Perjalanan sebuah naskah terkadang sama rumit dengan kisah hidup manusia di dunia nyata. Kita merencanakan sesuatu dengan detail dan terperinci, untuk hanya ujung-ujungnya bertemu kegagalan. Namun justru ketidakberhasilan itulah yang membawa kita ke satu ranah tak terduga yang sama berarti dan tak jarang justru lebih menakjubkan dari yang awalnya ada dalam mimpi. Contohnya adalah naskah yang satu ini.
Novel Forgiven Not Forgotten (FNF) awalnya saya tulis mulai 2006, tentang kisah nyata penutupan tempat kerja saya antara 2001-2005, yaitu Tabloid Remaja Tren di Semarang yang berubah format menjadi Olga! Girls Magazine. Judulnya waktu itu 5W1H, karena memang sangat detail membahas dunia kerja jurnalistik cetak pada awal abad ke-21.
Meski selesai dengan cepat, naskah ini tak kunjung saya serahkan ke penerbit PT Gramedia Pustaka Utama (GPU), entah karena apa. Saya hanya merasa beberapa hal tidak sreg dengan selera saya. Setelah saya edit sedikit-sedikit, 5W1H kemudian saya sodorkan ke penerbit Grasindo sekira tahun 2015 atau 2016. Sayang naskah tersebut ditolak oleh editor di sana.
Tak patah arang, saya kemudian sertakan dia ke event kontes novel bertema sweet romance gelaran penerbit BIP, masih di grup Kompas Gramedia juga. Karena diikutkan ke genre romance, saya ubahsuai naskah tersebut dengan lebih memoles sisi roman dan mengurangi cukup banyak porsi konten jurnalismenya. Sayang nasib baik belum berpihak padanya. 5W1H kembali mengalami penolakan.
Bosan ditolak, saya lalu menyunting betul cerita itu dengan mengganti sama sekali unsur jurnalismenya---terutama dari media cetak jadi media daring---dan lebih fokus lagi pada topik percintaannya. Urusan asmara antara si "aku" dengan Nabila saya tambahi lagi dengan kehadiran tokoh Faya Arunnisa, yang memberi tensi drama sekaligus komedi dari sebuah peristiwa kelam yang terjadi enam tahun sebelum latar waktu saat kisah berlangsung. Judulnya pun saya ganti dari 5W1H jadi Forgiven Not Forgotten, mirip lagu milik The Corrs.
Sempat terpikir untuk memasukkannya ke GPU, saya kemudian menemukan calon rumah baru justru di ranah yang sama sekali berbeda, yaitu novel online. Bulan Mei lalu, saya mendapat kabar tentang sebuah kontes novel yang digelar platform novel digital Comico Indonesia. Saya kemudian putuskan untuk mengikuti sayembara tersebut, meski kudu dengan persiapan tak sederhana.
Yang pertama terkait pengaturan bab. Seperti pada umumnya penerbit novel daring, Comico juga mensyaratkan jumlah bab yang cukup besar (40 bab) dengan kandungan jumlah kata yang tertentu dalam tiap bab, yaitu antara 1.500 hingga 2.000. Jelas ini beda dari penulisan novel cetak yang tak mengenal batasan dan ketentuan baku mengenai jumlah kata per bab.
Saya jadi sibuk mempermak FNF agar sesuai ketentuan Comico. Pembagian bab menjadi berubah, sesuai aturan minimal 1.500 kata itu tadi. Hasilnya, adegan-adegan cliffhanger tiap bab juga mengalami perubahan. Yang saya kerjakan pun tak lagi hanya sekadar editing, melainkan lebih mirip revisi besar-besaran.
Namun setelah tuntas, saya tak kunjung menyertakan FNF ke perlombaan tersebut. Saya terus menunggu dan menunggu, kian mendekat ke tenggat kontes, hingga akhirnya saya bersirobok dengan penerbit digital lain yang asli buatan Indonesia, yaitu Storial. Seperti ada yang nyuruh, detik itu juga saya langsung unggah naskah FNF ke sana, meski waktu itu masih dalam status gratisan sebagaimana beberapa naskah saya yang ada di Wattpad.
Saya pikir, tak apalah terbit gratisan dulu, yang penting terbaca dulu oleh para warga Storial. Lama-lama toh nanti akan sampai juga ke level penulis premium Storial, yang naskahnya berbayar, seperti Bernard Batubara dengan novel berjudul Espresso. Baru kemudian saya tahu bahwa sesudah satu naskah mencapai enam bab, maka kita bisa mengajukan rekues agar naskah tersebut dijadikan berstatus premium. Begitu FNF genap 6 bab, otomatis saya klik tombol Rekues Premium di halaman web Storial.
Sembari menunggu jawaban editor, saya terus melanjutkan pengunggahan FNF hingga mencapai bab 14. Jadwal update tak tentu, seingatnya saja, wong namanya juga masih gratisan. Meski begitu, naskah itu mayan terbaca. Ada beberapa penghuni Storial yang berlangganan, dan saya juga berlangganan cerita lain, terutama Espresso itu tadi.
Sekian waktu kemudian, saya dihubungi sobat sebuku di Kumcer Teenlit: Bukan Cupid (2012), yaitu Pricillia AW, terkait kepremiuman naskah FNF. Dia sekarang ternyata bekerja sebagai salah satu editor Storial, dan mengajak untuk mempremiumkan FNF. Ada beberapa prosedur tertentu yang harus saya lewati, termasuk mengirimkan sinopsis, premis cerita, dan konsep desain cover baru---menggantikan sampul lama yang asal comot dari template desain buku di Canva.
Setelah semua beres, Storial mengirimi draf surat perjanjian untuk ditandatangani. Begitu membaca pasal-pasal surat perjanjian, saya jadi tahu lebih terperinci mengenai status premium itu. Yang paling awal, premium berarti sebagian bab dalam satu naskah tak lagi gratisan. Untuk membacanya, kita harus membuka kunci (unlock) bab tersebut seharga 20 koin Storial, atau setara dengan Rp 2.000. Dari harga tersebut, royalti pengarang adalah 35%, tinggal dikalikan berapa kali bab tersebut di-unlock, dikalikan lagi berapa jumlah bab berbayar dalam naskah bersangkutan.
Jumlah royalti ditampilkan dalam kurs koin juga, jejeran dengan jumlah stok koin yang kita pakai untuk membuka bab berbayar naskah milik penulis lain. Bagusnya adalah, royalti bisa ditarik kapan saja, asal sudah melewati nilai minimum Rp 60 ribu. Ini jelas beda dari pembayaran novel cetak yang hanya bisa terjadi dua kali dalam setahun, pada bulan Februari dan Agustus. Dalam hal ini, royalti Storial adalah juga tabungan, karena dibiarkan saja di situ ya tidak apa-apa---nanti baru diambil saat ada keperluan mendesak.
Dan yang lebih oke lagi, ada upfront fee yang cukup lumayan bagi penulis begitu surat perjanjian resmi ditandatangani, yaitu sebesar Rp 1 juta. Ini jauh lebih gede dari fee yang sama untuk penerbit digital lain, Webcomics Indonesia yang berbasis di Korea Selatan, sebesar Rp 250 ribu.
Yang jelas, kelahiran banyak penerbit novel online seperti ini menambah besar peluang "kerja" para penulis. Apalagi, seperti pernah saya bahas dalam artikel sebelumnya di Kompasiana, platform penulisan digital membuat penolakan penerbit sudah tak ada lagi, karena penerbitan dilakukan sendiri oleh penulis. Admin atau editor platform bersangkutan paling nanti hanya melakukan penyuntingan seperlunya dan sekaligus penentuan status unggahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H