Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bukan Kisah Cinta, Melainkan Dialog

15 Oktober 2016   22:25 Diperbarui: 16 Oktober 2016   12:35 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karenanya, John Green sesungguhnya tak sedang menuliskan sebuah kisah cinta, yang kedua tokohnya setara dengan para pencinta legendaris seperti Romeo & Juliet, Edward & Bella, atau Majenun & Laila). Sama sekali tidak. Ia jauh di atas itu, karena yang ia suguhkan pada kita tak lain adalah dialog-dialog di antara orang-orang yang tersia-siakan oleh hidup. Dan dialog-dialog itu tersaji secara hidup juga. Sinis namun penuh humor, dan sebaliknya.

Tak ada melodrama menyayat-nyayat dengan tangisan dan keluh-kesah berpanjang kata. Tak ada adegan yang ditragis-tragiskan hanya untuk memaksa pembaca menarik keluar tisu dari kotak. Namun tak ada pula tokoh hero yang serba gagah dengan tujuan untuk memotivasi dan menginspirasi pembaca. Hazel dan Gus adalah manusia biasa, yang mencoba sebaik mungkin menjalani kepedihan mereka sebagaimana normalnya ABG yang disiksa penyakit.

Akan halnya judul yang sangat khusus, kalimat itu ternyata diambil dari drama Julius Caesar karya William Shakespeare, di mana Cassius berkata pada Brutus, “The fault, dear Brutus, is not in our stars. But in ourselves, that we are underlings.”. Hidup Hazel dan Gus adalah kebalikan dari itu. Hidup mereka gagal bukan karena salah mereka sebagai manusia biasa, melainkan “kekeliruan bintang-bintang” yang telah menurunkan penyakit-penyakit ganas itu pada tubuh mereka.

Pada akhirnya, kisah berakhir bukan dengan konklusi, atau denouement (rincian singkat para tokoh pada ngapain saja setelah peristiwa yang dikisahkan), melainkan cukup dengan gambaran sederhana bahwa Hazel menyukai pilihan-pilihan yang diambilnya.

Dan pada dasarnya, itu adalah pencapaian tertinggi hidup. Kita hanya perlu menerima pilihan yang sudah kita ambil, tanpa perlu risau pillihan itu bakal mengarahkan kita ke mana, sebagaimana kita tak perlu tahu juga apakah Hazel masih hidup lama sesudah kepergian Gus atau sebaliknya.

Sayang keindahan itu terganggu secara brutal oleh kesalahan desainer layout penerbit Qanita (yang saya baca adalah edisi cetakan ketiga pada Juni 2014) pada kalimat terakhir narasi Hazel. Itu betul-betul merusak segalanya. Literally.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun