Ada tanggung jawab yang jauh lebih besar bagi seluruh stakeholder. Dan pemangku kepentingan perusahaan pembuat sinetron tak hanya stasiun TV, lembaga rating, dan pemasang iklan, namun juga kru karyawannya, pemain sinetron, publik pemirsa, dan lingkungan. Banyak yang terabaikan dalam geliat “kerja keras cari makan” yang dikatakan hanya semata “berdasarkan kemauan pemirsa” itu.
Upaya ke arah ini sebetulnya tak terlalu sulit. Bahkan banyak yang bisa dikerjakan jika yang diambil adalah pendekatan termudah konsep CSR soal berbuat baik dan menyumbang bagi kemanusiaan dan masyarakat luas. Hal yang paling awal langsung bisa mulai dilakukan hari ini juga adalah dengan mengalokasikan sejumlah dana untuk memproduksi sinetron yang benar-benar dimaksudkan sebagai karya seni budaya, bukan barang dagangan untuk mencari angka rating dan share.
Berikan kesempatan pada para seniman sinema idealis semacam Garin Nugroho atau Lola Amaria—atau sineas-sineas daerah yang tak terdengar—untuk bebas berekspresi seperti yang mereka kehendaki, di semua titik kreatif produksi. Tak ada beban tuntutan untuk harus mengikuti aneka macam standar komersialitas atau direcoki unsur-unsur nonteknis yang annoying (misalnya produser minta ditambahi satu tokoh baru agar anak/keponakannya bisa ikut main!).
Kekhawatiran bahwa sinetron yang terlalu intelek, idealistik, dan humanis tak akan ditonton dapat mulai dijembatani. Betulkah asumsi itu? Atau hanya sekadar kemalasan dan ketakutan bereksplorasi? Harapannya, semoga fenomena semacam beberapa tahun lalu ketika Deddy Mizwar sampai memohon-mohon dana agar serial sinetron berkualitas mereka tetap bisa diproduksi, tidak akan terjadi lagi.
Dana CSR juga dapat dianggarkan untuk menyelenggarakan kompetisi, seperti sayembara penulisan skenario (yang kubahas dalam tulisan terdahulu) atau kontes sinetron indie berdurasi 5-10 menit. Bisa juga digelar acara-acara semacam workshop persinetronan di daerah, untuk membuka aktivitas produksi sinetron di luar DKI Jakarta, karena selama ini sinetron memang Jakarta-sentris pakai banget.
Dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai dampak bagi lingkungan dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sesuai konsep CSR dapat diwujudkan dalam bentuk kemauan para penggede PH untuk bersedia duduk semeja dengan semua stakeholder industri sinetron. Ini mencakup stasiun TV, lembaga rating, pemasang iklan, akademisi, pers, budayawan, dan masyarakat luas.
Mungkin dapat digelar semacam Simposium atau Konferensi Sinetron Nasional yang dimotori pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Di mana nanti hasil akhirnya adalah kebulatan tekad semacam Sumpah Pemuda atau Dasasila Bandung yang menyatukan semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama membangun karakter bangsa lewat sinema televisi.
Tentu tak hanya content yang diberi penekanan, melainkan semua sisi. Teknis sinematek, teknologi animasi, komputer grafis, marketing, promosi, hak cipta (sehingga nggak mempermalukan seisi bangsa dengan menjiplak sinetron asing), dan tak lupa mengenai visi jauh ke depan (dengan cara bagaimana sinetron Indonesia bisa mewabah hingga ASEAN, Asia Timur, Asia, dan bahkan dunia dalam 10-15 tahun mendatang).
Sebab kita sudah bosan. Sepanjang sejarahnya, persinetronan Indonesia tak ubahnya penonton, yang hanya berganti-ganti arah kiblat. Dari telenovela Amerika Latin, India, serial Hollywood, Hong Kong, Taiwan, Tiongkok, Korea, dan kini Turki, lalu India lagi.
Lalu kapan Indonesia gantian dijadikan kiblat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H