Filter, siapa yang tak kenal fitur media sosial satu in yang membuat persona lebih menarik. Media sosial memang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, khususnya gen Z. Memeriksa notifikasi, scroll feed, dan berbagai postingan sudah jadi kebiasaan.
Namun, di balik gemerlapnya pesona 'filter' media sosial, yang menampilkan kehidupan serba sempurna, menjadi tampil otentik atau apa adanya menjadi barang mahal yang sulit ditemui. Alhasil, seseorang cenderung mudah ditipu dengan iming-iming kehidupan 'media sosial' yang seakan sempurna. Lantas, bisakah menjadi manusia otentik di tengah 'filter' media sosial?
Gen Z dan Fenomena 'Filter' Media Sosial
Filter, dalam konteks media sosial, bukan hanya tentang fitur pengeditan foto atau video yang dapat membuat wajah terlihat lebih halus atau latar belakang lebih estetik. Namun, filter juga tentang bagaimana seseorang memilih untuk menampilkan dirinya kepada dunia, baik melalui foto, momen bahagia, bahkan pencitraan dengan tujuan mendapat validasi dari orang lain.
Tidak ada yang salah dengan menggunakan filter, baik secara literal maupun figuratif. Namun, ketika penggunaan filter menjadi dominan, sering kali muncul kesenjangan antara "diri yang ditampilkan" dan "diri yang sebenarnya." Hal ini dapat menciptakan tekanan sosial untuk tampil sempurna, yang pada akhirnya membuat seseorang untuk hidup dalam fatamorgana.
Apalagi untuk gen Z yang lahir di tengah media sosial dengan standar 'netizen' menjadi sesuatu yang nampak valid. Alhasil, banyak dari mereka yang insecure saat berinteraksi secara offline atau face to face dan lebih percaya diri saat tampil di depan kamera karena bantuan 'filter'. Maka, seberapa penting gen Z perlu belajar menjadi otentik?
Baca juga: Bangun Mentalitas Kaya dengan Investasi Emas Mulai dari 50 Ribu
Apa Itu Otentik?
Menjadi otentik atau menjadi diri sendiri tanpa berpura-pura atau mencoba menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain adalah tujuan dari human design, yaitu sistem yang digunakan untuk mempelajari diri sendiri, termasuk potensi dan cara mengambil keputusan.
Dengan menjadi otentik, seseorang mencoba untuk mengenal diri sendiri, baik kekuatan dan kelemahan diri. Tentunya, perlu disertai dengan konsisten dan jujur, dimana seseorang tidak takut untuk terlihat tidak sempurna namun selalu berusaha melakukan yang terbaik sesuai versinya.
Sayangnya, di era media sosial, otentik menjadi suatu tantangan. Tekanan untuk "menyesuaikan diri" agar diterima, atau bahkan mendapatkan validasi dalam bentuk likes, komentar, dan followers, menyebar lintas generasi. Tantangan apa saja yang dialami, khususnya oleh gen Z?
1. Tekanan untuk Tampil Sempurna
Budaya "highlight reel," di mana orang hanya membagikan momen terbaik dalam hidup, dan cenderung membuat seseorang merasa bahwa hidupnya kurang menarik dibandingkan orang lain. Seakan menjadi 'virus', fenomena ini menyebar luas untuk selalu tampil sempurna dan menanggalkan realitas bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai ekspektasi.