Apa yang aneh pada petikan cerita di atas? Tak ada, kecuali bahwa tokoh-tokohnya bercakap-cakap dengan logat Amerika Serikat, yang membuatnya terasa seperti cerita terjemahan dari edisi Bahasa Inggris.
Hal itu pun sebenarnya tidak aneh juga, karena sah-sah saja sang pengarang hendak menuliskan cerita seperti apa pun maunya dia. Dialog itu baru menjadi ganjil jika dikaitkan dengan tokoh-tokoh penuturnya, yang bukan bernama Helen Collins atau Susan Smith dari New York City, melainkan Karti dan Yu Kamit dari Ngadiharjo.
Masuk akalkah ini? Pernahkah kita temui masyarakat biasa di sekitar kita di Indonesia—para penjual di pasar, tukang parkir, atau pakde dan bude—berbicara dengan logat demikian?
Dalam sebuah karya fiksi—termasuk skenario film—dialog tidak sekadar alat (utility) untuk menjelaskan cerita, seperti dalam gaya dongeng masa lalu. Dialog juga menjadi pilar tersendiri yang memperkuat pengisahan. Dan dalam fungsinya itu, dialog harus memiliki karakteristiknya yang terpenting, yaitu memberi ciri khas tiap tokoh, mirip yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Coba perhatikan tokoh-tokoh dunia nyata di sekitar kita saat berbicara! Apakah beda orang akan berbeda pula gaya bicaranya? Sudah pasti. Gaya bicara Bokap-Nyokap pasti beda dari teman-teman sekolah, kuliah, atau rekan di kantor. Sama-sama oom kita, tapi yang bekerja sebagai dosen akan berbeda diksi dari oom yang berkarier sebagai tentara atau polisi. Dan sama-sama pakai Bahasa Indonesia, tapi teman yang berasal dari DKI akan beda corak bicara dengan yang datang dari Bukittinggi atau Jayapura.
Intinya, kita harus menyusun dialog-dialog setelaten saat bikin kerajinan tangan, merajut atau menenun misalnya. Tidak bisa dengan metodologi seperti saat membuat batik cap, yang asal ketik sepanjang dialognya jelas, menarik, quotes-nya orisinal, dan memancing emosi serta atensi. Sayangnya, dalam banyak kasus, yang terjadi masih tetap 'metodologi batik cap' itu tadi.
Banyak novel, khususnya judul-judul sastra “bubblegum” abad ke-21, menyusun dialog yang serba similar tergantung latar belakang sang pengarang. Bila sang penulis canggih dalam berbahasa Inggris, semua tokohnya bicara dengan penuh taburan kalimat-kalimat Inggris—tak peduli soal latar belakang sosial-ekonomi atau tingkat generasi yang seperti apa pun.
Jika si penulis orang Jawa, semua tokohnya ngobrol dengan corak Boso Jowo (“Ya jangan gitu itulaaah!” atau “Aduh, aku kebauan!”). Dan saat sang pengarang kebetulan sangat maniak nonton film atau serial TV Hollywood, otomatis corak dialognya pun jadi bergaya Hollywood dan tak mempedulikan latar belakang para tokoh seperti kasus Karti dan Yu Kamit barusan.
Agar mampu memperkuat ciri tiap tokoh—terutama dua-tiga tokoh utama—dialog memang harus dibuat dengan semangat untuk bersedia rumit. Gaya omong tiap tokoh harus beda-beda dan dilihat dari banyak faktor sekaligus. Tingkat generasi, tingkat pendidikan, perbedaan bidang pendidikan & kerja, background sosial-ekonomi dan asal geografisnya, dan juga dari karakter psikologi dasar.
Ini penting karena perbedaan latar belakang akan menimbulkan perbedaan pula dalam menyikapi suatu event yang sama. Misal saat menerima kabar mengenai kecelakaan, kagetnya remaja ABG dari kota metropolitan akan beda dari ekspatriat berusia 30-an dari Belgia, misalnya, meski mereka sama-sama menggunakan Bahasa Indonesia dalam mengungkapkannya. Belum lagi jika dilihat dari latar sifat yang koleris, sanguin, dan melankolis.