“...Saudara-saudara, sebagaimana kita semua ketahui, pada hari Selasa 31 Maret 2020, atau tepatnya kemarin sore pukul 16.48 WIB, Gunung Toba di Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan erupsi besar. Menurut para ilmuwan vulkanologi, geologi, klimatologi, dan sejarah, ini merupakan letusan pertama Gunung Toba yang pertama sejak terakhir kali meletus 75 ribu tahun yang lalu. Erupsi Gunung Toba begitu besar sehingga menimbulkan getaran gempa vulkanik berkekuatan 10 pada Skala Richter yang terasa hingga Jawa dan bahkan Jepang. Berdasarkan laporan BNPB atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana, erupsi supervolcano Gunung Toba menyebarkan gas beracun hingga radius 200 kilometer dari pusat erupsi dan juga abu vulkanik yang menyebar tanpa batasan jarak. Jumlah korban hingga saat ini belum diketahui, namun saya menerima laporan terbaru, diperkirakan koban berjumlah sekurangnya 125 ribu jiwa dan terus bertambah. Tim BNPB, SAR, dan TNI hingga saat detik ini masih terus berusaha menjangkau lokasi bencana. Sementara untuk daerah-daerah lain di sekitar Sumatera Utara dan bahkan hingga ke pulau Jawa dan Kalimantan, telah saya perintahkan evakuasi besar-besaran untuk mengantisipasi persebaran gas beracun hingga melewati pulau di luar Sumatera...”
Tak ada seorang pun yang bergerak. Aku bahkan takut menghirup napas. Kulihat situasi di luar jendela lebar lantai 38 gedung Menara Helman ini. Seperti malam sempurna di sana. Tak ada cahaya yang terlihat. Langit berwarna cokelat merah menakutkan oleh pendaran cahaya matahari siang yang dibiaskan pekatnya abu vulkanik.
“...Erupsi ini tidak hanya menjadi bencana nasional, melainkan sebuah musibah internasional yang menjadi perhatian seluruh dunia. Presiden Amerika Serikat dan Sekretaris Jenderal PBB bahkan telah menyatakan erupsi Gunung Toba sebagai sebuah Extinction Level Event, atau kejadian yang berpotensi pada kepunahan massal. Ini karena ancaman terbesar dari erupsi Gunung Toba terutama adalah abu vulkaniknya yang begitu masif, tebal, dan menutupi cahaya matahari seperti yang Anda semua saksikan dan alami sekarang ini sejak kemarin petang...”
Sontak semua menatap kekelaman di luar jendela.
Tentu saja. Tak ada yang tak tahu itu. Aku pun semalam sibuk mencari semua data ilmiah mengenai hal ini. Dan jawaban-jawaban yang tersaji membuat tanganku gemetaran dari tadi malam hingga sekarang. Tadi aku tak bisa tidur, sama sekali. Terpikir berbagai kemungkinan yang dapat terjadi jika semua makhluk di planet ini—hewan, tumbuhan, dan kami manusia—hidup tanpa sinar matahari untuk jangka waktu lama.
Dan dua tahun, kata para ilmuwan tadi?
“...Saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air, dan bahkan seluruh dunia, ini saatnya kita bersatu padu. Abu vulkanik akan menutupi sinar matahari hingga jangka waktu lama. Dua tahun menurut perkiraan ilmiah para ilmuwan, tapi siapa bisa memastikan? Itu pun baru perkiraan waktu tersingkat. Tanpa matahari, tumbuhan akan mati karena tak bisa berfotosintesa. Terutama seluruh tumbuhan pangan—gandum, padi, jagung, palawija, semuanya. Tahun ini seluruh wilayah dunia akan mengalami gagal panen. Lalu kelangsungan hidup umat manusia hanya bergantung pada cadangan pangan dunia yang masih ada. Pertanyaannya, lalu sesudah itu apa...?”
Aku meneguk ludah. Ya, sesudah itu lalu apa? Tak ada panen pangan hingga dua tahun. Dan kelak, jika abu vulkanik telah menipis dan matahari kembali bersinar, belum tentu semua masih ada dan tersedia tepat seperti situasi sekarang sehingga manusia dapat membangun kembali semuanya. Bisa saja tanah Bumi sudah tak bisa lagi ditanami. Bisa saja benih-benih padi atau gandum telah tak ada lagi.
Bahkan bisa saja Homo sapiens sudah lenyap tak bersisa...
“...Ketiadaan pangan sama saja dengan lenyapnya perekonomian, industri, dan pada dasarnya semua peradaban. Politik akan musnah, negara akan hancur, dan manusia bisa saja kembali hidup pada zaman purbakala sebelum adanya semua budaya, semua peraturan. Maka ini saatnya kita bersatu menyikapi itu semua, untuk mencegah umat manusia dari kehancuran global. Singkirkan semua perbedaan! Tak ada lagi Koalisi Nusantara atau Aliansi Perubahan Indonesia. Tak ada lagi muslim nonmuslim. Tak ada lagi ISIS atau Taliban atau Crusaders Army! Ini saatnya Israel dan Palestina, Korea Selatan dan Korea Utara, atau polisi dan kartel narkoba di Meksiko, harus bergandeng tangan. Karena ini momen pertaruhan bagi kita semua. Dan dalam pertaruhan nasib itu, tak ada lagi beda antarkeyakinan atau antargolongan. Semua akan sama-sama terkena, tak akan ada yang masuk perkecualian...!”
Lalu aku teringat wajahnya. Kuambil ponsel. Kusebut namanya untuk mengaktifkan panggilan.