Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Cara Praktis Membedah Novel

6 Desember 2015   23:11 Diperbarui: 8 Desember 2015   03:20 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="(Foto: Ugly Dog Books)"][/caption]Normalnya, kita membaca hanya yang sesuai selera, baik jenis ceritanya maupun pengarangnya. Bagi kita, yang difavoritkan pastilah keren, dan yang tidak ya tidak. Pada gilirannya, kita menentukan bagus tidaknya sebuah buku, terutama fiksi, cukup dari posisinya yang masuk favorit atau tidak.

Kalau dianalogikan ke makanan, yang kita anggap oke ya hanya makanan favorit. Jarang kita menelaah bahwa ada ukuran yang lebih standar dan baku dari makanan selain dalam soal selera kita, yaitu kandungan nutrisi. Maka sebagian dari kita menderita banyak komplikasi kesehatan karena asupan makanan sepenuhnya berbasis selera, dan bukan dari kualitas serta keseimbangan nutrisi.

Hal yang sama juga berlaku dalam cara kita menikmati sastra. Hampir tak terpikir oleh kita bahwa ada ukuran standar karya fiksi seperti nutrisi dalam makanan. Jika itu bisa diketahui, maka kita bisa memiliki kemampuan literasi sastra, alias melek sastra, yaitu tahu mana karya yang ber-“nutrisi” dan mana yang tidak.

Kita pun akan jadi selektif. Hanya membaca yang berkualitas (hingga mencerdaskan dan mencerahkan) dan meninggalkan yang tidak (yang mostly hanya menghibur lewat happy ending). Hidup akan jadi lebih baik seiring peningkatan level bacaan.

Lalu bagaimana cara mengukur sebuah karya fiksi, dalam hal ini novel, dari segi kualitas? Kuncinya ada di lima pilar pembentuk fiksi yang ada lima itu.

Karakterisasi

Kata GK Chesterton ... “A good novel tells us the truth about its hero, but bad novel tells us the truh about its author”. Sebuah novel terasa hidup bila memuat karakter-karakter yang kuat. Bagaimana caranya? Mereka saling berbeda satu sama lain. Masing-masing punya ciri yang khas.

Ciri beda-beda itu membentang sejak dari urusan fisik, watak, suku bangsa, dan latar belakang (pendidikan, pekerjaan, kelas sosial-ekonomi, zodiak, shio, dll.). Lalu, cara berpikir yang menentukan tindakan dan omongannya didasarkan pada semua atribut itu. Maka akan ada beda cara mikir dan bertindak tokoh yang dosen dan pengusaha mi ayam terhadap hal yang sama. Dan ada beda juga dalam cara ngomong (diksinya) guru SMA dengan pengacara kondang meski usianya sebaya.

Novel yang bagus memuat karakter-karakter yang kaya dan variatif, bukan yang semua serba sama—apalagi kalau semua mirip seperti pengarangnya. Contoh: karakter-karakter di Lima Sekawan (Enid Blyton).

Latar

Dalam novel berkualitas, latar tempat dan waktu berbicara banyak di dalam cerita. Ada detail segala tempat, sejak dari provinsi, kota, kampung, jalan, hingga rumah dan ruangan-ruangan. Suasananya sungguh bisa kita rasakan. Nama-nama jelas juga sehingga terbangun realisme. Dan andai lokasi bertempat di luar negeri, ada alasan mengapa cerita ditaruh di sana. Kalau hanya cerita cinta biasa, tentu tak urgen mengapa cerita berlokasi di London atau New York, karena kalau dipindah ke Jember Utara atau Njeminahan, ceritanya masih tetap sama.

Latar waktu bersesuaian dengan pola pikir dan tingkah laku para karakter. Juga dengan segala referensi terkini yang masuk dalam percakapan para tokoh. Dalam hal periode drama (cerita dari suatu periode tertentu masa lalu), akurat juga penyebutan segala pernik dari masa itu, seperti kipas angin dengan pemutar pegas di novel Bumi Manusia-nya Pram yang berlatar awal abad ke-20 itu.

Contoh: latar waktu di tetralogi Bumi Manusia, dan latar tempat yang urgen di The Kite Runner-nya Khaled Hosseini (karena permasalahan seperti yang hadir di cerita memang hanya ada Afghanistan, bukan di tempat lain).

Plot

Sebuah novel bisa dibilang kuat bila plotnya rapi. Iramanya terlihat dan terasa manis. Di novel pop biasa, tentu ada kerapian dalam Struktur Hollywood-nya (alias Struktur Tiga Babak: pengenalan-konflik-selesaian). Jelas dalam pengenalan, bikin was-was dalam bangunan krisis, seru dalam klimaks konflik, dan tuntas selesai semua masalah terjelaskan (either happy or unhappy ending). Lebih bagus jika muncul plot twist yang mengejutkan dan tak disangka-sangka.

Novel standar umumnya hanya terdiri dari alur tunggal (si A dan si B mengejar cinta lalu jadian) dan semua tokoh di luar kedua tokoh utama hanya disibukkan oleh permasalahan mereka berdua. Novel yang lebih kuat tersusun atas lebih dari satu plot, karena para tokoh pendukung (normalnya 1-2) punya masalah sendiri-sendiri yang juga harus ikut diselesaikan dan saling memengaruhi dengan masalah kedua tokoh utama, lalu menyatu dalam satu klimaks.

Contoh: semua novel Dan Brown dan juga Dee.

Tema

Bertambah bijak setelah membaca sebuah novel? Itu ciri khas cerita bagus, yang menghadirkan moral of the story yang jelas sehingga bisa kita serap, biasanya lewat dialog-dialog bernas (memorable quotes) para tokohnya. Dan bertambah pengetahuan setelah baca satu novel? Itu satu lagi ciri cerita yang kuat, karena sang pengarang mampu menghadirkan rincian suatu hal yang membuat kita menggumam “Oooh... gitu to?”.

Novel yang bagus juga mampu menyajikan segala hal secara logis dan akurat, entah bersesuaian dengan apa yang ada di dunia nyata atau mengikuti hukum peristiwa yang diciptakan dan berlaku, terutama bila cerita berjenis nonrealis (horor, fiksi ilmiah, fantasi).

Contoh: Nagabumi oleh Seno Gumira Ajidarma dan Senopati Pamungkas oleh Arswendo Atmowiloto.

Gaya

Salah satu elemen terpenting dari gaya cerita adalah pilihan angle (point of view). Dan novel yang bagus memanfaatkan dengan jitu POV yang dipakai.

Di angle orang ketiga (God mode), cerita dibikin kaya lewat tokoh-tokoh yang saling berbeda dan rangkaian cerita bertitik tolak dari keragaman itu. Pada angle orang pertama (“aku”), seluruh dunia diciptakan murni hanya dari observasi satu tokoh tunggal, yaitu sang narator. Cerita berangkat dari misteri yang terbangun dari ketidaktahuan dia terhadap orang-orang di sekitarnya.

Pada novel standar, pengambilan POV yang tak tepat sering berakhir dengan bencana. Angle orang ketiga namun semua tokohnya sebangun. Dalam kasus ini, seharusnya, sang pengarang mengambil saja angle orang pertama. Sedang dalam ambilan angle orang pertama, kerap ada kebocoran: si “aku” bisa menceritakan adegan di mana dia hadir di tempat kejadian.

Contoh: semua novel Agatha Christie.

Nah, sekarang kita bisa mulai meresensi novel-novel yang kita baca secara lebih objektif, dan bukan murni berdasarkan selera. Lalu, mungkin saja kita kaget saat mengetahui yang selama ini kita favoritkan ternyata kurang kuat secara kualitas, apalagi jika dalam sekian deret judul yang panjang, sang pengarang idola terus-menerus menyuguhkan hal yang sama, baik dalam ciri penokohan, cerita, maupun topik permasalahan.

Saatnya untuk keluar dari comfort zone dan mencari barang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun