Selain itu, pada satu momen yang amat langka di dunia perfilman nasional, di sini semua hal disebut gamblang dan akurat. Ada "kapolsek" dan bukan cuman "kepala polisi". Ada penyebutan jelas nama-nama tempat, perpaduan antara tempat nyata (Lubok Antu di Serawak, Malaysia) dengan lokasi fiktif (Polsek Nanga Jugam) dan bukan cuman "pergi ke utara" atau "di tepian kota" seperti di cerita-cerita dongeng nina bobo. Dan tak ada laporan upacara bendera di kantor komandan polisi!
Yang semuanya menunjukkan bahwa kedua penulisnya melakukan satu hal penting yang mutlak harus dilakukan semua penulis fiksi termasuk para penulis skenario, yaitu riset.
Sayang keberhasilan meracik semua unsur termasuk isu-isu dan kritik sosial justru membuat satu bagian penting aspek thriller-nya tercecer, yaitu pengungkapan jati diri sang serial killer. Pada saat kita tiba di titik ini, segala hal tentang kehidupan suku Dayak, trafficking, dan relasi Indonesia-Malaysia membuat identitas si pembunuh tak lagi menjadi sebuah plot twist yang penting---dan oleh karenanya mengagetkan---bagi kita penonton.
(Bahkan bagi penonton lama kayak saya, siapa pembunuhnya sudah bisa diraba sejak seluruh tokoh kali pertama diperkenalkan)
Kabut Berduri pada dasarnya terasa kayak liburan, dari suasana seragam yang disuguhkan film nasional sejak dulu dan selama ini. Kita jadi bisa menghargai kerja keras semua kru filmnya, sejak dari sutradara, penata kamera, hingga tukang transpor dan yang bertanggungjawab terhadap gulungan-gulungan kabel. Lalu yang bikin kepala-kepalaan itu, beneran spektakuler! Untung dia, atau mereka, tidak diajak kolab para kreator konten prank horor.
Karena pas adegan kepala menggigit HP, saya malah teringat Bu Tejo di film Tilik, saking begitu miripnya wajah di kepala-kepalaan itu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H