanya 23% dari universitas negeri di Indonesia yang memiliki kebijakan anti-perundungan yang eksplisit, menunjukkan perlunya dorongan yang lebih kuat dalam penerapan regulasi ini.
- Sistem Pelaporan yang Transparan: Perguruan tinggi perlu menyediakan jalur pelaporan yang anonim dan terjamin keamanannya. Laporan-laporan tersebut harus ditangani oleh tim independen yang profesional agar tidak menimbulkan kesan bahwa laporan akan diabaikan atau direspons secara tidak objektif. Menurut penelitian oleh Universitas Gadjah Mada pada tahun 2022, institusi yang memiliki tim independen dalam menangani kasus-kasus perundungan dapat mengurangi insiden perundungan hingga 30% dalam dua tahun pertama penerapan kebijakan.
- Edukasi dan Pelatihan Kesadaran: Semua civitas akademika, baik mahasiswa, dosen, maupun staf, perlu diberikan pelatihan tentang dampak negatif perundungan dan pentingnya menjaga etika serta menghormati satu sama lain. Di beberapa negara, program edukasi anti-perundungan yang diterapkan secara rutin berhasil menurunkan angka perundungan hingga 45%. Di Indonesia, program semacam ini masih terbatas dan perlu ditingkatkan.
- Dukungan Kesehatan Mental: Perguruan tinggi harus memperkuat layanan dukungan kesehatan mental bagi mahasiswa. Bukan hanya untuk korban perundungan, tetapi juga untuk semua mahasiswa yang mengalami tekanan akademik atau sosial. Layanan ini harus mudah diakses, bersifat rahasia, dan melibatkan profesional di bidang kesehatan mental. Perguruan tinggi yang menyediakan layanan ini secara komprehensif telah dilaporkan mengalami penurunan insiden perundungan hingga 20% dalam kurun waktu lima tahun.
Penutup
Kasus dokter Aulia menjadi pengingat dan merupakan cerminan dari permasalahan mendalam yang masih menghantui lingkungan perguruan tinggi di Indonesia bahwa perundungan di perguruan tinggi bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Institusi pendidikan tinggi, sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya intelektual muda, harus menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi semua mahasiswanya. Melalui kebijakan yang tepat, edukasi yang berkelanjutan, serta dukungan psikologis yang memadai, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik, di mana perundungan tidak lagi menjadi ancaman bagi masa depan akademik mahasiswa.Institusi pendidikan tinggi  juga harus lebih responsif dalam menangani masalah ini demi menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi seluruh mahasiswa. Hanya dengan langkah tegas dan terarah, kasus serupa dapat dicegah di masa depan, sehingga perguruan tinggi dapat menjadi tempat tumbuhnya intelektual yang sehat, baik secara akademis maupun psikologis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H