Lagian tak jelas juga apakah Harjosari itu desa atau dusun. Orang kota seperti Joko Anwar dan para produser di Ivanhoe pasti tak tahu beda kedua istilah ini. Tapi melihat situasinya, Harjosari pastilah dusun, dan bukan desa.
Masalah juga muncul dalam pengungkapan seluruh rahasia masa lalu termasuk "detail teknis" dengan cara bagaimana kutukan dapat diakhiri, yang tersaji pada Maya dengan cara yang sedikit terlalu mudah. Suspens film horor dalam hal informasi dan backstory pada umumnya terjadi secara bertahap, dicicil sedikit demi sedikit, lalu dirangkai oleh tokoh utama pada bagian menuju klimaks.
Jika metodanya cukup dengan semacam information dumping dari para hantu anak kecil, harusnya itu sudah mereka kerjakan sejak awal saat kali pertama Maya tiba di rumah keluarganya, dan menghemat banyak drama dan nyawa sepanjang 100 menit lebih!
Meski begitu, tetap saja PTJ adalah sebuah film horor yang efektif untuk menggali apa yang paling dikehendaki dari sebuah film horor, yaitu ketakutan. Dan keterlibatan perusahaan asing (Ivanhoe Pictures, yang baru saja merger dengan SK Global bulan Maret 2019 lalu) dalam film ini menunjukkan ke teritori mana karier seorang Joko Anwar akan berlanjut.
Kita pun bisa berharap akan ada nama sineas Indonesia berkibar di Hollywood setelah Gareth Evans dengan The Raid-nya yang fenomenal itu. Eh, Evans orang Wales ding. Koncone Ryan Giggs.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H