Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masukkan "Writer's Block" ke Kotak!

29 Juli 2016   23:47 Diperbarui: 30 Juli 2016   00:34 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam banyak diskusi mengenai kepenulisan, terutama fiksi, writer’s block selalu menjadi topik pembahasan utama, di samping tentang mood. Sebagian penulis memaparkan definisi writer’s block beserta kiat-kiat penanganannya. Sedang sebagian lagi menganggap bahwa writer’s block hanyalah excuse dari para penulis malas. Ada pula yang menyatakan bahwa penulis profesional tak mengenal istilah itu. Dia akan terus menulis dan menulis.

Kedua kubu memiliki alasan dan argumen masing-masing. Kubu pro mengungkap bahwa memang kadang ide suka macet. Dan jika itu terjadi, maka harus ada tindakan nyata untuk mengurainya.

Sebaliknya, kubu kontra berargumen bahwa jika writer’s block diakui memang betul-betul eksis, itu bisa menghambat karier seorang penulis. Dari macet dikit, lama-lama bisa macet parah, lalu total berhenti menulis. Karenanya, keberadaannya tak perlu diakui sekalian agar tak terdidik untuk jadi pemalas—dikit-dikit macet, dikit-dikit macet, macet kok cuman dikit...

Aku sendiri aslinya termasuk golongan pro, karena macet ide rajin terjadi secara rutin. Plus aku juga nggak suka nulis fiksi dikejar target (lain soal kalau lagi ada orderan nulis buku nonfiksi). Aku pernah macet ide satu novel dalam hitungan tahun, seperti kisah cerita silat Elang Menoreh yang saat ini sedang kuunggah di Wattpad. Cerita itu mulai kutulis tahun 2010, dan sampai sekarang belum tamat.

Meski demikian, aku juga mengakui argumen kaum kontra. Jika ditolerir, terutama oleh para penulis baru, writer’s block memang berpotensi mengancam karier. Awalnya dari macet, lama-lama bisa berubah jadi malas (tapi yang tersamarkan menjadi kemacetan). Jika ini berkelanjutan, siapapun pasti akan kehilangan alokasi energi dan waktu begitu sudah disibukkan oleh dunia yang lebih “penting”—sekolah, kuliah, dan pekerjaan, misalnya.

Lalu tak sempat lagi menulis. Lalu waktu berlalu. Tahu-tahu empat dekade sudah terlewat, anak-anak sudah nikah, cucu-cucu sudah lahir, jempol digigit asam urat, dan dunia tak berkesempatan untuk menikmati tulisan kita yang bisa saja spektakuler dan mengubah sejarah.

Maka cara terbaik adalah memperlakukan writer’s block sekadar sebagai istilah teknis, bagi yang hobi mengulas sastra secara ilmiah. Sama seperti author’s surrogate, red herring, flashforwarding, information dumping, atau self-fulfilled prophecy—yang seringkali sudah sering kita kerjakan dan baru belakangan tahu nama-nama resminya.

Saat writer’s block sudah dimasukkan kotak murni sebagai istilah, kita pun tinggal menjalankan profesi penulis dalam konteks hidup kita keseharian sebagai manusia normal. Kemudian kita tanyakan pada diri masing-masing, baik sebagai makhluk biologis maupun makhluk sosial, mungkinkah kita sanggup menulis 24 jam nonstop selama 7 hari dalam sepekan selama 12 bulan full lalu diulang lagi seperti itu tahun 2017 mendatang?

Berani taruhan, hanya kodok mabok yang akan menjawab “mungkiiin!”. Itu sebabnya kita tidak boleh memegang kata-katanya.

Sebagai makhluk biologis, jelaslah itu tak mungkin terjadi. Penulis yang seprofesional atau seheroik atau se-bestseller apa pun tetap butuh bobok, butuh BAB, butuh ngaso sebentar kalau pas badan lagi sakit, apalagi kalau sakitnya agak parah seperti asam lambung kumat. Baru meriang atau sakit gigi saja pasti ide sudah buyar ke mana-mana. Pasti mau tak mau harus jeda. Beda jika yang dikerjakan adalah tulisan nonfiksi atau jurnalistik yang dikejar tenggat.

Dan sebagai makhluk sosial, penulis tetap harus berinteraksi dengan banyak ranah untuk merampungkan aneka macam urusan urgen keseharian. Bayar listrik, belanja bulanan, berdebat dengan teman soal presiden, bertengkar sama pasangan, dikejar-kejar debt collector, dan hal-hal berbagai jenis yang membuat kita suka atau tidak terpaksa harus meninggalkan laptop untuk sementara waktu.

Nah, definisi asli dari yang dinamakan writer’s block, disadari maupun tidak, pasti muncul terselip di antara semua kondisi wajar itu. Saat belanja bulanan di supermarket, ide memang tidak macet, tapi tetap saja kita tak menulis.

Begitu juga saat harus lintang pukang ke WC karena perut mules dan butuh proses “unloading” besar-besaran. Bahkan saat mengerjakan itu semua, rasanya tak sabar untuk bisa kembali mengetik. Meski tak nulis, tapi (yang diistilahkan sebagai) writer’s block tak muncul dalam situasi-situasi itu.

Namun saat asam urat kumat, darah tinggi kumat, saat pikiran sumpek karena baru saja ribut dengan pacar, bertengkar dengan debt collector lewat telepon lalu ngenes teringat besarnya utang, saat ada anggota keluarga yang sakit, sehingga ide-ide tulisan fiksi tercemerlang menyublim dan macet melanda, masuk akalkah kita kalau tetap saja ngotot bilang “Tidaaak! Aku penulis profesional! Aku akan tetap menulis sekalipun sedang nggak ada ideee!”

Lha kalau nggak ada ide, lantas yang mau ditulis apa? Daftar nama tetangga dalam satu RT?

Apa pun dan siapapun kita, penulis hanyalah titel pekerjaan. Manusianya ya sama seperti manusia-manusia lain. Dan karena kita tak memakai combat suit seperti Iron-Man atau bersenjata tameng seperti Captain America, kita harus mengakui kita penulis bukanlah superhero. Bahwa ada kalanya kita harus berhenti menulis, entah kita pro atau kontra terhadap writer’s block, adalah sesuatu yang wajar.

Penulis tak beda dari pemain bola, polisi, kondektur bus, atau presiden—bisa sakit, bisa bad mood, bisa tidak bugar, bisa stres, dan semua yang menghambat kita dari bekerja secara maksimal, atau bahkan tak bisa bekerja sama sekali. Kadang beristirahat itu perlu—salah satunya dengan traveling—karena justru bisa memicu munculnya ide-ide baru yang fresh.

Lagipula terkadang kemacetan ide karena writer’s block terjadi hanya pada satu jenis tulisan tertentu, atau bahkan pada satu judul novel tertentu. Aku sering mengalami macet ide pada novel roman, tapi tidak pada novel silat, sehingga penanganannya mudah—tinggal ganti nulis yang lain. Dan jika kemacetan melanda tulisan fiksi, tinggal switch ke area nonfiksi, lalu nulis di blog, catatan Facebook, Kompasiana, atau untuk Mojok.Co.

Saat membahas topik ini (dan juga tentang mood menulis), aku jadi diingatkan kembali akan ungkapan “bukan apa-apa, bukan siapa-siapa” di novel silat Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto. Kita bisa bekerja apa saja, dengan gaji setinggi apa saja, dengan profesi sekeren apa saja, tapi mbalik-mbaliknya, kita tetap saja manusia biasa. Di atas langit masih ada langit. Se-bestseller apa pun, selalu akan ada yang lebih best seller lagi.

Profesi kita para penulis memang keren, tapi kita ya sama manusianya dengan bakul jamu atau tukang tambal ban. Jika memang tiba waktunya tak bisa nulis, entah itu karena writer’s block atau bukan, ya jatuhnya tetap tak bisa nulis saja. Terima itu dengan rileks sebagai bagian dari kehidupan integral. Profesionalisme kita sebagai penulis tak tercoreng hanya karena kita berhenti nulis karena mau operasi amandel, atau sakit gigi, atau bad mood sesudah padu (bertengkar) sama mendring!

Justru dengan menerima keberadaan kita sebagai manusia secara utuh lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangan akan membuat kita makin humanis, makin manusiawi. Kita belajar untuk memberi yang terbaik dalam segala keterbatasan itu, sehingga makin ke sini, tokoh-tokoh dan cerita yang kita susun akan makin membumi, bukan yang serba tentang tokoh dan cerita yang utopis dan terlalu heroik.

Kita, Homo sapiens ini, berkekurangan. We have to live with that. Dan nenek moyang kita membuat pepatah “Tak ada gading yang tak retak” bukan untuk suatu tujuan kosong.

Sebab kita bukan apa-apa, bukan siapa-siapa...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun