[caption caption="(Foto: Dokumentasi Rumah Media)"][/caption]
Agama (Islam) menginstruksikan kita untuk berbagi—lewat zakat dan juga infak sedekah. Dalam cakupan yang lebih luas, yang dibagi tak hanya sebatas harta benda saja, melainkan ilmu. Karena punya ilmu dan wawasan melimpah, penulis harusnya membagikan itu pula, untuk menginspirasi dan membuat perubahan pada masyarakat.
Sayang banyak yang terlupa untuk menginspirasi dan menggerakkan—melainkan hanya masyuk mengelola rangkaian rekor data-fakta & statistika. Tak banyak yang seperti Gol A Gong, misalnya, yang mengabdikan hidupnya untuk mengelola komunitas sehingga bisa berbagi. Mengikuti jejaknya, aku ikut turun tangan melakukan hal serupa lewat komunitas menulis Rumah Media di Semarang, yang baru saja meluncurkan program teranyarnya, yaitu kelas menulis.
Sudah dua sesi Kelas Menulis Rumah Media berlangsung, dan suasananya sangat menyenangkan. Apalagi bisa menggunakan tempat yang nyaman dan representatif di TB Gramedia Balaikota, Jl. Pemuda 138, Semarang. Sebelum dan sesudah mengikuti kelas, semua bisa berkeliling toko memuaskan hasrat untuk menggauli buku-buku.
Dimulai tanggal 21 November 2015 lalu, kelas diikuti tujuh peserta yang berasal dari berbagai latar belakang berbeda. Pada pertemuan kedua, satu peserta mengundurkan diri, namun muncul satu member baru, yang ternyata konco lawasku di komunitas blogger Semarang, Loenpia.Net. Pertemuan kelas rutin berlangsung tiap Sabtu pukul 15 dan berdurasi dua jam.
Yang pertama kali berputar resminya adalah Kelas Novel, namun di dalamnya nanti akan ikut dibahas unsur-unsur kepenulisan lainnya: puisi, cerpen, dongeng, film, dan bahkan kepenulisan nonfiksi. Kelas akan berlangsung dalam 12 kali pertemuan, dan memakai metoda “learning by doing”. Peserta juga sekaligus menyusun novel yang akan langsung dibimbing dua trainer Rumah Media, yaitu grafolog Aulia A. Muhammad dan aku.
Untuk keperluan belajar, semua peserta mendapatkan modul The Art of Writing buatanku. Meski demikian, pertemuan kelas tak melulu ceramah & diskusi materi modul, melainkan bisa apa saja agar tidak membosankan. Pada pembukaan kelas, aku mengajak diskusi soal persiapan sebelum mulai menulis novel. Di sesi kedua, Aulia dan Wesiati Setyaningsih (guru SMAN 9 Semarang dan penulis buku Tersesat di Jalan yang Benar) berbagi pengalaman dan motivasi menulis.
Untuk episode ketiga nanti, kegiatan kelas berupa bedah buku, yaitu mendiskusikan novel Dirty Little Secret karya aliaZalea. Pada sesi-sesi kelas berikutnya, bisa saja para peserta diajak outbond untuk observasi dan hunting ide cerita, nonton film lalu mendiskusikannya, atau mengkonsultasikan naskah. Bahkan bisa juga berupa wisata kuliner!
Buatku sendiri, perjalanan Rumah Media sampai bisa membuka kelas menulis bukanlah sebuah kisah yang pendek dan apalagi instan. Sebagai sebuah pusat kajian kepenulisan, Rumah Media sudah berdiri sejak 24 Juli 2011. Founder-nya adalah Lembaga Studi Pers & Informasi (LeSPI), NGO berbasis di Semarang yang bergiat di bidang literasi & pantauan media, khususnya TV.
Mulai 2013, Rumah Media bergerak sebagai komunitas menulis, dan rutin mengadakan berbagai acara di base camp-nya, di Jl. Murbei I Timur nomor 3 di bilangan Srondol, Semarang. Waktu itu yang rutin digelar adalah diskusi buku (termasuk novel-novelku), nobar & diskusi film (sejak dari film dokumenter sastrawan nasional hingga 3 Idiots), serta menjadi motor penggerak dua jenis kegiatan kemasyarakatan: komunitas film indie dan komunitas pegiat rumah baca.
Karena lokasi di Srondol sering susah dijangkau, kegiatan kemudian dipindahkan ke TB Gramedia Balaikota yang berada di downtown Semarang. Sejak bulan Mei lalu, kegiatan-kegiatan Rumah Media sudah sepenuhnya boyongan dari markas di Murbei ke TB Gramedia. Maka kelas menulis pun juga bertempat di sana, tepatnya di sisi kiri area toko buku, dekat eskalator tak terpakai.
Pada dasarnya, kelas adalah pendalaman dari kegiatan-kegiatan di level komunitas. Dari sharing ilmu dan pengalaman, member bisa menggali kemampuan secara serius di bidang kepenulisan sebagai salah satu alternatif profesi. Dan nanti kelak akan terbukti, bahwa kemampuan menulis mengubah banyak hal dalam hidup selain di soal income serta reputasi (popularitas).
Bahwa ongkosnya relatif agak mahal, itu pun bagian dari perubahan hidup juga. Karena sudah telanjur mengeluarkan duit agak banyak, kita pun harus mempertanggungjawabkan itu pada diri sendiri. Harus berhasil—at least sampai selesai, at least sampai bisa beneran bikin karya. Dan tentu, mirip seperti pemikiran para pebisnis soal balik modal, sampai nanti penghasilan dari nulis bisa mencapai BEP dari angka rupiah yang sudah dikeluarkan untuk ikut kelas.
Soalnya kalau gratis, kita kadang juga tak mempersoalkan andai “bisnis” gagal atau malah tak berlanjut sama sekali. Di luar Rumah Media, aku sering membimbing nulis atau bahkan membantu mengedit dan merevisi naskah teman-teman, tanpa bayaran. Namun kegratisan membuat mereka tak memiliki ikatan dan tuntutan apa pun. Sesudah satu naskah (yang kadang bagus banget), mereka menghilang dan enam atau tujuh bulan kemudian, tahu-tahu telah menekuni pekerjaan “sungguhan” dan “nggak sempat lagi nulis...!”
Selain aku, mentor tetap di Rumah Media adalah Aulia. Orang ini resminya berkarier sebagai editor cerpen di Cempaka Minggu Ini, tabloid mingguan di Semarang. Namun dia bisa apa saja, termasuk grafologi (analisis karakter lewat tulisan tangan) dan tasseografi (membaca masa lalu dan masa depan lewat teh). Dia pernah punya acara talk show tentang grafologi di kanal lokal Cakra Semarang TV, dan sekarang berpraktik tasseografi di kafe Repoeblik Nongkrong.
Big picture Rumah Media adalah seperti yang dikatakan sastrawan besar Ahmad Tohari saat aku berkesempatan hang out dengannya di Wonosobo 10 tahun lalu. Ia mengungkap bahwa sastra memperhalus budi pekerti dan keluhuran kita sebagai manusia. Dan bangsa kita yang masih sama centang perentangnya antara tahun itu hingga sekarang membuktikan betapa masih sangat kurangnya kita mengakrabi sastra.
Kita hanya peduli hitungan angka rupiah, tapi melalaikan kewajiban untuk menjadikan kita insan-insan yang makin peka, santun, dan penuh cinta. Kita hanya mengakrabi rekening di bank, tapi terjauhkan dari buku.
Padahal sebagaimana kerap dikatakan para bijak, kunci kekuatan sebuah bangsa terletak pada kecintaan penghuninya terhadap dua hal, yaitu seni dan filsafat.
Rumah Media ada untuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H