Mohon tunggu...
Wiwik Agustina
Wiwik Agustina Mohon Tunggu... Lainnya - Writer and Long Life Learner

Concern about Self Development and Poverty. Welcome to My Universe! From science to digital marketer. I believe that humans do what they think, and think what they believe, let's start changing our thoughts through sentences.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Money Habits: Obrolan Wajib Sebelum Menikah, Kenapa?

2 September 2024   05:45 Diperbarui: 2 September 2024   16:40 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara uang masih menjadi hal tabu ditengah masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang menjalani hubungan asmara menuju tahap selanjutnya yang lebih serius, yaitu pernikahan. Topik pembahasan uang menjadi salah satu topik krusial yang harus dibahas sebelum menuju ke pernikahan. Sayangnya, tidak semua pasangan mau terbuka dan mengambil keputusan untuk membicarakan 'Money Habits'.

Berbicara tentang uang tentu tidak lepas dengan background keluarga, cara pengasuhan orang tua, bahkan lebih dalam dari itu, ini juga berkaitan dengan bagaimana kondisi psikologi ibu saat mengandung. Topik uang menjadi salah satu concern dari hasil membaca buku Psychology of Money dan hasil perbincangan dengan Mr. Yusa Aziz, seorang Master Coach & Business Psychology yang saya dengar dari platform 30 Days of Lunch.

Memperlakukan Uang, Membaca Karakter Seseorang

"Cinta uang adalah akar dari segala kejahatan", pernah mendengar kalimat tersebut? Jika Anda pernah membaca buku 'Rich Dad Poor Dad', kalimat ini pernah disinggung sebagai salah satu believe dari Poor Dad. Namun, berbeda dengan sudut pandang dari Rich Dad bahwa 'kekurangan uang adalah akar dari segala kejahatan'. Perbedaan sudut pandang ini salah satunya dipengaruhi oleh latar belakang finansial dari sebuah keluarga.

Sebagai contoh, saya terlahir dari keluarga yang secara finansial tidak mapan, dengan pendidikan finansial yang kurang, dan cukup berusaha keras untuk mencukupi kebutuhan primer. Konsekuensi dari kondisi ini adalah sejak kecil saya tidak memiliki waktu yang cukup dengan Ayah dan melihat bagaimana seorang Ibu juga turut berjuang keras untuk membantu kondisi keuangan keluarga.

Kenyataan tersebut membangun sudut pandang saya bahwa uang itu susah diperoleh sehingga perlu untuk bekerja keras, dan menjadikan saya pribadi yang begitu selektif saat menggunakan uang, sehingga mudah bagi saya untuk menabung. Hal ini divalidasi oleh statement dari Mr. Yusa Aziz, bahwa unconscious atau alam bawah sadar manusia merekam semua peristiwa dan mempengaruhi karakternya saat dewasa.

Tentu bukan perkata mudah untuk membicarakan obrolan terkait uang, bahkan sesederhana mempertanyakan gaji pasangan, tidak semua orang berani untuk terbuka. Membicarakan aset, hutang piutang, alokasi pendapatan, instrumen investasi, dan lainnya menjadi topik yang langka untuk dibicarakan. Nyatanya, dengan membicarakan hal tersebut menjadi salah satu cara untuk mengenal bagaimana karakter seseorang yang akan Anda nikahi.

Namun, jika Anda dengan pasangan sudah memulai membicarakan 'hal berat' ini, congratulations karena Anda sudah mempersiapkan untuk memiliki pernikahan yang langgeng dan berbahagia. Kenapa? suka atau tidak suka, uang selalu menjadi objek yang terlibat dalam setiap aspek kehidupan manusia.

Salah satu pernyataan yang tertulis di buku Psychology of Money menuliskan bahwa mengelola uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan, namun lebih banyak berhubungan dengan perilaku seseorang. Disisi lain, tidak semua keberhasilan selalu disebabkan oleh kerja keras atau kemiskinan yang selalu disebabkan oleh kemalasan, ADA BANYAK FAKTOR. Itu hal yang perlu kita sadari bersama, bagaimana pentingnya mengetahui perilaku dan kebiasaan dari seseorang, khususnya pasangan kita.

Perlu keterbukaan, kejujuran, dan saling memahami pentingnya untuk membicarakan uang saat menjalin hubungan yang serius, karena saya meyakini bahwa setiap orang memiliki harapan untuk menikah sekali seumur hidup, namun tidak semua orang mau membicarakan hal-hal berat yang membantu menentukan orang seperti apa yang akan kita nikahi dan pernikahan seperti apa yang akan dibangun. 

Stimulus Value Role: Pernikahan dan Stimulus yang Anda Pilih

Murstein, 1970. Salah satu teori yang menurut saya relevan untuk kondisi saat ini yaitu Teori Stimulus Value Role (SVR), bahwa ada tiga tahapan sebelum seseorang memutuskan untuk menikah yaitu Stimulus (ketertarikan), Value (nilai), dan Role (peran). Mari kita perhatikan bagaimana setiap stage mendukung untuk memperbesar peluang pernikahan yang berbahagia.

  • Tahap Stimulus

Ini merupakan tahap pertama dimana dua orang didasarkan pada faktor-faktor eksternal mengalami ketertarikan antara satu dengan lainnya. Faktor eksternal ini bermacam-macam, seperti penampilan fisik, sikap, bahkan kekayaan, seperti kendaraan yang digunakan, brand fashion yang dikenakan, itu adalah hal lumrah. Jika ketertarikan timbul, maka bersiap untuk ke stage selanjutnya.

  • Value

Penting untuk setiap individu mengeksplorasi value dari pasangannya, seperti kesesuaian nilai, sudut pandang, keyakinan hidup, tujuan hidup, termasuk bagaimana perilaku pasangan terhadap uang. Pada tahap ini, setiap pasangan perlu untuk saling terbuka mengenai point of view mereka tentang agama, keuangan, gaya hidup, politik, pola asuh, dan harapan untuk masa depan. Penting untuk memastikan bahwa value yang Anda yakini sejalan dengan pasangan, tidak perlu 100% namun pastikan mendekati kesamaan.

  • Role

Tahap terakhir adalah peran atau role. Dimana setiap pasangan mulai menguji dan menyesuaikan diri dengan peran masing-masing dalam hubungan, seperti peran suami, istri, dan orang tua. Hal ini akan membantu pasangan memahami bagaimana untuk berfungsi dan bekerja sama dalam jangka panjang. Di tahap inilah, akan terjawab apakah hubungan ini akan dibawa ke pernikahan atau tidak.

Sayangnya, tidak semua pasangan mau melewati tahapan ini untuk menyediakan waktu, terbuka untuk diuji dan berbagi secara jujur, termasuk dalam hal keuangan. Tak perlu disangkal, bahwa faktor utama dalam perceraian adalah faktor ekonomi. Namun yang tak pernah dibahas bahwa faktor ekonomi hanyalah faktor permukaan, lebih dalam dari itu adalah perilaku dan karakter yang dibangun bertahun-tahun.

Memulai dengan memperbaiki kebiasaan dan hubungan kita dengan uang, akan membantu kita dalam menjalin hubungan jangka panjang dengan lebih berbahagia. Cek hubunganmu dengan uang, apakah kita memiliki hubungan bahwa uang adalah hamba yang baik atau tuan yang buruk bagi manusia.

***

Referensi:

1. Buku Psychology of Money, dari Morgan Housel

2. Murstein, 1970. Journal of Marriage and Family.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun