Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menulis Dialog Sesuai Ciri Khas Tokoh, Apa Pentingnya?

27 Juni 2016   19:49 Diperbarui: 28 Juni 2016   16:14 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: blog.janicehardy.com

Karti tengah akan menutup lapak sembakonya di Pasar Ngadiharjo ketika Yu Kamit datang tergopoh-gopoh.

"Ti, apakah kau sudah mendengar apa yang terjadi pada Pak Modin?" tanya Yu Kamit.

"Tidak, Yu. Aku belum mendengar apa pun dari mereka dalam tiga hari belakangan ini. Memangnya apa yang terjadi?"

"Anak Pak Modin, Yudi, kabarnya akan menikahi Susanti. Bisakah kau memercayai itu?"

"Maksudmu Susanti janda dari Kang Mugiran?"

"Ya, tentu saja. Siapa lagi?"

Karti terdiam, lalu terhenyak. "Apakah kau memikirkan apa yang kupikirkan?"

"Kalau kau berpikir bahwa Susanti memang minta cerai dari Kang Mugiran karena ada perselingkuhan dengan Yudi sejak awal, ya, aku memikirkan hal yang sama."

"Tapi tidakkah kau berpikir bahwa itu aneh? Bukankah Yudi dulu sempat dekat dengan Rini anak Pak Carik?"

Yu Kamit sinis menatap Karti. "Jangan terlalu naif, Gadis Muda! Tentunya kau tidak berpikir bahwa Yudi berbeda dari laki-laki lain kan? Di alam semesta sebelah mana selama ini kau tinggal?"

Karti menggeleng-geleng. "Ya. Laki-laki memang sama saja. Kalau setiap kali aku mendengar itu aku dibayar seribu rupiah, tentunya saat ini aku sudah jadi miliuner."

(Foto: penultimateword)
(Foto: penultimateword)
---

Apa yang aneh pada petikan cerita di atas? Tak ada, kecuali bahwa tokoh-tokohnya bercakap-cakap dengan logat Amerika Serikat, yang membuatnya terasa seperti cerita terjemahan dari edisi Bahasa Inggris.

Hal itu pun sebenarnya tidak aneh juga, karena sah-sah saja sang pengarang hendak menuliskan cerita seperti apa pun maunya dia. Dialog itu baru menjadi ganjil jika dikaitkan dengan tokoh-tokoh penuturnya, yang bukan bernama Helen Collins atau Susan Smith dari New York City, melainkan Karti dan Yu Kamit dari Ngadiharjo.

Masuk akalkah ini? Pernahkah kita temui masyarakat biasa di sekitar kita di Indonesia—para penjual di pasar, tukang parkir, atau pakde dan bude—berbicara dengan logat demikian?

Dalam sebuah karya fiksi—termasuk skenario film—dialog tidak sekadar alat (utility) untuk menjelaskan cerita, seperti dalam gaya dongeng masa lalu. Dialog juga menjadi pilar tersendiri yang memperkuat pengisahan. Dan dalam fungsinya itu, dialog harus memiliki karakteristiknya yang terpenting, yaitu memberi ciri khas tiap tokoh, mirip yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Coba perhatikan tokoh-tokoh dunia nyata di sekitar kita saat berbicara! Apakah beda orang akan berbeda pula gaya bicaranya? Sudah pasti. Gaya bicara Bokap-Nyokap pasti beda dari teman-teman sekolah, kuliah, atau rekan di kantor. Sama-sama oom kita, tapi yang bekerja sebagai dosen akan berbeda diksi dari oom yang berkarier sebagai tentara atau polisi. Dan sama-sama pakai Bahasa Indonesia, tapi teman yang berasal dari DKI akan beda corak bicara dengan yang datang dari Bukittinggi atau Jayapura.

Intinya, kita harus menyusun dialog-dialog setelaten saat bikin kerajinan tangan, merajut atau menenun misalnya. Tidak bisa dengan metodologi seperti saat membuat batik cap, yang asal ketik sepanjang dialognya jelas, menarik, quotes-nya orisinal, dan memancing emosi serta atensi. Sayangnya, dalam banyak kasus, yang terjadi masih tetap 'metodologi batik cap' itu tadi.

Banyak novel, khususnya judul-judul sastra “bubblegum” abad ke-21, menyusun dialog yang serba similar tergantung latar belakang sang pengarang. Bila sang penulis canggih dalam berbahasa Inggris, semua tokohnya bicara dengan penuh taburan kalimat-kalimat Inggris—tak peduli soal latar belakang sosial-ekonomi atau tingkat generasi yang seperti apa pun.

Jika si penulis orang Jawa, semua tokohnya ngobrol dengan corak Boso Jowo (“Ya jangan gitu itulaaah!” atau “Aduh, aku kebauan!”). Dan saat sang pengarang kebetulan sangat maniak nonton film atau serial TV Hollywood, otomatis corak dialognya pun jadi bergaya Hollywood dan tak mempedulikan latar belakang para tokoh seperti kasus Karti dan Yu Kamit barusan.

Agar mampu memperkuat ciri tiap tokoh—terutama dua-tiga tokoh utama—dialog memang harus dibuat dengan semangat untuk bersedia rumit. Gaya omong tiap tokoh harus beda-beda dan dilihat dari banyak faktor sekaligus. Tingkat generasi, tingkat pendidikan, perbedaan bidang pendidikan & kerja, background sosial-ekonomi dan asal geografisnya, dan juga dari karakter psikologi dasar.

Ini penting karena perbedaan latar belakang akan menimbulkan perbedaan pula dalam menyikapi suatu event yang sama. Misal saat menerima kabar mengenai kecelakaan, kagetnya remaja ABG dari kota metropolitan akan beda dari ekspatriat berusia 30-an dari Belgia, misalnya, meski mereka sama-sama menggunakan Bahasa Indonesia dalam mengungkapkannya. Belum lagi jika dilihat dari latar sifat yang koleris, sanguin, dan melankolis.

Latar belakang geografi dan budaya juga akan berpengaruh banyak. Kalau kita amati, novel asli buatan orang Indonesia dengan yang ditulis oleh JK Rowling akan memiliki corak percakapan yang beda, sekalipun edisi yang dibaca sama-sama menggunakan Bahasa Indonesia. Itu karena gaya bicara warga tiap tempat dan negara akan saling berbeda-beda, baik diksi maupun frase-frasenya.

Dan sebagian dari gaya-gaya itu tak bisa dengan begitu saja diterjemahkan ke bahasa lain. Kalaupun hendak di-translate, terpaksa harus “berputar” menggunakan kata-kata yang lain, bukan terjemahan harfiahnya. Sebagai contoh, pertanyaan “How’s your day?” warga AS tak enak jika asal diterjemahkan menjadi “Bagaimana harimu?” melainkan harus menggunakan ungkapan yang paling mendekati dalam bahasa kita, yaitu seperti “Tadi seharian ngapain aja?” atau “Tadi ke mana aja?”.

So, akan sangat lezat membaca sebuah kisah tempat dialog-dialognya sungguh mewakili karakteristik tokoh. Karya-karya Ilana Tan yang semuanya berkisah tentang orang manca menjadi menarik karena gaya bahasanya memang menggunakan corak bicara orang sana, terutama Amerika. Kan jadi aneh kalau Alex Hirano dan Mia Clark dari Sunshine Becomes You mengucap kata-kata semacam “Ciee... cieee... yang lagi kangen!” atau “Jantan... ayam ‘kalee!” yang jelas bukan gaya bicara warga Nyuyoksiti, melainkan Njeminahan.

Yang aneh adalah seperti Karti dan Yu Kamit tadi, di mana warga lokal Jawa tapi 'dipaks' ngebrel dengan gaya Hollywood hanya karena kita sangat terpengaruh diksi dialog film-film Hollywood.

Pada beberapa titik, pengarang harus bisa berfungsi mirip aktor. Ia harus mau dan mampu melepaskan diri dari karakter asli dirinya menuju karakter yang bukan dia, yaitu melalui tokoh-tokohnya, yang harus kaya penuh variasi. Kan lucu jika semua tokoh dalam satu novel serba mirip dirinya, baik dalam perwatakan maupun latar belakang. Lucu juga jika gaya bahasa narasi sama persis dengan gaya bahasa dalam dialog—yaitu cara bicara sang penulis.

Rasanya akan seperti mendatangi food court mal tapi isinya jebul ayam goreng semua, berhubung yang punya food court penggemar ayam goreng...

Nah, lantas akan jadi kayak apa bila kalimat-kalimat dialog dua bakul pasar di atas diubah menjadi sepenuhnya gaya bicara warga Republik Indonesia, khususnya penduduk Jateng atau DIY? Silakan diotak-atik sendiri...!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun