Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Kabut Berduri" dan Kepala yang Menggigit HP

3 Agustus 2024   12:12 Diperbarui: 3 Agustus 2024   12:30 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: CNN Indonesia)

Berapa kali kita melihat kepala digantung di sarang lebah dalam posisi menggigit ponsel? Dalam film pun barangkali ya baru ada sekali ini. Dan berapa kali kita menemukan ada tokoh polisi korup di layar sinema Indonesia? Mungkin ya baru kali ini pula. Dari dua titik itu saja sudah tergambar seberapa kuat sutradara Edwin membangun karya terbarunya yang berjudul Kabut Berduri ini.

Sejak adegan pembuka, Edwin telah menyuguhi kita dengan hal tak biasa yang, tentu saja, mengejutkan. Sesuatu menimpa atap warung yang ternyata adalah jenazah korban pembunuhan. Setelah adegan kepala menggelinding yang tak terlalu sering (berani di)muncul(kan) oleh para sineas Tanah Air, satu fakta mengagetkan muncul dari hasil penyelidikan forensik: kepala dan tubuh dari jenazah itu ternyata berasal dari dua orang yang berbeda.

Inspektur Polisi Dua Sanja Arunika (dimainkan dengan brilian oleh Putri Marino) kemudian dikirim dari pusat untuk membantu pengungkapan kasus itu. Di lokasi pembunuhan yang merupakan daerah pedalaman di perbatasan dengan Malaysia di Kalimantan, Sanja bertemu dengan Kapolsek Nanga Jugam Ipda Panca Nugraha (Lukman Sardi) dan bawahannya, Bripka Thomas Martunis (Yoga Pratama).

Bersama Thomas yang merupakan warga asli Dayak, Sanja menyelidiki kasus tersebut dan menjumpai bahwa yang mereka hadapi ternyata adalah seorang serial killer. Korban demi korban berjatuhan, termasuk kepala di sarang lebah itu tadi. Untung mereka mendapat banyak keterangan berharga dari warga setempat yang bernama Bujang (Yudi Ahmad Tajudin).

Yang dihadapi Sanja ternyata tak sebatas pembunuh berantai, melainkan juga silang sengkarut banyak isu yang rumit sejak dari warga asli Dayak yang merasa tanah adat mereka tergerus proyek-proyek kebun kelapa sawit hingga kasus-kasus trafficking. Ketika penyelidikan tiba pada nama bos mafia lokal Agam (Kiki Narendra), Sanja mulai merasakan adanya ketidakberesan pada diri sang kapolsek. Di titik itu, semua orang menjadi tersangka baginya, termasuk juga Thomas.

Kabut Berduri resmi rilis perdana di platform streaming Netflix 1 Agustus 2024 lalu. Jadi jika dibedah secara teknis, ini sesungguhnya adalah sebuah FTV. Namun bukannya diiringi lagu-lagu so sweet dari Yovie & Nuno seperti deretan FTV di SCTV, di film ini penonton justru disuguhi kepala!

Satu hal yang spesial adalah bahwa film Indonesia pada akhirnya, FINALLY, punya film detektif juga! Tak berjenis "whodunit" seperti karya-karya Agatha Christie, melainkan lebih ke crime thriller. Yang sudah pernah nonton serial True Detective karya Nic Pizzolatto pasti merasakan adanya keserupaan. Bukan dalam konteks meniru, terinspirasi, atau apalagi epigon, tetapi dalam nuansa pengisahan yang sama. Gambar-gambar yang suram tapi majestic, dan kasus dengan latar belakang yang dalam serta rumit. Juga sang "true detective" yang bertugas tak dengan heroik gilang gemilang, melainkan sambil membawa trauma berat dari masa lalu yang tak tersembuhkan.

Ini membuat Kabut Berduri---yang di dunia internasional diedarkan dengan judul Borderless Fog---menjadi sebuah film yang original; belum pernah ada kayak gini sebelumnya di Indonesia. Apalagi Edwin berhasil menyuplai 110 menit durasi filmnya ini dengan banyak hal-hal baru, setidaknya untuk ukuran sinema Tanah Air. Selain kepala-kepala bergelindingan dan orang yang diselundupkan lintas negara pakai kardus besar, ada pula tokoh polisi korup.

Yang terakhir ini cukup mencengangkan, karena ternyata Edwin baik-baik saja dan sama sekali tidak disomasi Mabes Polri. Banyak hal terkuak di sini, yaitu bahwa Polri ternyata enggak apa-apa jika ada karya seni yang mengisahkan tokoh polisi jahat. Hanya diperlukan keberanian ide saja dari sang kreator---dalam hal ini Edwin---plus inovasi progresif dari para produser dan penyandang dana untuk men-support gagasan tersebut dan bukannya mengatakan, "Cerita kayak gitu lagi gak diminati penonton... Horor religi aja dah...!"

Dan di sini tak ada fenomena "semua aspek sinemateknya oke kecuali penulisannya", karena justru skenarionyalah yang berkontribusi besar. Edwin dan Ifan Ismail menghadirkan penulisan yang membuat semua aspek hadir maksimal, terutama sisi dialog yang tak saja natural melainkan bahkan organik. Yoga Pratama yang warga DKI bisa dibuat ngomong asli seperti orang Dayak. Demikian pula Yusuf Mahardika yang bermain sebagai Silas.

Selain itu, pada satu momen yang amat langka di dunia perfilman nasional, di sini semua hal disebut gamblang dan akurat. Ada "kapolsek" dan bukan cuman "kepala polisi". Ada penyebutan jelas nama-nama tempat, perpaduan antara tempat nyata (Lubok Antu di Serawak, Malaysia) dengan lokasi fiktif (Polsek Nanga Jugam) dan bukan cuman "pergi ke utara" atau "di tepian kota" seperti di cerita-cerita dongeng nina bobo. Dan tak ada laporan upacara bendera di kantor komandan polisi!

Yang semuanya menunjukkan bahwa kedua penulisnya melakukan satu hal penting yang mutlak harus dilakukan semua penulis fiksi termasuk para penulis skenario, yaitu riset.

Sayang keberhasilan meracik semua unsur termasuk isu-isu dan kritik sosial justru membuat satu bagian penting aspek thriller-nya tercecer, yaitu pengungkapan jati diri sang serial killer. Pada saat kita tiba di titik ini, segala hal tentang kehidupan suku Dayak, trafficking, dan relasi Indonesia-Malaysia membuat identitas si pembunuh tak lagi menjadi sebuah plot twist yang penting---dan oleh karenanya mengagetkan---bagi kita penonton.

(Bahkan bagi penonton lama kayak saya, siapa pembunuhnya sudah bisa diraba sejak seluruh tokoh kali pertama diperkenalkan)

Kabut Berduri pada dasarnya terasa kayak liburan, dari suasana seragam yang disuguhkan film nasional sejak dulu dan selama ini. Kita jadi bisa menghargai kerja keras semua kru filmnya, sejak dari sutradara, penata kamera, hingga tukang transpor dan yang bertanggungjawab terhadap gulungan-gulungan kabel. Lalu yang bikin kepala-kepalaan itu, beneran spektakuler! Untung dia, atau mereka, tidak diajak kolab para kreator konten prank horor.

Karena pas adegan kepala menggigit HP, saya malah teringat Bu Tejo di film Tilik, saking begitu miripnya wajah di kepala-kepalaan itu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun