Mohon tunggu...
Wiwik Agustina
Wiwik Agustina Mohon Tunggu... Lainnya - Writer and Long Life Learner

Concern about Self Development and Poverty. Welcome to My Universe! From science to digital marketer. I believe that humans do what they think, and think what they believe, let's start changing our thoughts through sentences.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Poverty Paradox, Lingkaran Setan antara Kemiskinan dan Kemajuan

13 November 2024   18:10 Diperbarui: 15 November 2024   06:44 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemiskinan bukan sekedar kurangnya sumber daya keuangan, namun juga kondisi yang berdampak pada kemampuan seseorang untuk berpikir, merencanakan, dan bertindak agar dapat keluar dari kemiskinan.

Berbicara tentang kemiskinan adalah suatu yang kompleks. Namun, sebelum membahas lebih dalam, siapa yang dapat dikatakan kategori miskin? Jika berdasarkan BPS (Badan Pusat Statistik), seseorang dikatakan miskin jika pengeluaran bulanan kurang dari Rp 582.932 per kapita, atau Rp 2.786.415 per rumah tangga.

Menjadi miskin di Indonesia memiliki keuntungan tersendiri dibanding menjadi kelas menengah, berbagai program bantuan sosial (bansos) yang disalurkan oleh pemerintah tersedia untuk mereka yang miskin, seperti Bantuan Langsung Tunai, Bantuan Pangan Beras, Bantuan Pangan Non Tunai, sampai dengan Program Indonesia Pintar.

Bantuan ini bisa jadi pedang bermata dua, dimana bisa membantu mereka yang miskin namun sekaligus ‘meninabobokan’ sehingga nyaman berada dalam kemiskinan dengan semua bantuan yang diberikan. Ada juga yang berusaha untuk keluar dari kategori miskin, namun semua bantuan yang telah diperoleh akan hilang. Inilah bagian dari paradoks kemiskinan atau poverty paradox.

Paradoks kemiskinan mengacu pada hubungan yang tampaknya kontradiktif antara kemiskinan dan upaya untuk naik kelas, sekaligus bagaimana kemiskinan tetap bertahan sekalipun ada banyak intervensi untuk mengentaskannya. Kemiskinan bukan sekedar kurangnya sumber daya finansial, namun lebih kompleks daripada itu.

Ada banyak tantangan yang perlu diselesaikan dan membutuhkan kerja sama dari semua pihak, seperti pembuat kebijakan, organisasi masyarakat, dan masyarakat termasuk mereka yang berada di kategori miskin.

Baca juga: Kompleksitas Kemiskinan Tidak Mudah Dipatahkan, Tapi Bukan Berarti Tak Bisa

Keluar dari Kemiskinan, Mungkinkah?

Sadar kalau bodoh adalah jalan pertama untuk punya hidup lebih baik. Sadar kalau miskin adalah jalan pertama untuk ekonomi yang lebih baik. 

Cara pandang terhadap suatu masalah akan mempengaruhi bagaimana kita menyelesaikan suatu masalah. Kemiskinan adalah kondisi yang kompleks, tidak hanya kurangnya akses terhadap sumber daya pangan, papan, sandang, namun juga kesehatan dan pendidikan.

Dengan semua bantuan yang diberikan oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat, kesenjangan antara mereka yang kaya dan miskin semakin lebar. Jadi, tentu saja solusi dari kemiskinan bukan sekedar akses kepada uang.

Sepanjang 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% namun tidak secara otomatis membuat kemiskinan semakin menurun, realitanya adalah mereka yang jatuh di kategori miskin semakin meningkat. Maka, pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan oleh semua kalangan, namun hanya kalangan tertentu. Lantas, apakah bisa keluar dari kemiskinannya?

Baca juga: Bijaksana Atur Keuangan Pribadi untuk Kelas Menengah

Ada banyak hambatan yang harus dihadapi, mulai dari akses pendidikan yang buruk, kurangnya layanan kesehatan, minimnya keuangan, hingga kebijakan yang diskriminatif. Kita bisa lihat dari konten viral yang menunjukkan siswa SMA yang belum bisa pembagian sederhana bahkan membaca, miris bukan?

Selain pendidikan, keterbatasan pada akses kesehatan juga terhambat. Tanpa layanan kesehatan yang memadai, seseorang tentu tidak dapat maksimal dalam bekerja, belajar, atau mengurus keluarga, dan kemiskinan sulit untuk dipatahkan.

Hal ini menciptakan lingkaran setan dimana kurangnya layanan kesehatan menghalangi masyarakat untuk keluar dari kemiskinan, dan kondisi kemiskinan itu sendiri berkontribusi terhadap buruknya kondisi kesehatan.

Belum lagi faktor psikologis dari mereka yang lahir dari keluarga miskin. Berdasarkan penelitian, ada perbedaan yang mendasar terhadap fungsi otak dan kemampuan mengambil keputusan atau fungsi kognitif, dari mereka yang lahir miskin dengan yang lahir kaya.

Jadi, wajar jika mereka yang lahir miskin sulit untuk membuat pilihan dan merencanakan masa depan untuk memperbaiki keadaan, bahkan saat peluang itu ada, mereka sulit untuk memanfaatkan peluang tersebut agar keluar dari kemiskinan.

Baca juga: Tingkatkan Fungsi Kognitif Otak dengan Membaca

Harga yang Harus Dibayar

Semua ada harga yang perlu dibayar, mana yang mau Anda bayar?

Jika melihat kompleksitas hambatan yang ada, di tengah kemudahan akses internet, tentu ‘kurangnya informasi’ tidak bisa menjadi alasan untuk keluar dari kemiskinan. Memiliki curiosity mencari informasi ‘apa itu miskin, bagaimana keluar dari kemiskinan, dan bagaimana cara menjadi kaya’. Kesadaran diri adalah langkah pertama untuk hidup yang lebih baik. 

Dalam scope yang lebih luas, salah satu contoh dari pendekatan tersebut adalah konsep “pertumbuhan inklusif,” yang menekankan pentingnya memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi memberikan manfaat bagi semua sektor masyarakat, terutama kelompok masyarakat termiskin.

Kerjasama antara diri sendiri dan pihak eksternal, seperti pemerintah, organisasi masyarakat yang fokus pada pengentasan kemiskinan, atau pihak lain yang memiliki daya, akan membantu proses peningkatan kualitas hidup lebih cepat.

Selanjutnya adalah literasi, bagaimana mengambil keputusan dalam hidup, seperti keuangan, dengan memahami cara mengelola uangnya, menabung untuk masa depan, dan mengambil keputusan yang tepat sehingga dapat memutus siklus kemiskinan. Dan keputusan penting lainnya, seperti skill, cara pikir, dan karakter yang perlu dimiliki, merencanakan masa depan, memilih pasangan hidup, dan lainnya.

Referensi: 

- https://academic.oup.com/book/4979/chapter-abstract/147448124?redirectedFrom=fulltext&login=false

- https://source.washu.edu/bookshelf/the-poverty-paradox/ 

- https://www.kcl.ac.uk/news/spotlight/the-poverty-paradox-helping-the-worlds-poorest-people 

- https://www.christenseninstitute.org/book/the-prosperity-paradox-how-innovation-can-lift-nations-out-of-poverty/ 

- https://www.kompas.com/tren/read/2024/07/06/110000565/catat-ini-kriteria-penduduk-miskin-menurut-laporan-bps-2024?page=all

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun