Bagi yang belum pernah tahu, Game of Thrones (GoT) adalah sebuah serial TV alias sinetron serial alias drahol (drama Hollywood, temannya drakor atau drama Korea) yang tayang di HBO. Di sini HBO yang versi sindikasi Asia bisa diinceng lewat jaringan-jaringan TV berlangganan (K Vision, Indovision, Telkomvision, dll.).
GoT didasarkan atas serial novel fantasi A Song of Ice and Fire karangan George RR Martin, di mana buku pertamanya berjudul A Game of Thrones. Kisahnya berkisar mengenai pertentangan politik di Tujuh Kerajaan (Seven Kingdoms) di benua fantasi Westeros. Serial ini tayang sejak 2011, dan tiap season hanya terdiri atas 10 episode. Mengudara tiap tahun pada bulan April hingga Juni, tahun ini GoT sudah mencapai musim keenamnya, dan menurut kabar terakhir akan tamat pada musim kedelapan tahun 2018 mendatang.
Sebagai pengamat sinetron, aku dengan yakin menobatkan GoT sebagai titik kulminasi pencapaian segala aspek dunia sinema televisi—sejauh ini, tentu saja—sejak kali pertama lahir di Amerika Serikat tahun 1950-an lalu. Segala aspek berada pada standar kualitas tertinggi, baik dalam hal bangunan kisah fiksinya maupun dalam pencapaian teknik sinematografi. Dan itu membuat kita yang peduli pada kualitas harus menjadikan serial ini (dan juga bukunya—aku malah belum baca) sebagai menu wajib santapan hiburan yang berintelektualita.
Lalu Anda pasti bertanya, memangnya apa saja yang membuat GoT sedemikian oke sehingga harus kita saksikan dan ikuti?
No Main Character
Betul. Tak ada tokoh utama alias lakon (dalam istilah Jowo) di GoT. Ada begitu banyak tokoh, dan semuanya sama rata. Yang mengidentikkan diri dengan satu tokoh idola pasti akan kecewa berat. Awalnya pasti mengidolakan Ned Stark, lalu Robb Stark, lalu Sansa dan Arya Stark, lalu Daenerys Targaryen, lalu Tyrion Lannister, lalu entah siapa lagi.
Martin memang menyusun dongengnya dengan pendekatan yang tidak mainstream. Bukunya dituturkan dari angle banyak tokoh sekaligus, yang masing-masing punya alur cerita sendiri dan saling berkaitan. Apakah semua tokoh baik mulia sempurna seperti di novel-novel inspiratif kita? Tidak. Mereka ditampilkan sebagai manusia ordinary, dengan kelebihan dan kekurangan yang proporsional.
Satu tokoh baik, akan mengalami musibah karena kekurangannya. Dan satu tokoh antagonis yang kita benci, suatu saat akan keluar sisi baiknya dan jadi terlihat mulia. Pada suatu titik, kita akan berhenti mengidolakan satu tokoh, dan “legawa” untuk menerima mereka seperti apa adanya. Dan itu pada dasarnya adalah sebuah...
Pelajaran Falsafah Hidup
Semua tokoh dalam GoT adalah pelajaran falsafah hidup yang sangat penting mengenai kemanusiaan. Mereka mengajarkan bahwa manusia berbeda-beda (sehingga harus toleran), punya kelebihan dan kekurangan masing-masing (sehingga tak boleh terlalu memuja atau menyiriki), dan berubah seiring tempaan kehidupan.
Normalnya tokoh utama dalam fiksi pasti serba diistimewakan, dan “ditakdirkan” oleh pengarangnya untuk menang (atau kalah—dalam cerita tragis ala zaman baheula). Dalam contoh-contoh di atas, para tokoh itu bahkan serba sempurna, nyaris tanpa cacat, dan selalu jaya sehingga bikin kita kagum (dan kita menyebut mereka “menginspirasi”).
Tokoh-tokoh dalam GoT akan membuat kita bercermin, dan lebih bijak dalam menilai orang lain. Mereka istimewa pada bidang yang mereka kuasai, tapi jeblok pada bidang yang tidak. Mereka bisa jadi orang baik pada suatu saat, lalu jadi jahat pada saat yang lain (atau sebaliknya). Dan pada akhir hari kita akan membatin, “Astaga! Berarti aku juga seperti itu... Sama sekali nggak istimewa... Nggak boleh merasa besar atau paling benar sendiri...!”, dan seterusnya.
Memukau sebagai Tontonan
Semua aspek dalam GoT sebagai sebuah karya sinematek berada pada level menakjubkan. Ia kolosal untuk ukuran sinetron—mampu mengerahkan banyak orang. Dan untuk orang sebanyak itu, bisa diberikan baju-baju yang cocok dalam jumlah masif.
Teknik craftmanship-nya dalam hal set dekor dan perlengkapan sangat luar biasa. Semua properti susah dicari kekurangannya. Bahkan ada satu pemirsa di AS yang bisa mengenali bahwa motif bordiran di gaun Sansa Stark (Sophie Turner) terus berganti dan menyimbolkan semua hal tragis yang menimpa dirinya sepanjang cerita.
Lalu latar lokasinya sangat emejing. Penuh bangunan-bangunan antik ala cerita dongeng yang tak saja ajaib namun juga bisa dibikin beda-beda tergantung civilization-nya. Bangunan di King’s Landing sudah berciri beda dengan Braavos, lalu dengan Meereen dan juga dengan kampung halaman Wildling yang terbelakang.
Dan untuk itu, para kru GoT terutama kru eksekutif dan kreatifnya, berani melakukan dua hal penting, yaitu mau mengambil cara susah dan bersedia keluar duit banyak sebagai modal.
Logika di Atas Estetika
Salah seorang kritikus sinetron di AS pernah menulis bahwa “Game of Thrones adalah sebuah tontonan di mana para pemain tampil telanjang lebih lama daripada saat berpakaian”!
Ya, salah satu yang membuat GoT buming adalah nude scene-nya, yang sangat berlimpah sehingga oleh karenanya hanya layak ditonton yang sudah berumur 21 tahun. Tapi GoT bukanlah film porno, karena semua ketelanjangan itu ada karena necessity atau kepentingan.
Adegan di rumah bordil, di pemandian, atau saat satu pasangan sedang bercinta, tentu saja sah dan layak apabila semua tak berbaju, karena memang demikianlah kenyataannya. Semua disesuaikan dengan kewajaran. Di sini tak ada aktris yang membenahi rok karena khawatir posisi kamera kebetulan rawan menyorot area di balik rok.
GoT tak hobi berpura-pura baik, atau menutup-nutupi atas dasar norma kesopanan. Bila sesuatu memang harus seperti itu, ya tampilkan saja seperti apa adanya, sebagaimana layaknya situasinya di dunia nyata. Lalu apakah murni hanya ada kebusukan di sini? Well, tentu tidak. Ajaran para ulama Faith of the Seven, agama resmi warga Westeros, adalah setara dengan ajaran kebaikan semua agama yang ada di planet Bumi ini.
Episode 9
Episode nomor sembilan adalah sesuatu yang sangat istimewa di serial ini. Mengapa? Karena di situ selalu hadir adegan laga kolosal yang menentukan jalan cerita dan nasib para tokoh. Berhubung GoT adalah sebuah drama politik, maka adegan eksyen kolosalnya umumnya berupa pertempuran di medan perang.
Dan ini adalah sebuah pola yang ikut mendongkrak kualitas GoT berkaitan dengan kerapian dan konsistensi. Di semua season, episode 9 adalah puncak semua konflik, sedang episode 10 (penutup) menghadirkan hal-hal yang akan muncul pada musim berikutnya. Dan klimaks episode 9 selalu menghadirkan adegan penentuan yang pasti akan membuat siapapun berdebar karena dua alasan.
Satu, selalu ada konsep baru adegan perang kolosal di tiap musim, entah dalam visual kekerasan, realisme, maupun taktik pertempuran. Dua, hasilnya tak bisa diprediksi seperti siaran langsung El Clasico. “Pihak yang benar” belum tentu menang melawan “kejahatan dan angkara murka”. Tokoh yang kita idolakan bisa saja kalah dan harus nunggu musim berikutnya untuk melihatnya balas dendam—atau malah mati sehingga kita harus mencari tokoh idola baru!
Sungguh. Di semesta fiktif GoT, kita harus siap menerima kasunyatan bahwa siapapun bisa meninggal dunia kapan saja... just like in real life.
“Hold the Door!”
Dan akhirnya sampailah kita pada momen superspesial ini, yaitu ketika Brandon Stark (Isaac Hempstead Wright) menyadari mengapa Hodor (Christian Nairn), si raksasa dari Winterfell, sejak suatu hari hanya bisa mengucap satu kata, yaitu “Hodor”, padahal awalnya normal seperti anak-anak lain. Ini terjadi pada episode kelima musim keenam (The Door—total episode ke-55). Urutkan GoT dari episode 1 agar bisa menyimak peristiwa penting ini sepenuhnya.
Pada pendapatku, ini merupakan salah satu twist cerita terbaik dan paling spektakuler yang pernah ada pada satu cerita fiksi sejak zaman Shakespeare hingga zaman Tere Liye sekarang ini. Tentu saja tak akan kuungkap, nanti jadi spoiler. Anda harus melihatnya sendiri agar tahu, lalu memberi reaksi sama sepertiku, yaitu melongo... lalu lapar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H