Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terapi Otak untuk Latihan Menulis

30 November 2016   21:15 Diperbarui: 30 November 2016   21:25 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Bagaimana cara menulis agar menarik?”, “Gimana agar tokoh-tokoh kita kuat?”, “Bagaimana membuat tulisan kita unik?”

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap datang kepadaku, baik dalam kesempatan workshop menulis maupun dari teman-teman di media sosial. Sering pula kulihat muncul dialamatkan pada para penulis lain.

Namun menjawab pertanyaan soal teknik kepenulisan tak segampang menjawab pertanyaan semacam “Gimana caranya agar lukisan bisa nempel di dinding?”. Itu karena hasil akhir aktivitas menulis yang baik pasti datang dari suatu proses yang panjang. Jawaban yang cocok bisa saja jadi amat nggak nyambung dengan pertanyaannya.

Misal soal tulisan yang unik, jawabannya bisa saja malah “Karena sering ditinggal selingkuh tiap kali pacaran”. Dalam kaitan pengarang yang itu, gaya tulisan yang unik dan meledak-ledak lahir dari berbagai peristiwa saat ia merasakan pahitnya kehilangan. Dan bagi pengarang yang lain, jawabannya bisa berbeda-beda.

Pada dasarnya, gaya tulisan dan keahlian menyusun kata-kata untuk menjadi narasi dan dialog yang hidup adalah efek dari terapi otak. Seiring berjalannya hidup, otak merekam semua yang terjadi. Bagi seorang penulis, itu secara tak disadari membentuk gayanya menyusun kata dan kalimat lewat tulisan. Belajar teknik dan istilah-istilah ilmiah hanya membantu mengasah, tapi tak berperan dominan dalam peningkatan ilmu menulisnya.

Yang lebih membantu dalam porsi yang lebih besar justru jika kita melakukan terapi otak sendiri. Tak selalu berkaitan secara langsung dengan keahlian menulis, dan hasilnya tak langsung terasa dalam semalam, namun perlahan akan membantu kita fokus pada cara kita mengeluarkan (atau memanggil datang) kata, kalimat, serta ide. Ini mirip dengan fungsi latihan sprint 100 meter dan renang bagi pemain sepakbola.

Berdasarkan pengalaman pribadi, ada beberapa latihan praktis untuk membantu otak terbiasa berolah kata secara tertulis.

Terapi Otak Kanan

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa otak kanan berkaitan dengan ide dan gagasan, sedang otak kiri soal rasio, logika, dan norma. Maka pekerjaan menulis adalah sepenuhnya kerja otak kanan. Otak kiri baru bermain saat proses karangan sampai pada soal aturan menulis dan teknik advance seperti soal plot, karakterisasi, latar, dan lain sebagainya.

Maka adalah sangat perlu membebaskan sementara otak kanan dari intervensi otak kiri, agar terbiasa memunculkan ide tanpa hambatan dan larangan berdasar norma dan aturan. Caranya adalah dengan memunculkan kata-kata atau gagasan tertentu secara merdeka. Sebut saja! Munculkan saja! Jangan ambil pusing sekalipun itu cabul, vulgar, melanggar agama, atau melanggar hukum.

Toh cuman buat diri sendiri, tidak untuk diteriakkan di pom bensin. Mengistirahatkan sementara otak kiri akan membuat kita terbiasa menelurkan ide secara lancar. Jika sudah jadi habit, ide dan kata-kata akan kerap muncul dengan sendirinya meski tidak dicari atau ditunggu.

Menandai Kata

Bacalah koran atau majalah, lalu tandai kata-kata tertentu yang menimbulkan kesan khusus. Kesan ini bisa dalam konteks menyentuh hati, jarang dipakai, atau belum kita mengerti artinya. Proses ini akan membuat kita terbiasa menyeleksi kata-kata, sehingga kemudian hanya menggunakan kata-kata terpilih pula saat menulis.

Hal serupa yang kita lakukan pada karya sastra akan bermanfaat dalam level yang lebih tinggi, yaitu memilih yang terbaik di antara rangkaian kata dan kalimat yang sudah baik. Terlebih kalau menemukan kata yang jarang dipakai lalu mencari artinya di kamus besar (atau kamus bahasa lain), dan jika menjumpai kata atau istilah yang belum kita tahu lalu mencari info di Mbah Google.

Faedahnya ganda. Selain melatih otak menyeleksi kata, juga agar kita terbiasa mengembangkan wawasan pengetahuan. Selalu penasaran pada hal-hal baru.

Latihan Bersanjak

Minta teman menyebutkan satu kata, apa saja, lalu secepat dan sebanyak mungkin, kita sebutkan kata-kata lain yang bersanjak dengan kata itu. Misal teman menyebut kata “hancur”, kita me-reply dengan “kubur”, “bubur”, “kasur”, “dengkur”, “gugur”, “luhur”, dan segala yang mungkin kita temukan pada momen itu.

Ini membuat kita mampu menyusun kata-kata dengan efek bunyi yang bersesuaian, terutama berguna untuk bikin puisi yang dibacakan secara keras. Namun dalam hal karya sastra yang hanya untuk dibaca, seperti novel, menjumpai kalimat dengan kata-kata yang bersesuaian bunyinya bisa terasa menyenangkan. Contohnya seperti “Teringat mata teduh yang telah jauh itu mendadak membuatku seperti menyelam dalam kelam”.

Latihan yang sama bisa dilakukan untuk mencari sinopsis kata sebanyak mungkin (misal padanan kata untuk “ibu”, untuk “negeri”, untuk “jatuh”, dan lain-lain).

Listing

Sama seperti di atas, minta teman untuk menyebut suatu kategori atau daftar, dan kita menyebut isi daftar itu sebanyak mungkin semampu kita. Misal “negara-negara di Eropa”, “klub-klub La Liga”, atau “presiden Amerika yang kamu tahu”.

Menyebutkan secara spontan seingat kita item-item dalam suatu daftar yang panjang sangat efektif untuk melatih otak terbiasa melakukan pencarian di kedalaman memori. Maka saat menulis, kita tak akan kesulitan menyuruh otak menggali memori untuk mencari apa saja. Kata, kalimat, ucapan dialog, hingga data-fakta pengetahuan, dan semua yang diperlukan dalam tulisan.

Akan lebih bagus bila setelah penyebutan spontan, kita menengok daftar aslinya guna melihat item-item mana saja yang tadi tak teringat untuk disebutkan. Tambahan item itu akan terekam permanen, sehingga kian lama kapasitas mengingat spontan juga akan makin kuat.

Nulis Jurnal

Jurnal adalah catatan harian. Sedang diary lebih kepada cetusan isi hati pada satu momen-momen penting. Maka jurnal ditulis tiap hari (even bahkan saat nggak ada kejadian penting), sedang diary umumnya cuman diisi pas galau, baik ketika jatuh cinta maupun waktu putus cinta.

Dalam jurnal terdapat rangkaian peristiwa secara kronologis sejak bangun hingga menjelang tidur. Karena merupakan catatan kejadian, maka wajar bila pada hari-hari tertentu bakal ada gambaran perasaan dan pikiran serta kutipan-kutipan dialog dalam adegan-adegan yang terperinci. Pada akhirnya, ini sama saja dengan menuliskan cerita secara naratif dan deskriptif.

Menulis catatan harian akan secara langsung melatih skill kita menulis cerita, memraktikkan semua jenis terapi otak di atas, dan mendisiplinkan diri (yang mandiri berdasar niat sendiri tanpa suruhan atau gencetan orang lain). Ini juga membantah keluhan “Aduuh! Gak ada waktu untuk nulis...!”, karena jika diri sudah disiplin, ada waktu atau tidak, suatu tulisan (dalam hal ini catatan harian) tetap bisa digarap.

Maka sebagaimana kalau kita sholat, kalau kita makan, kalau kita minum, kalau kita e’ek, waktu untuk nulis juga harus diadakan. Bukannya (baru bisa) nulis kalau pas tersedia waktu luang.

Dari gambaran di atas, kita sampai pada satu kata kunci, yaitu “habit” alias kebiasaan. Menulis dengan baik adalah hasil proses panjang. Bukan sesuatu yang jika hari ini pertanyaan dijawab, nanti malam pasti langsung bisa dipraktikkan. Maka keputusan menekuni aktivitas menulis tak semata mempelajari teknik dan istilah-istilah keren, melainkan menambahkan banyak kebiasaan baru dalam hidup. Termasuk kebiasaan nulisnya itu sendiri.

Dalam semua kebiasaan baru itu, kematangan skill akan terasah dengan sendirinya tanpa disadari. Lalu dua tahun lagi, kita akan tertawa malu melihat kualitas tulisan hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun