Nah, definisi asli dari yang dinamakan writer’s block, disadari maupun tidak, pasti muncul terselip di antara semua kondisi wajar itu. Saat belanja bulanan di supermarket, ide memang tidak macet, tapi tetap saja kita tak menulis.
Begitu juga saat harus lintang pukang ke WC karena perut mules dan butuh proses “unloading” besar-besaran. Bahkan saat mengerjakan itu semua, rasanya tak sabar untuk bisa kembali mengetik. Meski tak nulis, tapi (yang diistilahkan sebagai) writer’s block tak muncul dalam situasi-situasi itu.
Namun saat asam urat kumat, darah tinggi kumat, saat pikiran sumpek karena baru saja ribut dengan pacar, bertengkar dengan debt collector lewat telepon lalu ngenes teringat besarnya utang, saat ada anggota keluarga yang sakit, sehingga ide-ide tulisan fiksi tercemerlang menyublim dan macet melanda, masuk akalkah kita kalau tetap saja ngotot bilang “Tidaaak! Aku penulis profesional! Aku akan tetap menulis sekalipun sedang nggak ada ideee!”
Lha kalau nggak ada ide, lantas yang mau ditulis apa? Daftar nama tetangga dalam satu RT?
Apa pun dan siapapun kita, penulis hanyalah titel pekerjaan. Manusianya ya sama seperti manusia-manusia lain. Dan karena kita tak memakai combat suit seperti Iron-Man atau bersenjata tameng seperti Captain America, kita harus mengakui kita penulis bukanlah superhero. Bahwa ada kalanya kita harus berhenti menulis, entah kita pro atau kontra terhadap writer’s block, adalah sesuatu yang wajar.
Penulis tak beda dari pemain bola, polisi, kondektur bus, atau presiden—bisa sakit, bisa bad mood, bisa tidak bugar, bisa stres, dan semua yang menghambat kita dari bekerja secara maksimal, atau bahkan tak bisa bekerja sama sekali. Kadang beristirahat itu perlu—salah satunya dengan traveling—karena justru bisa memicu munculnya ide-ide baru yang fresh.
Lagipula terkadang kemacetan ide karena writer’s block terjadi hanya pada satu jenis tulisan tertentu, atau bahkan pada satu judul novel tertentu. Aku sering mengalami macet ide pada novel roman, tapi tidak pada novel silat, sehingga penanganannya mudah—tinggal ganti nulis yang lain. Dan jika kemacetan melanda tulisan fiksi, tinggal switch ke area nonfiksi, lalu nulis di blog, catatan Facebook, Kompasiana, atau untuk Mojok.Co.
Saat membahas topik ini (dan juga tentang mood menulis), aku jadi diingatkan kembali akan ungkapan “bukan apa-apa, bukan siapa-siapa” di novel silat Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto. Kita bisa bekerja apa saja, dengan gaji setinggi apa saja, dengan profesi sekeren apa saja, tapi mbalik-mbaliknya, kita tetap saja manusia biasa. Di atas langit masih ada langit. Se-bestseller apa pun, selalu akan ada yang lebih best seller lagi.
Profesi kita para penulis memang keren, tapi kita ya sama manusianya dengan bakul jamu atau tukang tambal ban. Jika memang tiba waktunya tak bisa nulis, entah itu karena writer’s block atau bukan, ya jatuhnya tetap tak bisa nulis saja. Terima itu dengan rileks sebagai bagian dari kehidupan integral. Profesionalisme kita sebagai penulis tak tercoreng hanya karena kita berhenti nulis karena mau operasi amandel, atau sakit gigi, atau bad mood sesudah padu (bertengkar) sama mendring!
Justru dengan menerima keberadaan kita sebagai manusia secara utuh lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangan akan membuat kita makin humanis, makin manusiawi. Kita belajar untuk memberi yang terbaik dalam segala keterbatasan itu, sehingga makin ke sini, tokoh-tokoh dan cerita yang kita susun akan makin membumi, bukan yang serba tentang tokoh dan cerita yang utopis dan terlalu heroik.
Kita, Homo sapiens ini, berkekurangan. We have to live with that. Dan nenek moyang kita membuat pepatah “Tak ada gading yang tak retak” bukan untuk suatu tujuan kosong.