Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Menanti Kebangkitan Kritik Film di Indonesia

14 Desember 2019   12:02 Diperbarui: 14 Desember 2019   15:55 3010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu profesi dalam dunia kepenulisan yang pernah saya masuki adalah menjadi kritikus film. Itu terjadi pada periode tahun 2006 hingga 2009 lalu. 

Kala itu, redaktur rubrik entertainment di edisi Minggu koran Suara Merdeka di Semarang, yaitu Budi Maryono, menugasi saya untuk menulis artikel tentang film Indonesia dengan format berupa ulasan kritis, bukan semata berita dan rangkuman data dan fakta seperti artikel-artikel saya lainnya di sana.

Saya pun kemudian sengaja nonton film untuk menuliskan resensinya. Beberapa film yang pernah saya ulas waktu itu adalah Sembilan Naga yang disutradarai Rudi Soedjarwo, Cewe Matrepolis (Effi Zen), Heart (Hanny R. Saputra), dan juga Denias: Senandung di Atas Awan (John De Rantau). Koleksi resensi-resensi tersebut bisa Anda inceng di sini.

Dengan segala kekurangannya, ulasan-ulasan itu memang hanya bisa menempatkan saya sebagai kritikus film amatir. Satu, kala itu saya menulis bukan sebagai anggota jajaran editor Suara Merdeka. Dan dua, saya tak punya background pendidikan soal sinematografi, apalagi pernah kerja di film dalam posisi kreatif.

Saya melakukan amatan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saja soal film, bukan dengan basis berbagai teori sinema yang ndakik-ndakik (tinggi dan kompleks). 

Para sineas besar pasti tak akan menganggap penting tulisan-tulisan itu andai membacanya. Meski demikian, ketika itu saya berharap ulasan-ulasan tersebut mengawali satu gerakan kepenulisan yang saat itu nyaris mati di Indonesia, yaitu kritik film. 

Di bidang ini, kita punya Leila S. Chudori, yang sudah lama menulis ulasan film di majalah Tempo. Dan kala itu juga muncul laman kritik film Sinema Indonesia (amatir juga) yang menuliskan kritik-kritik terhadap film nasional dengan bahasa yang lucu dan kreatif.

Sayang harapan tinggal harapan. Tak terlihat kemunculan era baru penulisan kritik film sama sekali hingga saya pensiun tahun 2009. Situasi masih sama seperti sebelumnya, di mana urusan kritik film hanya sesekali disebut di penganugerahan Piala Citra, dan satu-satunya tokoh yang dihormati dan didengar di ranah ini masihlah hanya Bu Leila. 

Laman Sinema Indonesia pun kemudian berhenti berproduksi. Entah karena para kontributornya kemudian menikah dan kerja kantoran, atau mereka tak tahan berdebat dengan para sineas yang pernah mereka kritik.

Dan hingga hari ini pada akhir 2019, tak ada pergerakan baru apa-apa di bidang penulisan kritik film Tanah Air. Hanya ada tambahan beberapa movie addicts yang menuliskan ulasan kritis mereka di internet. Itu pun masih jauh dari istilah sebuah resensi. 

Kadang justru malah berupa testimoni. Padahal yang diperlukan adalah sebuah "jaringan" pengamatan, sehingga baik publik maupun sineas dan pemangku kepentingan komersial dunia perfilman bisa melihatnya dengan ukuran yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun