Setelah menyaksikan keseluruhan 73 episode dalam delapan musim penayangannya, saya bisa dengan yakin mendeklarasikan bahwa Game of Thrones (GoT) adalah titik kulminasi pencapaian umat manusia planet Bumi dalam hal membuat sinetron.Â
Pasalnya, nilai kepalingtinggian terdapat dalam semua segi. Hal mana belum pernah dicapai oleh judul serial atau film televisi mana pun, dari belahan dunia mana pun.
Penyutradaraan? Penulisan? What so-called "bahasa gambar"? Tata busana? Hunting lokasi? Kemampuan casting director? Proses syuting? Akting para pemain? Petugas perlengkapan dan dekorasi? Teknik animasi digital? Semua oke.Â
Bahkan andai hendak membahas juga soal metafora dan simbolisme lengkap dengan segala centang perentang ulasan akademik soal teori-teori filsafat Barthez, eh... Barthes, simulakra Baudrillard, Descartes, atau Derrida, semua masih akan tetap masuk juga.
Betewe, saya harus memakai kata "sinetron" di sini untuk memberi gambaran pemahaman yang jelas, bahwa sebagai sebuah serial TV (dan bukan film layar lebar di bioskop), GoT memang merupakan ekuivalen Cinta yang Hilang atau Tukang Ojek Pengkolan di kita, serta juga Cheese in the Trap atau Descendants of the Sun di Korea Selatan.
Secara umum, topik pembahasan cerita GoT adalah mengenai konflik dan intrik politik yang melibatkan para trah ("trah", atau "wangsa", adalah terjemahan yang paling pas untuk kata "house") besar penguasa negeri Westeros. Yang dijadikan protagonis adalah Trah Stark, penguasa negeri Winterfell yang dingin di utara. Mereka bermusuhan dengan Trah Lannister, penguasa negeri Casterly Rock yang tengah berkuasa di titik terpenting Westeros, yaitu King's Landing.
Cerita musim pertama dibuka dengan kedatangan penguasa Tahta Besi King's Landing, Raja Robert Baratheon (Mark Addy), mengunjungi sahabat lamanya, Adipati Eddard "Ned" Stark (Sean Bean) penguasa Winterfell, untuk diajak ke ibu kota guna diangkat menjadi Tangan Kanan Raja---semacam perdana menteri merangkap penasihat (seperti Zhuge Liang untuk Liu Bei di kisah Romance of Three Kingdoms).
Dari situ, kisah berkembang meluas meliar menjadi sebuah saga besar yang melibatkan luar biasa banyak karakter. Ada Daenerys Targaryen (Emilia Clarke) di seberang lautan sana yang ingin kembali menguasai Tahta Besi, si anak haram Jon Snow (Kit Harrington) yang menjumpai takdir lebih kuat dari keinginan, Sansa Stark (Sophie Turner) yang "terpaksa" jadi orang kuat karena tempaan kehidupan, juga si kerdil Tyrion Lannister (Peter Dinklage) yang mengajarkan pada kita bahwa di dunia yang keras, "ilmu silat" saja tak pernah cukup untuk mengalahkan dunia.
GoT kali pertama mengudara di jaringan TV kabel HBO pada 17 April 2011. Normalnya serial buatan Hollywood, ia diputar berdasar season (musim)---dengan satu musim berada pada satu tahun kalender. Hingga 2016, tiap musim terdiri hanya atas 10 episode.Â
Pada musim ketujuh yang main tahun 2017, jumlah episode menyusut menjadi delapan. Lalu, pada musim kedelapan dengan jadwal penayangan mundur setahun (2019 ini, seharusnya 2018), episode mengkerut lagi jadi hanya enam. Episode pamungkas alias series finale, berjudul The Iron Throne, tayang tanggal 19 Mei 2019 lalu.
Serial ini diangkat dari A Song of Ice and Fire, serial novel epik fantasi karya George RR Martin. Buku pertama serial tersebut, A Game of Thrones, kemudian dijadikan judul serial, yang secara persis menggambarkan apa yang terjadi pada keseluruhan cerita (dan juga semua kompetisi politik era demokrasi, termasuk yang sekarang tengah asyik kita ributkan di Indonesia saat ini!).Â
Total ada tujuh judul di A Song of Ice and Fire, namun sejauh ini baru lima yang terbit. Dua lainnya masih dikerjakan oleh Mbah Martin, yaitu The Winds of Winter dan A Dream of Spring.
Pembahasan mengenai GoT tentu harus berangkat dari dua paradigma. Satu, mengenai aspek penceritaan, yang mana adalah hasil kejeniusan penulisan Martin; dan dua, aspek sinemateknya, yang menjadi tanggung jawab pasangan kreatornya, David Benioff dan DB Weiss---kerap bertindak juga sebagai penulis naskah dan bahkan sutradara pada beberapa episode.
Secara cerita, GoT adalah hal baru bagi semua kalangan pemirsa. Yang paling awal, tak ada tokoh sentral tempat kita mengidentifikasikan diri (alias lakon dalam bahasa Jawa). Ditambah dengan unsur baru lainnya, yaitu kill major characters, pemirsa yang terbiasa mencari tokoh super serba sempurna nan inspiratif akan mengalami disorientasi parah. Pada ujungnya, kita akan terpaksa berhenti melakukan itu dan menganggap semua karakter sama saja.
Selain itu, tema penceritaan buatan Martin tidak hitam-putih lugu. Semua berada pada ranah abu-abu. Daenerys yang dahsyat pun menemui titik gelap, Jon yang susah mati mendadak "mati" gara-gara cinta buta, Tyrion suka main perempuan namun brilian dalam trik-trik politik, sedang Jamie (Nikolaj Coster-Waldau) dan Cersei Lannister (Lena Headey) yang luar biasa keji tetap menampakkan sisi-sisi manusiawi yang kadang bikin kita bersimpati.
Sementara dari aspek sinematek, GoT nyata adalah suguhan berkelas yang belum tentu ada dalam rentang seperempat abad. Di sini kita menemukan segala aspek audio visual yang berada dalam tataran berstandar tinggi.Â
Semua hal dikerjakan sungguh-sungguh, termasuk lokasi pengambilan gambar, busana, set dekor, hingga akting dan sosok pemeran yang merupakan hasil dari casting brilian.
Dan sebagai tontonan laga, hal paling ditunggu jelas adalah sekuen-sekuen eksyennya. Adegan peperangan di GoT telah mendekati level yang dicapai Peter Jackson dalam trilogi The Lord of the Rings---kebetulan genrenya sama. Tak hanya kolosal, Benioff dan Weiss juga selalu bisa menghadirkan hal-hal baru dalam pernak-pernik peperangan pada setiap musim (episode 9 tiap musim biasanya akan selalu memuat hal baru original tepat pada titik klimaks cerita).
Maka bagi para penonton veteran (dalam arti kaya pengalaman nonton, dan bukan tua jompo pensiunan!), keanehan musim kedelapan yang membuat banyak penonton protes adalah sangat bisa dimengerti. Salah satunya karena bagian penutup itu terjadi sebelum bahan cerita aslinya dari Martin selesai.
Ending asli tentu ada di kedua buku terakhir itu, yang saat ini sedang ia tulis. Maka alur cerita musim delapan adalah hasil kreativitas para sineas, bukan sang pemilik asli cerita. Tak aneh taste-nya jelas terasa beda.Â
Belum lagi jika ternyata gosip itu ternyata benar, yaitu bahwa Benioff dan Weiss terpaksa buru-buru bikin skenario baru gara-gara skenario asli telah bocor ke para netizen di seluruh dunia. Tak aneh para kritikus sinema menulis bahwa musim penutup GoT berkesan "tergesa menuju garis finish".
Saya pun cenderung menganggap cukup tontonan musim pertama hingga ketujuh, yang masih setia pada pakem. Musim delapan tak perlu dihitung selain hanya sekadar sebagai pepak-pepak sebuah produk dagang. Toh tak semua cerita perlu ending yang menutup bulat. Lagipula masih terbuka peluang GoT menjadi waralaba seperti halnya superhero Marvel, alam Star Wars, atau semesta Star Trek, yang kemudian melar menjadi begitu banyak cerita berbeda.
Kelanjutan cerita Jon, Arya (terutama Arya, yang berkelanan ke terra incognita di barat Westeros), atau Ratu Sansa, masih bisa dieksplor dengan masing-masing entah menjadi film layar lebar atau serial tersendiri. Atau barangkali petisi netizen untuk membuat ulang musim kedelapan diterima oleh para pihak berwenang di HBO sana.
Harapan itu masih ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H