Dalam alur chain of command yang rapi, para komandan mengatur rotasi kesatuan-kesatuan yang dibawahinya hingga ke tingkat terkecil, yaitu seksi yang dipimpin seorang kopral. Satu seksi beranggotakan 10-15 personel akan berjaga di satu desa/dusun, dan akan menerima perintah untuk berpindah ke desa lain hingga datang perintah berikutnya untuk pindahan lagi.
Dalam saat-saat tertentu, akan ada informasi dari intelijen mengenai konvoi tentara Belanda yang melewati wilayah daerah tertentu. Biasanya untuk mengirim perbekalan, baik amunisi maupun logistik. Tentara gerilya dari beberapa peleton atau kompi bisa dikoordinasi untuk mencegat konvoi itu. Tujuan utamanya tentu untuk merampas bedil, peluru, mortir, roti, keju, dan anggur yang dibawa oleh konvoi bersangkutan.
Insiden kontak senjata berskala kecil pada era tersebut biasanya terjadi dalam situasi ini, yaitu saat tentara Republik mencegat konvoi. Belanda lalu balas menyerang dengan mengirimkan misi ekspedisi keluar kota untuk memburu unit-unit tentara Republik yang annoying sering melakukan pencegatan semacam itu, dan bukan menyerbu markas tentara Republik.
Mau menyerbu ke mana wong “markas komando” yang dipakai para komandan tentara Indonesia biasanya cukup menggunakan rumah-rumah penduduk? Dan untuk menghindari deteksi intel Belanda, rombongan komandan ini akan terus berpindah ke rumah lain di desa lain. Begitu seterusnya. Semua kesatuan dan unit terus berpindah di daerah-daerah pedesaan dan pedalaman, sebab seperti itulah inti dari perang gerilya.
Balik ke urusan tentara Belanda yang melakukan misi pengejaran tadi, kalau posisi target diketahui dan berhasil dikejar, sudah pasti pertempuran akan terjadi. Tapi jika tidak, padahal waktu sudah menjelang magrib, Belanda akan buru-buru balik ke pangkalan di kota sebelum mereka dijadikan bergedel oleh tentara Republik!
Satu hal jelas, mereka tak pernah berani nekat ngajak berperang pada malam hari, apalagi bila mereka yang melakukan invasi keluar. Itu sama saja bunuh diri, karena tentara Republik jauh lebih mengenal medan bahkan pada saat gelap sekalipun. Pasukan Republik pun juga tak akan menyerbu kota selepas magrib. Mending ngopi dan udud!
Intinya, perang malam kecil kemungkinan terjadi, kecuali bila yang dilancarkan adalah misi senyap semacam pembebasan sandera atau upaya pembunuhan (assassination) terhadap satu tokoh tertentu. Itu pun pasti dilakukan oleh unit-unit kecil, dan bukannya mengerahkan pasukan lengkap yang berisik.
Sesudah memahami gambaran sikon menyeluruh dari perang yang terjadi pada masa itu, baru kita bisa melacak di titik mana saja kesalahan adegan di atas berada. Lalu kita akan bisa menggantinya dengan situasi lain yang lebih akurat dan masuk akal.
Malam diganti siang. Invasi besar diganti dengan misi pengejaran. Dan yang diserang bukan suatu markas, melainkan satu unit inti yang memang diincar oleh Belanda. Biasanya target mereka adalah satu atau beberapa tokoh militer Republik yang demikian hebat dan oleh karenanya jadi tokoh most wanted.
Seperti yang bisa kita lihat, pengetahuan komprehensif tentang gambaran situasi global suatu tempat dan masa tertentu sangat membantu kita dalam menulis. Ini bisa menjadi pekerjaan berat bila kita memang mengangkat cerita yang jauh dari keseharian kita, seperti kisah masa revolusi fisik 1940-an itu, atau mencoba bikin cerita berlatar di Lybia atau Burkina Faso (ganti tempat dong, masa Unaiyteid Steits terus-terusan?).
Tapi menghadirkan cerita yang kekinian dan berlokasi di sini pun kadang belum tentu jadi pekerjaan gampang juga. Masih ada kisah anak perkotaan kelas atas zaman smartphone yang berkontak hanya lewat SMS. Masih ada sepasang tetangga yang terpisah 15 tahun dan saling hilang kontak seperti pada zaman ketika alat komunikasi yang tersedia masih berupa surat pos dan telepon SLJJ!