Terkait sastra Indonesia dan para tokohnya, kami para murid hanya disuruh membaca sinopsis Sitti Nurbaja, Salah Asuhan, atau Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, bukan buku aslinya. Dan itu pun ditugaskan bukan untuk membentuk mental kami menjadi suka baca, melainkan tak lebih dari hapalan data dan fakta untuk keperluan tes catur wulan atau semesteran!
Persentuhan terdekat dengan karya sastra terjadi satu kali saat saya kelas I SMA (sekarang kelas X). Waktu itu guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 5 Semarang musim kompetisi 1987/88, Bu Endang Hadijati, mengenalkan kami pada cerpen La Bandida karya Mochtar Loebis. Dan bukan pula kami para murid ditugaskan untuk membaca langsung, melainkan hanya didongengi!
Membaca harus menjadi aktivitas utama sekolah agar para murid terpapar buku secara nyata, tak hanya baca-baca demi urusan nilai ulangan. Kenalkan mereka pada karya sastra yang jauh lebih berat dari kapasitas baca mereka: Shakespeare, Hemingway, Kafka, Murakami. Jangan sampai menelurkan generasi penulis kayak saya, yang hanya untuk baca Bumi Manusia-nya Pram saja menunda lama sekali hanya karena "nyastranya berat; takut nggak mudeng"!
Aspek krusial kedua adalah kemampuan melakukan ulasan bahan bacaan dan sekaligus keberanian beropini tentangnya. Saya selalu iri tiap melihat scene pelajaran bahasa Inggris di film-film Hollywood, di mana murid diperintahkan membaca Romeo & Juliet, misalnya, lalu disuruh menyampaikan pendapat tentang itu. Berikutnya, murid lain bisa saja menyampaikan pendapat berlawanan. Perdebatan (intelek, bukan kusir) pun terjadi.
Adakah itu di pendidikan kita? Apakah murid telah diberi kesempatan menyampaikan aspirasi, dimotivasi agar berani mengemukakannya di depan umum, sekaligus dibekali teknik retorika sehingga dapat menyampaikannya dengan bahasa yang tak saja runtut dan tertib, namun juga menarik? Juga bahwa menyampaikan pendapat-pendapat berbeda dan kemudian saling memperdebatkannya adalah boleh saja, asal masih berdasar.
Dulu dalam 12 tahun masa sekolah, saya tak punya kapabilitas itu karena memang tidak diajari. Tak aneh perintah guru soal diskusi kelompok atau tawaran bertanya atau menyampaikan pendapat selalu menjadi trik termudah untuk membuat kelas menjadi sepi!
Membaca secara rutin akan membuka otak untuk selalu siap menerima informasi-informasi terbaru, lalu kita selalu mau dan mampu meng-update diri mengikuti perkembangan bacaan.
Sedang kegiatan resensi dan diskusi akan mengasah pikiran kritis sekaligus ketertiban diksi perkataan (entah verbal maupun tertulis), juga keberanian mengungkapkan sikap dan mempertahankannya dengan dasar yang intelek dan elegan.
Barulah di titik ini, kegiatan menulis akan menemukan fungsinya yang maksimal. Karena berpengetahuan dan terbiasa berlatih keteraturan diksi, murid akan selalu mampu menulis runtut dan dengan bahasa yang tertata.
Tiap individu siswa akan secara tidak langsung melatih diri mereka sendiri soal kedewasaan dan ketertiban. Tak perlu lagi harus dinasihati macam-macam hanya untuk urusan sesepele membuang sampah di tempat sampah.
Kemudian, urusan pernak-pernik teknik menulis pada gilirannya akan menjadi kebutuhan. Murid (dan termasuk guru pengajar Bahasa Indonesia) akan sungguh-sungguh berusaha menggali itu.