Sembari menunggu jawaban editor, saya terus melanjutkan pengunggahan FNF hingga mencapai bab 14. Jadwal update tak tentu, seingatnya saja, wong namanya juga masih gratisan. Meski begitu, naskah itu mayan terbaca. Ada beberapa penghuni Storial yang berlangganan, dan saya juga berlangganan cerita lain, terutama Espresso itu tadi.
Sekian waktu kemudian, saya dihubungi sobat sebuku di Kumcer Teenlit: Bukan Cupid (2012), yaitu Pricillia AW, terkait kepremiuman naskah FNF. Dia sekarang ternyata bekerja sebagai salah satu editor Storial, dan mengajak untuk mempremiumkan FNF. Ada beberapa prosedur tertentu yang harus saya lewati, termasuk mengirimkan sinopsis, premis cerita, dan konsep desain cover baru---menggantikan sampul lama yang asal comot dari template desain buku di Canva.
Setelah semua beres, Storial mengirimi draf surat perjanjian untuk ditandatangani. Begitu membaca pasal-pasal surat perjanjian, saya jadi tahu lebih terperinci mengenai status premium itu. Yang paling awal, premium berarti sebagian bab dalam satu naskah tak lagi gratisan. Untuk membacanya, kita harus membuka kunci (unlock) bab tersebut seharga 20 koin Storial, atau setara dengan Rp 2.000. Dari harga tersebut, royalti pengarang adalah 35%, tinggal dikalikan berapa kali bab tersebut di-unlock, dikalikan lagi berapa jumlah bab berbayar dalam naskah bersangkutan.
Jumlah royalti ditampilkan dalam kurs koin juga, jejeran dengan jumlah stok koin yang kita pakai untuk membuka bab berbayar naskah milik penulis lain. Bagusnya adalah, royalti bisa ditarik kapan saja, asal sudah melewati nilai minimum Rp 60 ribu. Ini jelas beda dari pembayaran novel cetak yang hanya bisa terjadi dua kali dalam setahun, pada bulan Februari dan Agustus. Dalam hal ini, royalti Storial adalah juga tabungan, karena dibiarkan saja di situ ya tidak apa-apa---nanti baru diambil saat ada keperluan mendesak.
Dan yang lebih oke lagi, ada upfront fee yang cukup lumayan bagi penulis begitu surat perjanjian resmi ditandatangani, yaitu sebesar Rp 1 juta. Ini jauh lebih gede dari fee yang sama untuk penerbit digital lain, Webcomics Indonesia yang berbasis di Korea Selatan, sebesar Rp 250 ribu.
Yang jelas, kelahiran banyak penerbit novel online seperti ini menambah besar peluang "kerja" para penulis. Apalagi, seperti pernah saya bahas dalam artikel sebelumnya di Kompasiana, platform penulisan digital membuat penolakan penerbit sudah tak ada lagi, karena penerbitan dilakukan sendiri oleh penulis. Admin atau editor platform bersangkutan paling nanti hanya melakukan penyuntingan seperlunya dan sekaligus penentuan status unggahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H