Dalam diskusi atau debat, kita sering kali sulit memisahkan bahwa apa yang sedang dikritisi dan diuji adalah ide. Alhasil, kita sering mendengar dan melihat ketersinggungan atau kritik yang cenderung mengarah ke personal atau self. Bahkan, debat Pemilu terakhir juga menunjukkan bagaimana para politikus menyerang personal lawan, bukan ide atau gagasan.
Ide dan gagasan, jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah hasil pemikiran. Hasil pemikiran berasal dari apa yang kita lihat, baca, dengan, sentuh, rasakan, dari lima indera manusia yang melewati proses berpikir di otak yang panjang.
Maka sangat mungkin seorang akan yang lain memiliki ide atau gagasan yang berbeda. Oleh sebab itu, forum-forum diskusi atau berdebat perlu dinormalisasi sehingga kita dapat menguji ide dan gagasan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Baca juga: Sinergis ChatGPT dan Empati untuk Menulis Cepat dengan Rasa
Menormalisasi Budaya Berdiskusi dan Berdebat
Diskusi dan berdebat merupakan forum dimana kita bisa menguji ide dan gagasan kita, sayangnya tujuh tahun saya berkuliah hingga bergelar M.Si, forum ini jarang saya temukan di kampus. Diskusi bertujuan untuk mencapai kesepakatan, sedangkan berdebat bertujuan untuk mempertahankan argumen dengan mematahkan argumen lawan.
Berdasarkan Bagus Muljadi, kata debat berasal dari bahasa latin yaitu disbattere, yang berarti to fight atau melawan, suatu forum dimana ide (proposisi) diuji dan dibantah yang bertujuan untuk menguji kemampuan bernalar atau berpikir seseorang.
Sayangnya saat berdiskusi dan berdebat, seseorang kerap kali lupa bahwa yang diuji adalah ide dan gagasan bukan personal, alhasil yang muncul adalah argumen-argumen yang penuh dengan ketersinggungan, berusaha menjatuhkan lawan dengan mencederai citra personal, seperti menyerang fisik, masa lalu, citra, dan reputasi, sehingga tidak menghasilkan kesimpulan yang produktif dan bermakna.
Lantas, bagaimana kita bisa fokus untuk menguji ide dan gagasan daripada menyerang personal? Saat berdiskusi dan berdebat, perlu kita pahami bahwa dibutuhkan sikap rendah hati untuk mau dikritik. Memang benar, terbuka untuk dikritik bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, namun untuk sebuah kemajuan, kritikan perlu diberikan agar kita bisa melihat blind spot dari pemikiran kita.
Kita dituntut untuk memisahkan gagasan dan identitas diri, karena pemikir yang baik tidak bertujuan untuk memenangkan perdebatan namun menemukan solusi terbaik dengan mengawinkan hasil ide dan gagasan yang telah diuji, itulah kolaborasi.
Sama halnya saat mahasiswa menghadapi sidang skripsi, tesis, atau disertasi. Semua premis dan kesimpulan dari data-data yang ada, diuji dan diperdebatkan, pertanyaannya adalah apakah kita bisa mempertahankan argumen dengan logis atau tidak.
Memang butuh melatih diri untuk memusatkan perhatian pada apa yang dibicarakan bukan pada siapa yang berbicara. Misalnya, saat kita mengkritisi kebijakan pemerintah bukan berarti kita menyerang pembuat kebijakan (misalnya presiden), namun kebijakan atau aturan yang dibuat.
Baca juga: Era Tsunami Informasi, Critical Thinking jadi Solusi dari Sesat Pikir
Mengapa Penting Memisahkan 'Idea' dan 'Self'?
Kita perlu memisahkan diri antara 'idea' dan 'self' dalam berdiskusi atau berdebat untuk membangun budaya berdiskusi dan berdebat yang lebih berkualitas dan sehat. Tidak hanya dibangku pendidikan, namun juga di tongkrongan, atau kumpul-kumpul di kampung.
Kita sering melihat pertengkaran terjadi dan berakhir dengan penghilangan nyawa karena tidak terbiasa untuk berdiskusi atau berdebat, yang muncul bukanlah solusi namun ketersinggungan dan sakit hati.
Membiasakan diri untuk berdiskusi dan berdebat manjadi salah satu cara untuk manusia berpikir dan mencari solusi terbaik tanpa merasa terancam dan terintimidasi. Alhasil, akan terbagun lingkungan yang nyaman dengan berbagai ide tumbuh didalamnya.
Kedewasaan emosional dan intelektual terbentuk, pengambilan keputusan dengan pikiran kritis dan logis, akan keras terdengar di masyarakat. Memang tidak mudah, namun bisa diusahakan. Khususnya untuk individu yang memiliki pendidikan tinggi, public figure, pejabat, harus mampu memberikan contoh dan membangun standar bagaimana berdiskusi dan berdebat yang sehat.
Mimpi besar untuk terbangunnya kondisi sosial masyarakat Indonesia yang mampu berpikir dan mengambil keputusan yang logis bukan lagi mengikuti hal mistis, bukan lagi isapan jempol belaka. Karena tanggung jawab itu ada pada kita, manusia, yang diberikan otak untuk berpikir dan hati untuk berempati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H