Bagaimana cara Bimo (Teuku Rifnu Wikana) bisa menemukan Maya (Tara Basro) hingga tahu di bilik jalan tol mana dan pada shift jam berapa saja dia bekerja? Sebab jika identitas Maya sudah diketahui Bimo sejak sebelum berangkat ke kota "untuk mencari obat" buat Ratih (Asmara Abigail), maka Ratih pasti langsung tahu Maya saat kebetulan menolong gadis itu yang sedang menginceng ritual pembenaman bayi yang baru lahir.
Dialog pertemuan mereka begitu tiba di rumah Ratih pun seharusnya begini...
"Nama Mbak siapa?" tanya Ratih.
"Maya, Mbak," jawab Maya, terengah-engah.
Alis Ratih berkerut. "Maya? Suami saya ke Jakarta, nyari orang yang juga namanya Maya."
"O, ya? Maya siapa? Dia sodara Mbak?"
"Kata suami saya, nama lengkapnya Mellyana Damayanti. Dulu anak sini juga, tinggal di rumah gede yang sekarang kosong itu. Lalu kemudian dibawa pergi buliknya ke Jakarta pas umur lima tahun."
Maya seketika kaget. "Astaga! Dari mana suami Mbak bisa tahu semua itu?"
"Dia nanya-nanya ke orang-orang sepuh di sini. Trus ada salah satunya yang masih sering kontak-kontak dengan Mbak Maya itu. Katanya sekarang Mbak Maya kerja jadi petugas pembayaran tol, di gerbang tol Pondok Pinang. Tapi kurang tahu juga kenapa suami saya mencarinya. Padahal aslinya dia pamit ke Jakarta untuk nyariin saya obat."
Napas Maya tertahan di kerongkongan. "Ya, ampun! Demi Tuhan...!"
"Kenapa, Mbak?" sahut Ratih heran. "Ada apa memangnya...?"
Detail yang ini penting karena berguna untuk memajukan plot. Bimo cemas karena kutukan yang melanda desanya mengancam keselamatan bayi dalam kandungan Ratih. Dari seorang warga, ia tahu identitas Maya, yang sekarang ada di Jakarta. Ia lalu berniat menemui Maya untuk mencari tahu bagaimana kutukan itu bisa dihilangkan. Ia memberitahu alasan keberangkatannya ke Jakarta pada Ratih, namun belum bercerita detail mengapa ia mencari Maya.
Di Harjosari, Ratih galau karena Bimo tak pulang-pulang, dan tak pula WA. Lalu ia dengar kabar ada orang kota bernama Maya datang ke desanya. Teryata itulah Maya yang dicari Bimo di Jakarta. Tapi Bimo-nya mana? Ia curiga Bimo ada main dengan Maya. Ratih kemudian menguntit Maya untuk mencari tahu, hingga kemudian Maya tiba di rumah itu dan  Ratih membawanya ke rumahnya agar bisa ia interogasi. Tak dinyana, urusan Bimo dan Maya ternyata berkenaan dengan kutukan itu.
Cerita Perempuan Tanah Jahanam (PTJ) sendiri diawali dengan kegalauan Maya dan sobatnya, Dini (Marissa Anita), soal kemuraman bisnis garmen mereka pasca-resign dari PT Bina Marga gara-gara serangan Bimo terhadap Maya di gerbang tol. Harapan samar-samar untuk mendapat warisan membuatnya berkelana ke Desa Harjosari untuk menyelidiki asal-usulnya. Dini ikut bersamanya.
Setelah naik bus malam selama hampir semalam suntuk, mereka tiba di semacam kota kecamatan tempat Desa Harjosari berlokasi. Delman mengantar keduanya hingga desa terpencil itu, yang mau tak mau mengingatkan kita pada desa menghebohkan di Jawa Timur terkait penari dan KKN yang beberapa waktu lalu viral. Dan memang di sana pun berlangsung satu kondisi khusus di mana seisi desa dan warganya terkena kutukan yang membuat desa tersebtut mengisolir diri dari dunia luar.
Kutukan tersebut membuat semua bayi di Harjosari terlahir cacat dalam 20 tahun terakhir. Untuk mencoba mengakhiri kutukan, Ki Saptadi (Ario Bayu), tokoh masyarakat setempat yang berprofesi sebagai dalang, manggung semalam suntuk dengan wayang kulit khusus. Ritual penyiapan bahan mentah menjadi lembaran wayang yang siap dilukis dilakukan oleh ibu Ki Saptadi, Nyai Misni (diperankan dengan luar biasa oleh Christine Hakim).
Kedatangan Maya dan Dini bertepatan dengan kelahiran salah satu bayi, yang ternyata masih membawa beban kutukan. Telah dikenali asal-usulnya sebagai putri Ki Donowongso (Zidni Hakim) yang dua dekade lalu diungsikan ke kota, Maya yang panik karena Dini mendadak hilang kemudian dikejar-kejar warga desa atas perintah Saptadi. Ia lantas diselamatkan oleh Ratih.
Dalam soal intensitas, PTJ adalah kemajuan yang signifikan dari Joko Anwar setelah Pengabdi Setan. Semua ada di sini, sejak dari sayat-menyayat, gorok-menggorok, bacok-membacok, hingga sosok hantu yang makin seram (tiga anak di pinggir jalan, hantu di mobil pikap) dan terutama adegan ranjang antara Saptadi dan Nyai Shinta. PTJ tak hanya efektif membuat penonton takut, melainkan juga ngeri bergidik karena kegiatan gorok-menggorok itu.
Problem PTJ, as with almost all our movies, adalah pada akurasi detail termasuk kejelasan latar. Harjosari itu di mana tepatnya? Jatim? Jateng? Kabupaten mana? Saya tetap lebih menyukai penyebutan soal "Harjosari, Kecamatan Sawit, Kabupaten Besuki", misalnya, daripada anonim seperti ini, yang membuatnya jadi tak terasa nyata.
Tapi menilik bahwa bus pada malam hari masih memerlukan waktu sekira "lima jam lagi" sebelum sampai ke kota kecamatan tempat Harjosari berada, maka desa itu harusnya berada di range antara Pekalongan hingga Surakarta atau Tuban (tergantung tujuan akhir bus, akan ke Surabaya atau Ponorogo/Malang).
Jika bekal Maya hanya soal "Desa Harjosari" seperti yang diungkap Bimo saat menyerangnya di gerbang tol, maka itu informasi yang masih sangat menyesatkan. Sebagaimana Rejosari dan Karanganyar, Harjosari adalah nama yang sangat umum dipakai desa-desa di Jateng dan Jatim. Coba saja sampeyan cuman saya kasih tahu bahwa rumah saya ada di Desa Gedongan. Anda bisa nyasar hingga Bantul, Cirebon, hingga Colomadu, tanpa adanya penjelasan soal "Gedongan yang di Wanurejo, Borobudur, Kabupaten Magelang".
Lagian tak jelas juga apakah Harjosari itu desa atau dusun. Orang kota seperti Joko Anwar dan para produser di Ivanhoe pasti tak tahu beda kedua istilah ini. Tapi melihat situasinya, Harjosari pastilah dusun, dan bukan desa.
Masalah juga muncul dalam pengungkapan seluruh rahasia masa lalu termasuk "detail teknis" dengan cara bagaimana kutukan dapat diakhiri, yang tersaji pada Maya dengan cara yang sedikit terlalu mudah. Suspens film horor dalam hal informasi dan backstory pada umumnya terjadi secara bertahap, dicicil sedikit demi sedikit, lalu dirangkai oleh tokoh utama pada bagian menuju klimaks.
Jika metodanya cukup dengan semacam information dumping dari para hantu anak kecil, harusnya itu sudah mereka kerjakan sejak awal saat kali pertama Maya tiba di rumah keluarganya, dan menghemat banyak drama dan nyawa sepanjang 100 menit lebih!
Meski begitu, tetap saja PTJ adalah sebuah film horor yang efektif untuk menggali apa yang paling dikehendaki dari sebuah film horor, yaitu ketakutan. Dan keterlibatan perusahaan asing (Ivanhoe Pictures, yang baru saja merger dengan SK Global bulan Maret 2019 lalu) dalam film ini menunjukkan ke teritori mana karier seorang Joko Anwar akan berlanjut.
Kita pun bisa berharap akan ada nama sineas Indonesia berkibar di Hollywood setelah Gareth Evans dengan The Raid-nya yang fenomenal itu. Eh, Evans orang Wales ding. Koncone Ryan Giggs.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H