Mohon tunggu...
Wiwik Agustina
Wiwik Agustina Mohon Tunggu... Lainnya - Writer and Long Life Learner

Concern about Self Development and Poverty. Welcome to My Universe! From science to digital marketer. I believe that humans do what they think, and think what they believe, let's start changing our thoughts through sentences.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sulitnya Berpikir Kritis di tengah Perang Attention Economy untuk Gen Y, Z, dan Alpha

21 Januari 2025   15:04 Diperbarui: 21 Januari 2025   15:04 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berpikir kritis (Sumber:https://deepai.org/)

Melalui kemampuan berpikir secara mandiri, seseorang mampu mempertahankan opininya berdasarkan data dan fakta bukan apa yang orang atau society katakan.

Di era digital, di mana informasi membanjiri kita tanpa filter, kemampuan berpikir kritis mengalami penurunan akibat pengaruh attention economy dari media sosial. Bagi gen Y, Z dan Alpha, yang tumbuh di era media sosial mendominasi, tentu menjadi tantangan tersendiri untuk melatih diri agar mampu fokus, menganalisa, dan memiliki curiosity, sehingga tidak mudah tergiring opini bahkan termakan hoax.

Apa itu attention econmy? Kondisi dimana perusahaan dan individu berupaya mendapatkan perhatian atau atensi untuk mendapatkan keuntungan. Dan, sadarkah kita bahwa di perang attention economy ini, kita adalah objek penghasilan bagi para pemilik media sosial?

Ya, waktu dan atensi kita di media sosial adalah revenue perusahaan. Sekalipun banyak orang juga mendapatkan keuntungan dan pekerjaan, sayangnya dampak yang terhindarkan adalah penurunan fungsi kognitif otak yang ditandai dengan sulitnya fokus dan berpikir kritis menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Baca juga: 2025: Bersiap untuk Masa Depan, Apa dan Bagaimana?

Degradasi Kemampuan Berpikir Kritis

Apa itu berpikir kritis? Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mensintesis informasi untuk membuat keputusan dan penilaian yang masuk akal. Di era informasi yang melimpah, kemampuan untuk membedakan sumber yang dapat dipercaya, mengenali bias, dan mengevaluasi argumen sangatlah penting.

Berdasarkan The Conversation, Tiktok menjadi platform yang masif menyebarkan isu, disinformasi atau hoax, dan ujaran kebencian melalui video. Selain itu, tak jarang kita melihat konten-konten poor quality atau receh menjadi viral, alhasil konten serupa semakin diikuti oleh content creator lainnya untuk menghasilkan konten receh yang sama.

Candu konten receh tersebut menjadi salah satu faktor turunnya kemampuan otak kita, sehingga mengakibatkan banyak orang tidak mampu berpikir kritis untuk membedakan mana informasi yang benar dan editan. Lantas, bagaimana perang attention economy mempengaruhi kehidupan kita?

1. Mudahnya Seseorang Dimanipulasi

Dalam dunia yang didominasi oleh clickbait, berita palsu, dan konten berbasis algoritma, tanpa berpikir kritis membedakan antara informasi yang dapat dipercaya dan yang menyesatkan memperbesar kemungkinan mudahnya seseorang dimanipulasi dan dimanfaatkan.

Tanpa berpikir kritis, seseorang cenderung mudah digiring opini karena tidak mampu berpikir secara mandiri. Melalui kemampuan berpikir secara mandiri, seseorang mampu mempertahankan opininya berdasarkan data dan fakta bukan apa yang orang atau society katakan.

2. Turunnya Kemampuan Berinovasi

Kemandirian berpikir akan menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif dan menantang asumsi. Alhasil seseorang mampu memecahkan masalah dan mendorong kemajuan di berbagai bidang. Sayangnya, bagaimana mampu memberikan solusi jika kemampuan melihat masalah dan berpikir sistematis tidak dimiliki?

Kita telah melihat banyaknya masalah tidak terselesaikan hanya karena kita gagal untuk melihat akar masalah sebenarnya. Seperti, banyaknya kasus pinjaman online (pinjol), solusi yang dipilih adalah dengan mengubah nama menjadi pindar atau pinjaman daring, bukan perbaikan kondisi ekonomi dan literasi keuangan.

3. Pengambilan Keputusan Kurang Bijaksana

Keputusan yang bijaksana berasal dari kemampuan untuk mempertimbangkan opsi, memikirkan konsekuensi, dan memilih dengan bijak. Sayangnya, dengan lemahnya berpikir kritis dan sistematis, banyak orang mengambil keputusan dalam hidup dengan tidak bijaksana.

Kita sering melihat konten di media sosial dimana banyak orang menikah karena lelah bekerja, bukan? Pertanyaan selanjutnya, apakah setelah menikah, kondisi ekonomi secara otomatis membaik dan menjadi kaya? Parahnya, banyak orang kurang memikirkan konsekuensi dari pernikahan yang tidak dipersiapkan dengan baik.

Berpikir kritis bukan hanya skill berharga, tetapi juga alat bertahan hidup dan tetap waras di dunia digital dewasa ini.

Baca juga: 7 Alasan Pentingnya Pendidikan untuk Hidup Berkualitas

Menurunnya Attention Span Generasi Y, Z, dan Alpha sebagai Dampak Attention Economy

Nyata terjadi bahwa attention span setiap generasi semakin menyusut yang menjadi ciri khas era digital, dimana:

  • Generasi Y (Milenial)

Mereka yang lahir antara 1981 dan 1996, tumbuh selama transisi dari analog ke digital. Meski generasi ini mahir multitasking, nyatanya juga menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan pekerjaan, media sosial, dan kehidupan pribadi.

Media sosial berhasil membuat attention span generasi ini menurun, dimana rata-rata milenial dapat mempertahankan fokus sekitar 12 detik sebelum terganggu. Meski keterampilan berpikir kritis mereka dibentuk selama masa tumbuh, konektivitas terus-menerus di masa dewasa menjadi tantangan untuk menjaga fokus.

  • Generasi Z

Mereka yang lahir antara 1997 dan 2012, adalah generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya di era digital. Media sosial menjadi bagian integral dari sosialisasi dan pembentukan identitas mereka. Alhasil,  attention span gen Z berdasarkan penelitian menunjukkan sekitar 8 detik untuk tetap fokus.

Attention span yang lebih pendek, dikombinasikan dengan ketergantungan pada konten yang dikurasi algoritma, membuat generasi ini sulit terlibat secara mendalam dengan ide-ide kompleks dan mengembangkan perspektif yang berbeda.

  • Generasi Alpha

Lahir setelah 2012, Generasi Alpha dibesarkan dengan perangkat pintar sebagai mode interaksi utama mereka. Perkembangan kognitif dan sosial mereka sangat terkait dengan teknologi. Studi yang sedang berkembang menunjukkan bahwa attention span Generasi Alpha mungkin lebih pendek dibandingkan Gen Z, meskipun angka pastinya masih dalam penelitian.

Paparan dini dari konten digital dapat membentuk jalur saraf mereka, yang berpotensi membatasi kemampuan untuk fokus pada tugas non-digital dan menghambat pengembangan keterampilan berpikir kritis. Alhasil, kita kerap melihat lemahnya generasi ini dalam hal literasi dan numerasi.

Baca juga: Ambil Keputusan Keuangan Lebih Baik dari Membaca Psychology of Money

Membangun Berpikir Kritis di Tengah Distraksi

Meskipun tantangan yang ditimbulkan oleh ekonomi perhatian sangat besar, tantangan tersebut bukan tidak dapat diatasi, khususnya untuk orang tua. Apa yang bisa dilakukan untuk membatasi distraksi ini?

1. Pendidikan Literasi Digital

Mengajarkan anak cara mengevaluasi sumber, mengidentifikasi informasi yang salah, dan mengenali bias algoritmik sangat penting. Sekolah dan orang tua dapat memainkan peran penting dalam mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum dan kehidupan sehari-hari.

2. Praktik Mindfulness

Mindfulness dapat membantu mengatasi fokus yang terfragmentasi akibat gangguan digital yang konstan. Praktik seperti meditasi, menulis jurnal, dan waktu "tanpa teknologi" yang disengaja mendorong refleksi dan pemikiran mendalam. Hal ini juga diperlukan untuk orang tua agar tetap berpikir logis dalam mendidik anak.

3. Mendorong Konsumsi Konten Panjang

Membaca buku, menonton film dokumenter, dan membaca artikel mendalam dapat mengimbangi efek konten berdurasi pendek. Hal ini dapat orang tua lakukan bersama dengan anak, pastikan memberikan platform yang memprioritaskan materi edukatif dan pemikiran mendalam sesuai dengan usia.

4. Diskusi Kritis

Latih kemampuan anak untuk berpikir kritis dengan membangun pertanyaan dan rasa ingin tahu, membiasakan terlibat dalam debat, diskusi kelompok, dan latihan pemecahan masalah dapat meningkatkan keterampilan analitis dan memaparkan pada berbagai sudut pandang.

5. Menetapkan Batasan dengan Teknologi

Orang tua harus berani menetapkan zona atau waktu tanpa teknologi, termasuk memberikan contoh untuk membatasi penggunaan media sosial, menciptakan ruang untuk berpikir tanpa gangguan atau notifikasi media sosial, dan mendukung interaksi yang bermakna antara orang tua dan anak.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh orang tua dan individu dewasa untuk berhenti menjadi objek dari attention economy ini. Dengan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis dan menavigasi fokus dengan bijak, generasi emas dan unggul bukan hanya isapan jempol.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun