Latar belakang geografi dan budaya juga akan berpengaruh banyak. Kalau kita amati, novel asli buatan orang Indonesia dengan yang ditulis oleh JK Rowling akan memiliki corak percakapan yang beda, sekalipun edisi yang dibaca sama-sama menggunakan Bahasa Indonesia. Itu karena gaya bicara warga tiap tempat dan negara akan saling berbeda-beda, baik diksi maupun frase-frasenya.
Dan sebagian dari gaya-gaya itu tak bisa dengan begitu saja diterjemahkan ke bahasa lain. Kalaupun hendak di-translate, terpaksa harus “berputar” menggunakan kata-kata yang lain, bukan terjemahan harfiahnya. Sebagai contoh, pertanyaan “How’s your day?” warga AS tak enak jika asal diterjemahkan menjadi “Bagaimana harimu?” melainkan harus menggunakan ungkapan yang paling mendekati dalam bahasa kita, yaitu seperti “Tadi seharian ngapain aja?” atau “Tadi ke mana aja?”.
So, akan sangat lezat membaca sebuah kisah tempat dialog-dialognya sungguh mewakili karakteristik tokoh. Karya-karya Ilana Tan yang semuanya berkisah tentang orang manca menjadi menarik karena gaya bahasanya memang menggunakan corak bicara orang sana, terutama Amerika. Kan jadi aneh kalau Alex Hirano dan Mia Clark dari Sunshine Becomes You mengucap kata-kata semacam “Ciee... cieee... yang lagi kangen!” atau “Jantan... ayam ‘kalee!” yang jelas bukan gaya bicara warga Nyuyoksiti, melainkan Njeminahan.
Yang aneh adalah seperti Karti dan Yu Kamit tadi, di mana warga lokal Jawa tapi 'dipaks' ngebrel dengan gaya Hollywood hanya karena kita sangat terpengaruh diksi dialog film-film Hollywood.
Pada beberapa titik, pengarang harus bisa berfungsi mirip aktor. Ia harus mau dan mampu melepaskan diri dari karakter asli dirinya menuju karakter yang bukan dia, yaitu melalui tokoh-tokohnya, yang harus kaya penuh variasi. Kan lucu jika semua tokoh dalam satu novel serba mirip dirinya, baik dalam perwatakan maupun latar belakang. Lucu juga jika gaya bahasa narasi sama persis dengan gaya bahasa dalam dialog—yaitu cara bicara sang penulis.
Rasanya akan seperti mendatangi food court mal tapi isinya jebul ayam goreng semua, berhubung yang punya food court penggemar ayam goreng...
Nah, lantas akan jadi kayak apa bila kalimat-kalimat dialog dua bakul pasar di atas diubah menjadi sepenuhnya gaya bicara warga Republik Indonesia, khususnya penduduk Jateng atau DIY? Silakan diotak-atik sendiri...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H