[caption caption="New York City, salah satu tempat yang keren buat latar lokasi novel. (Foto: Films of Crawford)"][/caption]
Normalnya, latar tempat di cerita fiksi berlokasi di negara tempat kelahiran sang penulis. Kadang bahkan bisa di hometown-nya, kadang pula bebas untuk mengambil kota mana pun asal masih berada di negara yang bersangkutan. Yang Amerika ya Amerika, yang Inggris ya Inggris, dan kita pun sebagai WNI juga cenderung akan berkisah di negara Republik Indonesia juga.
Namun beberapa cerita, dalam hal ini novel, ternyata tak berlokasi di Indonesia meski ditulis oleh saudara kita sesama penghuni negeri ini. Ada yang di Los Angeles, ada yang di Paris, ada yang di New York, dan belakangan ini sesudah K-drama dan K-pop mendunia, berlokasi di negara Republik Korea alias Korea Selatan.
Tentu tak perlu sederet alasan untuk mendasari pemilihan itu. Setting lokasi kan hak prerogratif pengarang. Tak ada aturan baku yang berkaitan dengan standar kualitas mengenai tempat di cerita. Mau di Jakarta, mau di London atau Ankara dan Ndumpil sekalipun, pengarang tak perlu mempertanggungjawabkan preferensinya pada suatu sidang dewan dan mahkamah.
Meski begitu, perlu ada pertimbangan khusus juga saat hendak memilih latar tempat luar negeri. Yang perlu dipikirkan adalah, andai alur cerita dan permasalahan tak terpengaruh jika lokasi dipindah ke Wonosobo atau Nganjuk, mengapa harus berlokasi di Seoul atau Madrid? Kita bisa kena tudingan minder—milih lokasi abroad hanya agar rating kekerenan cerita bertambah.
Maka memang pemilihan tempat di luar negeri sebagai setting lokasi perlu didasari dengan alasan yang fungsional. Titik tolaknya, itu tadi, cerita dan permasalahan bakal dan pasti terpengaruh jika settingnya dipindah, even if sesama berlokasi di mancanegara.
Landasan apa misalnya? Sebut saja yang paling awal adalah situasi khusus yang hanya ada di satu negara. Di novel The Kite Runner, Khaled Hosseini mengambil latar di Kabul, ibukota Afghanistan. Ambilan setting manca ini menjadi perlu karena diskriminasi suku seperti yang ia kisahkan di sana memang hanya ada di Afghanistan.
Kalau cerita berlokasi di Jakarta, alurnya bakal aneh dan tak logis, karena diskriminasi serupa tak eksis di republik ini. Sekadar catatan, Afghanistan sebagai latar tempat harus dianggap lokasi luar negeri (bagi sang pengarang) karena meskipun berdarah Afghanistan, Hosseini adalah warga negara AS saat menulis novel keren tersebut.
Dasar lain yang bisa digunakan adalah one specific event yang hanya ada di sebuah tempat, either negara atau kota. Misal berkisah tentang seorang mahasiswa gokil yang bernadar akan ikut acara festival banteng di Pamplona, Spanyol, andai penembakannya diterima. Dalam hal ini, ketika cerita keseluruhan kemudian berlokasi di Pamplona, pilihan itu sangat bisa diterima. Festival besar tempat warga lari dikejar sekelompok banteng kan memang hanya ada di sana.
Hadirnya sebagian karya sastra yang mengambil tempat non-Indonesia sebagai setting lokasi bisa mulai dipandang sebagai sesuatu yang mencemaskan karena unsur keminderan itu tadi. Salah satu indikasinya adalah bahwa tempat-tempat yang dimunculkan semuanya berasal dari negara-negara yang (kita anggap) berkelas lebih tinggi dari negara kita, sehingga dijadikan acuan dan barometer dalam banyak hal.
Amerika dan Eropa, itu pasti. Lalu negara-negara Asia Timur yang maju dan makmur seperti Korea dan Jepang. Belakangan ini muncul satu idola baru: Turki. Semua adalah tlatah yang menjadi anutan pola berpikir dan berperikehidupan kita. Dengan mengambil mereka sebagai lokasi tempat, kita “menunaikan kewajiban” kekaguman kita pada mereka, sehingga kadar imej cerita kita bisa naik berkat asosiasinya dengan kualitas tinggi kehidupan di lokasi-lokasi tersebut.
Sebab andai pilihan itu tak ada kaitannya dengan masalah imej kekerenan, pasti akan ada juga novel-novel dengan lokasi di tempat-tempat yang kita pandang setara atau bahkan lebih tertinggal dari Indonesia. Dilli di Timor Leste misalnya, atau Tripoli, atau Ouagadogou (ibukota mana ini coba?), atau La Paz dan Pyongyang. Dan kapan pernah ada kisah berlokasi di Manila padahal kekerabatan kita dengan warga Filipina adalah sangat akrab?
Tanpa harus menjadi seorang patriotik nasionalistik yang saban 17 Agustus ikut jadi pengibar bendera atau ikut ormas berseragam loreng, pilihan tempat di cerita seharusnya memang berkaitan dengan kebanggaan terhadap negeri sendiri. Kota-kota besar RI saja tak pernah habis untuk digali, apalagi yang eksotik sebangsanya Rajaampat, Sibolga, Tenggarong, atau Banda Naira.
Kekhawatiran muncul saat sekian waktu lalu jenis novel-novel Korea mengalami kegairahan yang luar biasa. Pengarang Indonesia berbondong-bondong merilis cerita yang berlokasi di negeri itu—dengan alur cerita yang mayoritas tidak terlalu necessary mengapa harus berlokasi di sana. Beberapa di antaranya bahkan dilengkapi dengan panduan wisata tempat-tempat indah di Korea lengkap dengan foto-foto—dan full color pula!
Kita pun bertanya-tanya, utang apa kita sama mereka sehingga pengabdian kita terhadap mereka seheroik itu? Masih wajar kalau novel bersangkutan memang proyek Kementerian Pariwisata Republik Korea yang tengah ingin mengembangkan potensi wisatanya terhadap warga RI. Itu lain soal. Dan sangat sah dilakukan.
Dan pertanyaan lain adalah, apakah di Korea sana juga terdapat para novelis yang dengan sukarela pula menulis novel yang berlokasi di Jakarta atau Bandung, dengan tokoh-tokoh sepenuhnya orang Indonesia, bukan Korea?
Berkaitan dengan kekoreaan ini, padahal tersaji cukup banyak faktor yang bisa membuat pilihan latar tempat di Negeri Ginseng menjadi reasonable, yaitu dengan potret kekhasan mereka masuk ke dalam alur cerita. Misal tentang kebiasaan ABG di sana untuk meminta hadiah operasi plastik saat ultah ke-16 atau 17. Juga kehidupan melelahkan para anggota boyband/girlband. Atau angka bunuh diri di kalangan remaja yang tinggi sebagai akibat tekanan hidup yang sangat berat.
Lokasi manca, di mana pun itu, akan jadi kuat dan masuk akal jika sekaligus menjadi potret. Tak sekadar lokasi kosong di mana ceritanya jebul umum saja: cowok-cewek sahabatan lalu jatuh cinta, saling sirik lalu saling merindukan, atau manusia menolong hantu arwah dan lalu saling jatuh cinta dengan sang arwah.
Dan lagi, andai tetap ingin mengambil tempat manca sebagai latar, masih banyak tempat yang memerlukan uluran kepedulian kita lewat sastra. Darfur misalnya, atau Aleppo, atau Mexico City yang nyaris chaos dikuasai kartel narkoba, atau Rio de Oro di ujung barat laut Afrika yang sampai kini masih belum jelas masuk wilayah negara mana. Dan mana kepedulian kita terhadap penderitaan warga Palestina di Gaza?
Kayaknya belum pernah ada novel romans berlokasi di sana, baik mengisahkan warga asli Palestina maupun tentang WNI yang ikut misi kemanusiaan di Gaza atau Tepi Barat. Padahal asik kalau misalnya ada novel berjudul Azan Terakhir di Gaza, atau Gaza Sunset, atau Tasbih Cinta di Sungai Jordan.
Alih-alih, kita malah justru disibukkan membantu promo pariwisata tempat-tempat yang ingin kita datangi jika berkesempatan liburan ke luar negeri...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H