Kelahiran internet telah mengubah banyak hal, dan bahkan merevolusi cara berkehidupan kita. Banyak yang terjadi dalam 16 tahun ini. Surat pos tulis tangan menjadi surat elektronik. Wesel pos menjadi e-banking. SMS menjadi WhatsApp dan segala macam jejaring perpesanan mutakhir. Yang terkini, cara menikmati hiburan televisi juga akan segera berubah—meski di Indonesia sepertinya belum akan berlangsung dalam masa depan dekat-dekat ini.
Cara baru itu adalah apa yang diistilahkan dengan binge-watching alias marathon-viewing. Ini mulai menggejala di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, yang penetrasi TV daringnya telah cukup luas di masyarakat. Binge-watching tak lain adalah perilaku penonton TV di mana orang menyaksikan satu jenis tayangan tertentu—utamanya sinetron alias serial televisi—secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Artinya, mereka menonton satu serial hingga lebih dari dua atau tiga episode sekaligus dalam satu kali duduk. Berdasar penelitian Netflix bulan Februari 2014, 73% responden menyatakan bahwa binge-watching berarti menyaksikan antara dua hingga enam episode sekaligus dalam satu waktu. Dengan tiap serial berdurasi antara 30-60 menit, maka total waktu yang dihabiskan adalah antara dua hingga enam jam—selama setengah hari.
Binge-watching mulai digemari sejak kelahiran TV streaming seperti Netflix, Hulu, dan Amazon Video. Kebiasaan ini termungkinkan oleh pola acara mereka yang tidak “analog tradisional” sebagaimana TV terrestrial, TV kabel, atau bahkan TV satelit. Programa-programa tak ditayangkan urut kacang dari pagi hingga pagi lagi, melainkan semua sudah langsung tersedia dalam database, sebagaimana daftar video di laman YouTube.
Ini jelas bertolak belakang dari perilaku konvensional, di mana kita nonton TV juga secara berurutan, pe repisode hanya pada jam-jam tayang. Judul-judul tayangan pilihan berada pada waktu-waktu yang sudah ditentukan dan tak bisa dinego—dan untuk menuju ke sana, kita harus menunggu berjam-jam serta melewati serangkaian programa yang, beberapa di antarannya, mungkin tak kita butuhkan.
Mirip dulu saat kita menikmati musik melalui pita kaset. Dari 10 lagu dalam satu album, lagu favorit hanya ada di nomor 2 side A dan nomor 4 side B, misalnya. Maka kita harus “banting tulang” menggunakan tombol fast forward dan rewind untuk menuju ke track-track pilihan itu. Dan jika tak ada yang cocok, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. Nonton atau dengar pun percuma, tak terhibur atau mendapat manfaat apa pun. Pilihan paling logis ya dimatikan saja, lalu sibuk mengerjakan hal lain.
Dalam hal ini, pola “tayangan” TV internet jauh lebih memanusiakan manusia. Kita diberdayakan, karena mandiri dan dapat memilih sendiri acara-acara apa saja yang akan dinikmati. Waktu menonton pun terserah kita. Selain itu, beda dari pola menonton episodik yang membuat pemirsa hanya dapat menyaksikan serial atau acara favorit hanya dalam rentang waktu tertentu (mingguan atau harian), Netflix dan teman-temannya memungkinkan kita untuk menyaksikan suatu programa dalam jumlah episode yang kita tentukan sendiri dalam satu kali kesempatan.
Itulah yang mendasari terjadinya perilaku marathon-viewing. Daripada hanya nonton satu demi satu dan mangkel gara-gara cliffhanger, tentu lebih menyenangkan menyaksikan beberapa episode sekaligus, tergantung ketersediaan waktu. Dan mengantisipasi kebiasaan baru ini, Netflix pun merilis judul-judul original series-nya secara bersamaan pada hari yang sama, tidak ditayangkan berurutan seperti serial-serial di jaringan TV konvensional.
Serial-serial seperti Marco Polo, Daredevil, dan Jessica Jones diluncurkan bersamaan satu paket per musim—rata-rata dalam jumlah episode minimal, antara 10 hingga 13 episode. Nanti tinggal terserah masing-masing individu untuk menyaksikannya dengan cara bagaimana. Bisa tetap diecer satu episode per hari atau binge-watching untuk menghabiskan satu musim penuh dalam sekali “tenggak”.
Meski perilaku binge-watching saat ini baru “belajar merangkak”, bukan tak mungkin perubahan kultur akan terjadi jauh lebih cepat pada dekade mendatang. Publik yang makin dinamis dan mobil bakalan makin sedikit memiliki kesempatan untuk hal-hal yang tak lebih urgen dari bisnis utama, seperti membaca buku, mendengarkan musik, atau menonton film. Apalagi jika hal-hal kebutuhan tersier itu terbatasi oleh waktu tayang yang bertabrakan dengan jadwal kesibukan.
Orang akan makin terpola untuk memilih menjadi individu yang mandiri, di mana dia harus punya kendali serta kekuasaan penuh soal waktu membaca dan menikmati hiburan. Saya saja, yang penulis dan oleh karenanya tak sesibuk pebisnis atau politikus, sudah nyaris emoh total diperbudak jadwal siaran TV tradisional.
Tayangan-tayangan favorit tak jadi soal terlewatkan karena jam tayang terpakai untuk ngetik. Sekarang ini, hanya ada dua mata acara berbasis jadwal yang masih mau saya ikuti dengan taat, yaitu siaran langsung sepakbola dan breaking news. Khusus soal serial atau judul film, akan lebih mudah digeber pakai model binge-watching itu tadi, meski bukan melalui TV daring, melainkan streaming atau unduh (yang mana masih merupakan versi bajakan). Makin ke sini, orang yang seperti saya akan makin banyak, terutama di area-area metropolitan.
Kebiasaan marathon-viewing pada gilirannya akan merevolusi hal lain. Dalam soal produksi, serial seperti Jessica Jones jelas tak akan dibuat dengan sistem “eceran” seperti serial-serial sinetron stripping di sini—bikin hari ini untuk tayang besok, dan jalan cerita manut rating saja bagaimana baiknya.
Karena dirilis bersamaan dalam satu paket, satu judul serial untuk satu musim akan diproduksi komplet sebelum diserahkan pada pihak stasiun TV, yang mana membuat alur cerita dan tematiknya bisa lebih rapi direncanakan sejak dari awal—termasuk soal bujet.
Perubahan lain berada pada sisi feedback dan reaksi pemirsa. Tak akan ada lagi angka rating berdasar survey lembaga seperti ACNielsen. Respon pemirsa bisa didapat dengan statistika internet yang sangat simpel, sesimpel statistik pengunjung blog. Dan angka yang didapat adalah angka faktual yang muncul real-time, bukan dari sampling, yang hanya merupakan contoh kecil dari sebuah populasi besar.
Habit baru dalam cara menonton ini bakal makin berkembang di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang, terlebih Netflix juga telah sampai ke sini. Dan kini telah muncul beberapa aplikasi video streaming yang khusus menyediakan film-film box office serta serial-serial TV populer, tak saja produksi Hollywood, melainkan juga yang berasal dari Korea Selatan.
Jika ini tak segera diantisipasi oleh stasiun-stasiun TV swasta nasional dengan deretan program tayangan yang hanya sekadar mengejar uang, semisal sinetron, bukan tak mungkin TV free-to-air bakal bernasib sama seperti pita kaset dan tape recorder. Manusia abad ke-21 akan makin dinamis, tak mau lagi diatur-atur jadwal tayangan—apalagi karena sebagian besar konten tayangan pun tak bermutu dan" tinggal-able" alias bisa ditinggal.
Daripada menunggu, mending memilih sendiri, baik judul-judul maupun jam menonton. Dan duduk di sofa bersenjatakan remote control untuk mengintai kanal TV sebalah sedang menayangkan apa mendadak akan terasa kuno sekali...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H