Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menulis Dialog Sesuai Ciri Khas Tokoh, Apa Pentingnya?

27 Juni 2016   19:49 Diperbarui: 28 Juni 2016   16:14 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: penultimateword)

Latar belakang geografi dan budaya juga akan berpengaruh banyak. Kalau kita amati, novel asli buatan orang Indonesia dengan yang ditulis oleh JK Rowling akan memiliki corak percakapan yang beda, sekalipun edisi yang dibaca sama-sama menggunakan Bahasa Indonesia. Itu karena gaya bicara warga tiap tempat dan negara akan saling berbeda-beda, baik diksi maupun frase-frasenya.

Dan sebagian dari gaya-gaya itu tak bisa dengan begitu saja diterjemahkan ke bahasa lain. Kalaupun hendak di-translate, terpaksa harus “berputar” menggunakan kata-kata yang lain, bukan terjemahan harfiahnya. Sebagai contoh, pertanyaan “How’s your day?” warga AS tak enak jika asal diterjemahkan menjadi “Bagaimana harimu?” melainkan harus menggunakan ungkapan yang paling mendekati dalam bahasa kita, yaitu seperti “Tadi seharian ngapain aja?” atau “Tadi ke mana aja?”.

So, akan sangat lezat membaca sebuah kisah tempat dialog-dialognya sungguh mewakili karakteristik tokoh. Karya-karya Ilana Tan yang semuanya berkisah tentang orang manca menjadi menarik karena gaya bahasanya memang menggunakan corak bicara orang sana, terutama Amerika. Kan jadi aneh kalau Alex Hirano dan Mia Clark dari Sunshine Becomes You mengucap kata-kata semacam “Ciee... cieee... yang lagi kangen!” atau “Jantan... ayam ‘kalee!” yang jelas bukan gaya bicara warga Nyuyoksiti, melainkan Njeminahan.

Yang aneh adalah seperti Karti dan Yu Kamit tadi, di mana warga lokal Jawa tapi 'dipaks' ngebrel dengan gaya Hollywood hanya karena kita sangat terpengaruh diksi dialog film-film Hollywood.

Pada beberapa titik, pengarang harus bisa berfungsi mirip aktor. Ia harus mau dan mampu melepaskan diri dari karakter asli dirinya menuju karakter yang bukan dia, yaitu melalui tokoh-tokohnya, yang harus kaya penuh variasi. Kan lucu jika semua tokoh dalam satu novel serba mirip dirinya, baik dalam perwatakan maupun latar belakang. Lucu juga jika gaya bahasa narasi sama persis dengan gaya bahasa dalam dialog—yaitu cara bicara sang penulis.

Rasanya akan seperti mendatangi food court mal tapi isinya jebul ayam goreng semua, berhubung yang punya food court penggemar ayam goreng...

Nah, lantas akan jadi kayak apa bila kalimat-kalimat dialog dua bakul pasar di atas diubah menjadi sepenuhnya gaya bicara warga Republik Indonesia, khususnya penduduk Jateng atau DIY? Silakan diotak-atik sendiri...!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun