Total ada tujuh judul di A Song of Ice and Fire, namun sejauh ini baru lima yang terbit. Dua lainnya masih dikerjakan oleh Mbah Martin, yaitu The Winds of Winter dan A Dream of Spring.
Pembahasan mengenai GoT tentu harus berangkat dari dua paradigma. Satu, mengenai aspek penceritaan, yang mana adalah hasil kejeniusan penulisan Martin; dan dua, aspek sinemateknya, yang menjadi tanggung jawab pasangan kreatornya, David Benioff dan DB Weiss---kerap bertindak juga sebagai penulis naskah dan bahkan sutradara pada beberapa episode.
Secara cerita, GoT adalah hal baru bagi semua kalangan pemirsa. Yang paling awal, tak ada tokoh sentral tempat kita mengidentifikasikan diri (alias lakon dalam bahasa Jawa). Ditambah dengan unsur baru lainnya, yaitu kill major characters, pemirsa yang terbiasa mencari tokoh super serba sempurna nan inspiratif akan mengalami disorientasi parah. Pada ujungnya, kita akan terpaksa berhenti melakukan itu dan menganggap semua karakter sama saja.
Selain itu, tema penceritaan buatan Martin tidak hitam-putih lugu. Semua berada pada ranah abu-abu. Daenerys yang dahsyat pun menemui titik gelap, Jon yang susah mati mendadak "mati" gara-gara cinta buta, Tyrion suka main perempuan namun brilian dalam trik-trik politik, sedang Jamie (Nikolaj Coster-Waldau) dan Cersei Lannister (Lena Headey) yang luar biasa keji tetap menampakkan sisi-sisi manusiawi yang kadang bikin kita bersimpati.
Sementara dari aspek sinematek, GoT nyata adalah suguhan berkelas yang belum tentu ada dalam rentang seperempat abad. Di sini kita menemukan segala aspek audio visual yang berada dalam tataran berstandar tinggi.Â
Semua hal dikerjakan sungguh-sungguh, termasuk lokasi pengambilan gambar, busana, set dekor, hingga akting dan sosok pemeran yang merupakan hasil dari casting brilian.
Dan sebagai tontonan laga, hal paling ditunggu jelas adalah sekuen-sekuen eksyennya. Adegan peperangan di GoT telah mendekati level yang dicapai Peter Jackson dalam trilogi The Lord of the Rings---kebetulan genrenya sama. Tak hanya kolosal, Benioff dan Weiss juga selalu bisa menghadirkan hal-hal baru dalam pernak-pernik peperangan pada setiap musim (episode 9 tiap musim biasanya akan selalu memuat hal baru original tepat pada titik klimaks cerita).
Maka bagi para penonton veteran (dalam arti kaya pengalaman nonton, dan bukan tua jompo pensiunan!), keanehan musim kedelapan yang membuat banyak penonton protes adalah sangat bisa dimengerti. Salah satunya karena bagian penutup itu terjadi sebelum bahan cerita aslinya dari Martin selesai.
Ending asli tentu ada di kedua buku terakhir itu, yang saat ini sedang ia tulis. Maka alur cerita musim delapan adalah hasil kreativitas para sineas, bukan sang pemilik asli cerita. Tak aneh taste-nya jelas terasa beda.Â
Belum lagi jika ternyata gosip itu ternyata benar, yaitu bahwa Benioff dan Weiss terpaksa buru-buru bikin skenario baru gara-gara skenario asli telah bocor ke para netizen di seluruh dunia. Tak aneh para kritikus sinema menulis bahwa musim penutup GoT berkesan "tergesa menuju garis finish".
Saya pun cenderung menganggap cukup tontonan musim pertama hingga ketujuh, yang masih setia pada pakem. Musim delapan tak perlu dihitung selain hanya sekadar sebagai pepak-pepak sebuah produk dagang. Toh tak semua cerita perlu ending yang menutup bulat. Lagipula masih terbuka peluang GoT menjadi waralaba seperti halnya superhero Marvel, alam Star Wars, atau semesta Star Trek, yang kemudian melar menjadi begitu banyak cerita berbeda.