Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Adakah Kewajiban CSR bagi PH Sinetron?

15 Desember 2015   12:38 Diperbarui: 15 Desember 2015   23:30 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Foto: Metafrique)"][/caption]Dalam beberapa waktu terakhir, muncul peningkatan yang cukup nyata di tengah masyarakat kita dalam hal kesadaran terhadap konsep CSR atau corporate social responsibilty. CSR kerap diartikan sebagai pemberian balik perusahaan-perusahaan besar kepada publik dan lingkungan di sekitarnya, terutama dalam kucuran dana guna penggarapan proyek-proyek sosial kemasyarakatan.

Namun ternyata, perbuatan baik dan sumbangan sosial perusahaan (seperti Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House) hanyalah bagian kecil dari CSR. Sedang keseluruhan CSR sendiri di Wikipedia diartikan sebagai konsep bahwa sebuah organisasi (terutama perusahaan) tak hanya berorientasi profit, namun juga memiliki tanggung jawab terhadap semua stakeholder (pemangku kepentingan), termasuk konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas, serta lingkungan.

Dengan meningkatnya awareness publik terhadap hal itu, maka perusahaan-perusahaan besar pun mulai menggulirkan konsep CSR-nya masing-masing. Intinya, kini mereka tak hanya sibuk cari duit, namun juga mulai memikirkan secara serius dampak baik apa yang mereka bisa berikan dalam berbagai segi aktivitas, baik internal maupun eksternal.

Perusahaan-perusahaan raksasa pun mulai menyisihkan sebagian pendapatan untuk membina lingkungan masyarakat sekitar, atau lingkungan umum. Bisa dengan kucuran kredit UKM, pemberian beasiswa, atau dana funding bagi lembaga-lembaga NGO untuk proyek kemasyarakatan nonprofit.

Dalam konteks yang tak berbeda, hal serupa berlaku pula bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri hiburan, khususnya televisi. Lalu kita bertanya, apakah perusahaan-perusahaan PH (production house) pembuat sinetron juga ikut terkena kewajiban untuk meluncurkan program CSR juga? Jika iya, apa program CSR mereka? Sudahkah ada—atau bahkan terpikirkan? Adalah sangat logis bila mereka harus memilikinya, karena tak diistimewakan untuk memperoleh semacam “CSR-holiday” dari pemerintah.

Karena, seperti biasa, penuh prasangka baik, maka aku sempatkan untuk mengetikkan keyword “CSR perusahaan PH sinetron Indonesia” di Google, kalau-kalau sudah ada program CSR dari PH-PH besar yang sudah dimunculkan tapi aku tak tahu. Sayang sejauh ini yang muncul adalah no result. Yang ada malah artikelku “How to Make Sinetron Better” di blog, muncul di urutan kedua.

Memang sejak aku aktif di kegiatan literasi media melalui LeSPI (Lembaga Studi Pers & Informasi) di Semarang terutama mengamati tayangan televisi, belum pernah kudengar ada program semacam ini dari para PH. Stasiun televisi, terutama beberapa yang tak melulu cari duit, terlihat sudah memilikinya, terutama dalam beberapa event yang langsung menyentuh masyarakat.

Gelaran Eagle Award di Metro TV, Net CJ di Net, atau Kompas Kampus di Kompas TV, sudah cukup memiliki napas ke-CSR-an. Dalam artian, ada sejumlah dana guna biaya penyelenggaraan suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengedukasi masyarakat pemirsa dalam suatu titik keahlian tertentu—dan berkelanjutan serta benar-benar terakomodasi di layar kaca.

Sedang untuk perusahaan-perusahaan rumah produksi, sudah seperti apakah konsep atau program CSR mereka? Ini patut didiskusikan karena, setelah bertahun-tahun beroperasi dengan omset mencapai miliaran rupiah (ratusan miliar, barangkali), sudah saatnya mereka memberi balik kepada publik. Terlebih sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia persinetronan seperti sengaja “menjaga jarak” dari masalah kualitas dan estetika seni—belum lagi soal edukasi, terutama bagi anak-anak dan remaja.

Padahal tentu, tak ada keistimewaan perusahaan rumah produksi sinetron dibanding rekan-rekan sejawatnya dalam hal memberi balik kepada masyarakat. Jangankan perusahaan besar, kita per individu saja sama rata punya tanggung jawab untuk memberi balik, berbagi, dan memikirkan dampak kehidupan dan aktivitas harian kita dalam membiayai hidup, bagi lingkungan sekitar.

Terlepas dari fakta itu, memang sudah saatnya sederet PH besar produsen sinetron di Tanah Air diingatkan perlunya untuk tak semata berasyik masyuk terlena mencari uang semata. Beredarnya meme tentang “Ortu bayar jutaan rupiah untuk mendidik anak. Artis sinetron dibayar jutaan rupiah untuk merusak anak” di internet belakangan ini harusnya menjadi pengingat untuk itu.

Ada tanggung jawab yang jauh lebih besar bagi seluruh stakeholder. Dan pemangku kepentingan perusahaan pembuat sinetron tak hanya stasiun TV, lembaga rating, dan pemasang iklan, namun juga kru karyawannya, pemain sinetron, publik pemirsa, dan lingkungan. Banyak yang terabaikan dalam geliat “kerja keras cari makan” yang dikatakan hanya semata “berdasarkan kemauan pemirsa” itu.

Upaya ke arah ini sebetulnya tak terlalu sulit. Bahkan banyak yang bisa dikerjakan jika yang diambil adalah pendekatan termudah konsep CSR soal berbuat baik dan menyumbang bagi kemanusiaan dan masyarakat luas. Hal yang paling awal langsung bisa mulai dilakukan hari ini juga adalah dengan mengalokasikan sejumlah dana untuk memproduksi sinetron yang benar-benar dimaksudkan sebagai karya seni budaya, bukan barang dagangan untuk mencari angka rating dan share.

Berikan kesempatan pada para seniman sinema idealis semacam Garin Nugroho atau Lola Amaria—atau sineas-sineas daerah yang tak terdengar—untuk bebas berekspresi seperti yang mereka kehendaki, di semua titik kreatif produksi. Tak ada beban tuntutan untuk harus mengikuti aneka macam standar komersialitas atau direcoki unsur-unsur nonteknis yang annoying (misalnya produser minta ditambahi satu tokoh baru agar anak/keponakannya bisa ikut main!).

Kekhawatiran bahwa sinetron yang terlalu intelek, idealistik, dan humanis tak akan ditonton dapat mulai dijembatani. Betulkah asumsi itu? Atau hanya sekadar kemalasan dan ketakutan bereksplorasi? Harapannya, semoga fenomena semacam beberapa tahun lalu ketika Deddy Mizwar sampai memohon-mohon dana agar serial sinetron berkualitas mereka tetap bisa diproduksi, tidak akan terjadi lagi.

Dana CSR juga dapat dianggarkan untuk menyelenggarakan kompetisi, seperti sayembara penulisan skenario (yang kubahas dalam tulisan terdahulu) atau kontes sinetron indie berdurasi 5-10 menit. Bisa juga digelar acara-acara semacam workshop persinetronan di daerah, untuk membuka aktivitas produksi sinetron di luar DKI Jakarta, karena selama ini sinetron memang Jakarta-sentris pakai banget.

Dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai dampak bagi lingkungan dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sesuai konsep CSR dapat diwujudkan dalam bentuk kemauan para penggede PH untuk bersedia duduk semeja dengan semua stakeholder industri sinetron. Ini mencakup stasiun TV, lembaga rating, pemasang iklan, akademisi, pers, budayawan, dan masyarakat luas.

Mungkin dapat digelar semacam Simposium atau Konferensi Sinetron Nasional yang dimotori pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Di mana nanti hasil akhirnya adalah kebulatan tekad semacam Sumpah Pemuda atau Dasasila Bandung yang menyatukan semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama membangun karakter bangsa lewat sinema televisi.

Tentu tak hanya content yang diberi penekanan, melainkan semua sisi. Teknis sinematek, teknologi animasi, komputer grafis, marketing, promosi, hak cipta (sehingga nggak mempermalukan seisi bangsa dengan menjiplak sinetron asing), dan tak lupa mengenai visi jauh ke depan (dengan cara bagaimana sinetron Indonesia bisa mewabah hingga ASEAN, Asia Timur, Asia, dan bahkan dunia dalam 10-15 tahun mendatang).

Sebab kita sudah bosan. Sepanjang sejarahnya, persinetronan Indonesia tak ubahnya penonton, yang hanya berganti-ganti arah kiblat. Dari telenovela Amerika Latin, India, serial Hollywood, Hong Kong, Taiwan, Tiongkok, Korea, dan kini Turki, lalu India lagi.

Lalu kapan Indonesia gantian dijadikan kiblat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun