Kalah dan terkendala, aku menyadari setelah 25th hidup disini, di suatu negara yang kata orang kaya dan ramah. Rumah kecil di lapangan sebelah, sebuah rumah yang hangat dengan kesederhanaan, aku, lara nusa, menangis untuk pertama kali. Entah, apakah ini tanda kebahagiaan atau awal dari proses kebijaksanaan?
"Ara, ayo main!", ajak aisyah sambil membawa karet gelang di tangannya. Panas terik tak menghalangi langkah kakinya setelah pulang dari sekolah. Tak lama, hanya 30 menit cukup untuk membuat kulitku 'gosong' akibat terik matahari.
"Ara gak bisa main ya Aisyah, Ibu gak ngijinin ni", teriak ku dari balik jendela. Kalimat yang selalu aku rindu setelah menjadi dewasa. Ya, bermain di siang hari sepulang sekolah, rasanya beban hidupnya hanya sebatas mengerjakan PR dan jadi peringkat 10 besar di kelas, tidak muluk hanya 10 besar.
Mengumpulkan karet gelang di tumpukan sampah, atau menukar dengan koin 500 rupiah waktu itu sudah cukup membuatku bahagia. Menang dan mendapatkan karet gelang dari Aisyah, bisa menemukan dia di balik tembok 'gang kecil' atau sekat 30 sentimeter antar rumah, rasanya sudah membuatku semangat untuk bangun tidur. "Ye, besok main lagi sama Aisyah", kalimat yang selalu muncul di otakku sebelum beranjak tidur. Namun, sekarang berbeda!
Rasa bahagia dan semangat untuk bangun pagi mulai memudar saat aku beranjak dewasa, ya, Ara bukan lagi Ara 20 tahun lalu. Sekarang aku terpenjara dalam kata 'dewasa' dan meredefinisikan kembali apa itu kebebasan? apa itu kemerdekaan? apakah aku adalah manusia merdeka?
Tubuhku bebas namun jiwaku terkurung dengan mimpi kembali ke masa kecil itu, saat aku masih merdeka untuk mensyukuri nikmatnya hidup, saat aku masih merdeka untuk mempercayakan diri kepada nasihat ibu dan bapak, saat aku masih merdeka untuk menyadari betapa cantik aku dilahirkan, ya saat itu.
"Akhirnya besok sabtu", keluhku setiap minggu. Menjadi pegawai kantoran di pusat kota Jakarta tampaknya begitu mewah, tentu saja, jika dibandingkan dengan rumah kecil di lapangan sebelah gudang besi tua. Tapi, kemerdekaanku direnggut, aku mencoba mencari jalan keluar, buntu.
Terkurung dalam rutinitas, terkurung dalam nominal yang perlu dibayar setiap bulan, atau aku terkurung dalam ketakutanku sendiri untuk melangkah dengan bebas, entahlah! Kaki berjalan lepas, dadaku bernafas tanpa batas, telingaku mendengar tak terhalang, mataku melihat dengan jelas, tapi pikiranku lepas dan hatiku tak pernah bebas.
"Sudahlah, akui saja bahwa tanpa orang dalam kau tak bisa apa-apa!", kalimat yang sering aku dengar disini. Di kota yang tak pernah sepi, di kota dimana semua mimpi tak pernah mendapat kedudukan dan kesempatan yang sama karena hidup semakin pekat terasa tak adil disini.
Banyak orang yang bekerja dari pagi sampai malam untuk uang 50 ribu rupiah, namun hanya dengan 1 postingan media sosial saja yang lainnya bisa dibayar dengan 50 juta rupiah. Banyak yang berjualan 10 ribu untuk membuat kenyang, dan 50 ribu dengan konten pencitraan.
Ramai kota ini, aku tak lagi mendengar suara diri sendiri. "Bagaimana kabarmu Ara? Bagaimana kabarmu Ara? Bagaimana kabarmu Ara?". Terpenjara dengan berisiknya kota membuat aku lupa untuk mengajak diriku berbicara. Aku telah lama mengambil kemerdekaan diriku untuk berbicara karena menjadi dewasa.
'Apakah semangatmu sudah mulai padam, Ara?", bisikku pada diriku sendiri. Aku melamun pergi mencari sosok gadis kecil ceria yang berkulit hitam karena begitu menyukai naik pohon saat siang hari. Ya, aku mencari di semak, tak ku lihat. Aku mencari di bawah kolong kasur, tak ku temukan. Ku ketuk hatiku, dia diam.
"Kenapa kau mencariku, bukankah selama ini kau buat aku diam?", kali ini aku bungkam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H