Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Fiksi Diri Sendiri

27 April 2016   11:45 Diperbarui: 27 April 2016   20:03 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: omflit)

Saat mulai belajar menulis fiksi, kita akan cenderung memulai segalanya dari diri sendiri. Banyak unsur fiksi, terutama ide cerita, dimulai dari apa yang kita alami di dunia nyata. Sejak dari pengalaman hidup luar biasa ala Andrea Hirata atau A. Fuadi, hingga yang umum dan dialami banyak orang, seperti kasih tak sampai, cinta bertepuk sebelah tangan, atau LDR.

Tak hanya di sisi cerita, dalam unsur-unsur lain pun kita memunculkan segala sesuatu yang berasal dari diri kita, yaitu dalam karakterisasi, latar, tema, dan gaya. Dalam karakter, misalnya, kita menjadikan imaji diri kita sebagai sang tokoh utama. Baik yang berupa diri sesungguhnya dalam bentuk novel memoar semacam Negeri 5 Menara, maupun yang atribut-atribut personalnya mirip dengan kita.

Fenomena ini akan mudah kita jumpai dalam novel-novel sastra “bubblegum” abad ke-21 (teenlit, metropop, young adult, romance). Tokoh utama adalah pada dasarnya sang pengarang sendiri. Tak harus secara perawakan fisik, melainkan juga dalam watak tabiat, diksi perkataan, hingga latar belakang sosial ekonomi dan bidang kerja yang digeluti.

Bila sang pengarang berasal dari kelas menengah urban metropolitan, maka tokoh utama di novelnya adalah juga warga negara dengan ciri serupa. Bila sang penulis penggemar fashion dan sering bepergian ke mancanegara, maka karakter utama di novelnya pun seorang penggila fashion berskala internasional pula.

Tentu saja ini tidak salah. Adalah hak prerogratif pengarang untuk menampilkan tokoh yang seperti apa pun. Mengambil diri sendiri sebagai basis inspirasi tokoh adalah pilihan yang paling aman. Karena semua atribut dan fakta berdasarkan pengalaman pribadi, maka semua yang hadir melalui karakter itu pasti akan valid dan meyakinkan (at least sejauh pengarangnya bukan pengidap skizofrenia!)

Menjadi masalah ketika dalam sekian deret judul novel yang amat panjang, ia terus-menerus memunculkan tokoh yang demikian. Bahkan ada pula gejala yang cukup membuat dahi berkernyit. Dalam beberapa novel pop, tak hanya tokoh utama yang berkarakter mirip pengarang, melainkan semua tokoh tanpa kecuali.

Dan ini tak tanggung-tanggung. Kemiripan itu berada dalam semua lini. Sejak dari FOR/FOE (frame of reference/field of experience), bidang kehidupan, hingga watak tabiat dan bahkan diksi omongan.

Ketika sang pengarang adalah warga kelas atas ibu kota yang cas-cis-cus berbahasa Inggris, semua karakter juga sibuk bicara penuh dengan ungkapan, idiom, dan frasa-frasa Inggris. Dan itu merata, sejak dari kedua tokoh utama, teman-teman mereka, para tetangga, rekan di kuliah atau kantor, bahkan hingga ke kalangan generasi selapis di atas (para ortu dan om serta tante).

Satu dekade lalu, saat masih berkantor di Tabloid Tren Semarang memegang rubrik resensi buku, aku pernah mengulas novel semacam ini. Dan untuk fenomena everyone-speak-English itu, aku menulis, “...Seakan-akan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso baru saja mewajibkan seluruh warga Jakarta tanpa kecuali untuk ikut kelas conversation di lembaga-lembaga Bahasa Inggris!”.

Aku pun tentu tak terbebas dari gejala itu. Sebagian besar novel-novelku, terutama The Unfunniest Comedy (2011) dan Fade in Fade out (2013), menampilkan tokoh utama yang pada dasarnya adalah aku sendiri dengan segala atributku. Baru mulai The Supper Club (2014), novel-novel yang kutulis bisa sedikit terbebas dari elemen-elemen yang beraroma aku. Tak hanya di karakter-karakter, melainkan juga bidang kerja dan dan proksimitas (baik geografis maupun sosiologis).

Karena fiksi adalah soal eksplorasi dan imajinasi, maka pada suatu titik, seorang pengarang harus bisa membebaskan diri dari segala sesuatu yang berkorelasi dengan dirinya. Menulis fiksi yang bernuansa diri sendiri dapat diambil sebagai jenjang awal menapaki dunia satu ini. Tak ubahnya anak remaja yang mulai belajar naik motor dengan berkendara di jalanan aman di sekitar rumah tinggalnya.

Setelah mahir menguasai berbagai jenis motor berbeda dan bahkan bisa juga mengemudikan mobil, apakah ruas jalan yang dilaluinya masih di seputar RT 3, RT 4, Gang Kencana, dan Jalan Flamboyan II, hingga belasan tahun kemudian? Tentu tidak. Pasti akan perlu juga keluar ke Jalan Pemuda, Jalan Pahlawan, atau Jalan MT Haryono hingga alun-alun pusat kota yang krodit.

Penulis fiksi pun selayaknya begitu. Setelah usai menghadirkan unsur-unsur kedirian dalam beberapa karya awal, tingkat berikut yang lebih tinggi adalah menulis berdasar imajinasi. Lalu bisa seperti Dan Brown, yang bukan ilmuwan simbolog namun menghadirkan dunia simbologi. Atau seperti Seno Gumira Ajidarma, yang bukan sejarawan namun sanggup menulis detail tentang cara pengolahan daun rontal sebagai alat tulis orang Jawa pada abad ke-10 Masehi dalam cersil Nagabumi.

Lalu pengarang yang seorang jurnalis bisa menulis tokoh yang seorang dokter. Seorang penulis yang bekerja sebagai PNS menghadirkan dunia kepolisian di cerpennya. Atau seorang novelis yang praktisi sangkal putung bisa menulis cerita fantasi tentang makhluk-makhluk Animean dari Pulau Arkhngtad Sturdumz.

Dalam perjalanan menuju proses itu, ia pasti memerlukan dua hal: imajinasi dan ekspansi. Ekspansi apa? Wawasan pengetahuan. Penulis yang jurnalis akan terpaksa belajar serba sedikit tentang ilmu kedokteran dan dunia kerja para dokter. Either dia riset, interviu teman-temannya yang bekerja sebagai dokter, atau minta dikenalin kalau ada yang kenal sama dokter.

Hasilnya adalah peningkatan level, macam karakter di video gameyang baru saja mencapai kenaikan tingkat experience, combat skill, dan manna spell. Dan jika dalam beberapa novel berikut ia terus menghadirkan jagat beda-beda, maka setelah beberapa novel, akan wajar kalau ia selalu menang di game-game asah otak seperti QuizUp atau Duel Otak!

Sebenarnya, dari kelima unsur pembentuk fiksi, ada dua yang justru sangat ditekankan untuk terus-menerus menampilkan segala sesuatu yang berkaitan dengan diri kita, yaitu gaya dan latar tempat. Gaya sudah pasti. Itu membentuk ciri khas yang memunculkan diferensiasi produk. Tak usah lihat videoklip, misalnya, orang sudah langsung bisa mengenali vokal Raisa karena sangat khas.

Yang kedua, latar tempat, malah akan sangat baik bila digunakan untuk menyuguhkan apa yang ada pada diri sang pengarang. Kota atau kabupaten tempat tinggalnya, hingga ke tingkat kelurahan, desa, kampung, atau kompleks perumahan. Efek realisme menjadi alasan utama hal ini.

Alasan berikutnya yang tak kalah penting adalah soal promosi sebagai tempat pelancongan. Andrea Hirata melakukannya dengan sangat baik. Gara-gara tampilan realis Belitong di Laskar Pelangi, orang jadi ingin datang berbondong-bondong ke sana. Padahal sebelum itu, tahu letaknya di peta saja tidak.

Maka yang terpenting adalah memilah—di teritori mana kita harus berhenti menghadirkan diri sendiri, dan di segi yang mana justru kita harus mempertahankannya. Sayang yang mayoritas terjadi justru sebaliknya. Karakter utama yang ditampilkan masih berbau sang pengarang—dalam cerita yang berlatar di Toronto, Newcastle-upon-Tyne, atau Ibiza...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun