Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Fatal Error" Karena Tak Paham Sikon

16 Agustus 2016   19:35 Diperbarui: 17 Agustus 2016   00:19 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Dirman memimpin perang gerilya (Foto: jurukunci.net)

Dalam sebuah film layar lebar Indonesia berlatar belakang Perang Kemerdekaan tahun 1947, muncul sebuah adegan pertempuran yang seru. Saat para tentara Republik berada dalam keadaan santai di markas mereka pada malam hari, mendadak tentara Belanda menyerbu. Kontak senjata berskala besar pun terjadi, dan puluhan nyawa berjatuhan. Pada akhirnya, tentara Republik berhasil memukul mundur pasukan penyerbu.

Adegan itu sepintas terlihat wajar ada dalam sebuah film perang. Ya namanya film perang, apa yang hadir jika bukan serentetan pertempuran bersenjatakan pistol, senapan, granat, dan sesekali bantuan tembakan artileri dari jarak jauh atau pemboman dari udara? Namun khusus untuk satu scene itu, perang yang sepertinya terlihat normal jadi sangat tak masuk akal. Mengapa? Karena pada perang antara tahun 1946 hingga 1949, Belanda tak mungkin menyerbu pada malam hari.

Kenapa pula Belanda mustahil ngajak perang tentara Republik Indonesia selepas magrib? Karena situasinya memang tidak memungkinkan. Fakta ini baru bisa diketahui, dirasakan, dan diimajinasikan bila kita sebagai penulis fiksi telah mempelajari dengan cermat dan saksama gambaran situasi menyeluruh dari era revolusi fisik zaman itu.

Situasi dan kondisi keseluruhan merupakan salah satu hal terpokok yang harus kita pegang kuat sebelum mulai menuliskan cerita, sebab itu menentukan segalanya. Satu ketidaktahuan—bahkan yang terkecil sekalipun—bisa berakibat fatal seperti contoh di atas. Ini berkaitan dengan banyak hal. Sejak dari kultur, adat, kebiasaan, prosedural, sistem politik, hingga struktur kemasyarakatan dan dogma kemiliteran yang berhubungan dengan tempat dan waktu tertentu.

Pemahaman mengenai sikon dasar sangat menentukan akurasi kepenulisan, bahkan kadang menentukan jalannya cerita dan juga tema. Nah, sekadar sebagai contoh, kita akan lanjutkan diskusi kita mengenai bagaimana penyerbuan tentara Belanda pada malam hari bisa menjadi sebuah fatal error. Caranya tentu dengan menyelidiki kembali bagaimana situasi global yang ada pada era revolusi fisik tahun 1940-an itu di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, setelah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda “minta balikan” dengan datang untuk menguasai kembali tanah Hindia. Mereka melakukan dua kali operasi militer berskala besar, yaitu tahun 1947 dan 1948. Pada kesempatan kedua, mereka menginvasi ibukota Republik Indonesia, yaitu Yogyakarta, pada 18 Desember 1948.

Hasilnya sukses. Jogja jatuh ke tangan Belanda. Presiden dan wakil presiden ditangkap. Sedang panglima tentara Republik, Jenderal Soedirman, berhasil melarikan diri dan memimpin perlawanan militer secara gerilya. Belanda terus menduduki Jogja hingga PBB memerintahkan mereka pergi dari sana tanggal 29 Juni 1949 (peristiwa Jogja Kembali), sebelum kemudian terpaksa harus mengakui eksistensi negara Indonesia pada 27 Desember tahun yang sama.

Apakah pada periode itu Belanda menguasai seluruh wilayah bekas koloni Hindia mereka, yang menyatakan diri menjadi negara baru bernama Indonesia? Tentu tidak. Kekuasaan Belanda terpusat hanya pada wilayah inti perkotaan, semisal seluruh area kota Jogja sekarang ini. Kawasan luar kota, apalagi di tingkat desa dan dusun pedalaman, masih di bawah kontrol tentara Republik.

Maka demikianlah gambaran keadaan perang antara Belanda melawan Indonesia ketika itu. Mereka berkuasa di kota, kita ada di desa-desa dan basically area mana pun yang tidak berada di dalam kota. Dalam situasi di mana sedang tidak ada operasi militer berskala masif (seperti invasi tanggal 18 Desember 1948 dan invasi tentara Republik pada 1 Maret 1949), kedua pihak sama-sama bersiaga di wilayah kekuasaan masing-masing. Saling menunggu.

Belanda menguasai kota dengan sistem benteng dan pangkalan seperti pada umumnya militer di wilayah kota. Serupa dengan pada zaman sekarang ini kita punya markas-markas setingkat kodam, kodim, atau koramil. Pada titik-titik strategis keluar-masuk ditempatkan posko-posko penjagaan yang bertugas mengamati siapapun yang masuk dan keluar wilayah kota. Mereka aman sentausa sejauh mereka masih ada di kota. Bebas hang out dan ngebir anytime they want.

Sebaliknya, tentara Republik berkuasa di area-area luar kota dengan sistem mobile, alias selalu berpindah dan bergiliran melakukan rotasi, mirip yang dilakukan Panglima Besar Soedirman dalam pelariannya. Tak ada markas besar (headquarter) permanen berhubung ini perang gerilya. Komandan-komandan militer mengatur strategi perang gerilyanya dari rumah-rumah penduduk dan terus berpindah tiap jangka waktu tertentu.

Dalam alur chain of command yang rapi, para komandan mengatur rotasi kesatuan-kesatuan yang dibawahinya hingga ke tingkat terkecil, yaitu seksi yang dipimpin seorang kopral. Satu seksi beranggotakan 10-15 personel akan berjaga di satu desa/dusun, dan akan menerima perintah untuk berpindah ke desa lain hingga datang perintah berikutnya untuk pindahan lagi.

Dalam saat-saat tertentu, akan ada informasi dari intelijen mengenai konvoi tentara Belanda yang melewati wilayah daerah tertentu. Biasanya untuk mengirim perbekalan, baik amunisi maupun logistik. Tentara gerilya dari beberapa peleton atau kompi bisa dikoordinasi untuk mencegat konvoi itu. Tujuan utamanya tentu untuk merampas bedil, peluru, mortir, roti, keju, dan anggur yang dibawa oleh konvoi bersangkutan.

Insiden kontak senjata berskala kecil pada era tersebut biasanya terjadi dalam situasi ini, yaitu saat tentara Republik mencegat konvoi. Belanda lalu balas menyerang dengan mengirimkan misi ekspedisi keluar kota untuk memburu unit-unit tentara Republik yang annoying sering melakukan pencegatan semacam itu, dan bukan menyerbu markas tentara Republik.

Mau menyerbu ke mana wong “markas komando” yang dipakai para komandan tentara Indonesia biasanya cukup menggunakan rumah-rumah penduduk? Dan untuk menghindari deteksi intel Belanda, rombongan komandan ini akan terus berpindah ke rumah lain di desa lain. Begitu seterusnya. Semua kesatuan dan unit terus berpindah di daerah-daerah pedesaan dan pedalaman, sebab seperti itulah inti dari perang gerilya.

Balik ke urusan tentara Belanda yang melakukan misi pengejaran tadi, kalau posisi target diketahui dan berhasil dikejar, sudah pasti pertempuran akan terjadi. Tapi jika tidak, padahal waktu sudah menjelang magrib, Belanda akan buru-buru balik ke pangkalan di kota sebelum mereka dijadikan bergedel oleh tentara Republik!

Satu hal jelas, mereka tak pernah berani nekat ngajak berperang pada malam hari, apalagi bila mereka yang melakukan invasi keluar. Itu sama saja bunuh diri, karena tentara Republik jauh lebih mengenal medan bahkan pada saat gelap sekalipun. Pasukan Republik pun juga tak akan menyerbu kota selepas magrib. Mending ngopi dan udud!

Intinya, perang malam kecil kemungkinan terjadi, kecuali bila yang dilancarkan adalah misi senyap semacam pembebasan sandera atau upaya pembunuhan (assassination) terhadap satu tokoh tertentu. Itu pun pasti dilakukan oleh unit-unit kecil, dan bukannya mengerahkan pasukan lengkap yang berisik.

Sesudah memahami gambaran sikon menyeluruh dari perang yang terjadi pada masa itu, baru kita bisa melacak di titik mana saja kesalahan adegan di atas berada. Lalu kita akan bisa menggantinya dengan situasi lain yang lebih akurat dan masuk akal.

Malam diganti siang. Invasi besar diganti dengan misi pengejaran. Dan yang diserang bukan suatu markas, melainkan satu unit inti yang memang diincar oleh Belanda. Biasanya target mereka adalah satu atau beberapa tokoh militer Republik yang demikian hebat dan oleh karenanya jadi tokoh most wanted.

Seperti yang bisa kita lihat, pengetahuan komprehensif tentang gambaran situasi global suatu tempat dan masa tertentu sangat membantu kita dalam menulis. Ini bisa menjadi pekerjaan berat bila kita memang mengangkat cerita yang jauh dari keseharian kita, seperti kisah masa revolusi fisik 1940-an itu, atau mencoba bikin cerita berlatar di Lybia atau Burkina Faso (ganti tempat dong, masa Unaiyteid Steits terus-terusan?).

Tapi menghadirkan cerita yang kekinian dan berlokasi di sini pun kadang belum tentu jadi pekerjaan gampang juga. Masih ada kisah anak perkotaan kelas atas zaman smartphone yang berkontak hanya lewat SMS. Masih ada sepasang tetangga yang terpisah 15 tahun dan saling hilang kontak seperti pada zaman ketika alat komunikasi yang tersedia masih berupa surat pos dan telepon SLJJ!

Kuncinya adalah sama seperti yang sudah sering kita diskusikan, yaitu selalu mau repot, susah, dan sulit dengan tak pernah bosan untuk mengamati, mengulas, bertanya, dan mencatat. Nggak ada ruginya juga kok. Detik ini aja, kita sudah nambah wawasan baru mengenai situasi real zaman revolusi fisik tahun 1945-1949 sehingga bisa lebih menghargai jasa para pahlawan.

Merdekaa!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun