Pada dasarnya, kelas adalah pendalaman dari kegiatan-kegiatan di level komunitas. Dari sharing ilmu dan pengalaman, member bisa menggali kemampuan secara serius di bidang kepenulisan sebagai salah satu alternatif profesi. Dan nanti kelak akan terbukti, bahwa kemampuan menulis mengubah banyak hal dalam hidup selain di soal income serta reputasi (popularitas).
Bahwa ongkosnya relatif agak mahal, itu pun bagian dari perubahan hidup juga. Karena sudah telanjur mengeluarkan duit agak banyak, kita pun harus mempertanggungjawabkan itu pada diri sendiri. Harus berhasil—at least sampai selesai, at least sampai bisa beneran bikin karya. Dan tentu, mirip seperti pemikiran para pebisnis soal balik modal, sampai nanti penghasilan dari nulis bisa mencapai BEP dari angka rupiah yang sudah dikeluarkan untuk ikut kelas.
Soalnya kalau gratis, kita kadang juga tak mempersoalkan andai “bisnis” gagal atau malah tak berlanjut sama sekali. Di luar Rumah Media, aku sering membimbing nulis atau bahkan membantu mengedit dan merevisi naskah teman-teman, tanpa bayaran. Namun kegratisan membuat mereka tak memiliki ikatan dan tuntutan apa pun. Sesudah satu naskah (yang kadang bagus banget), mereka menghilang dan enam atau tujuh bulan kemudian, tahu-tahu telah menekuni pekerjaan “sungguhan” dan “nggak sempat lagi nulis...!”
Selain aku, mentor tetap di Rumah Media adalah Aulia. Orang ini resminya berkarier sebagai editor cerpen di Cempaka Minggu Ini, tabloid mingguan di Semarang. Namun dia bisa apa saja, termasuk grafologi (analisis karakter lewat tulisan tangan) dan tasseografi (membaca masa lalu dan masa depan lewat teh). Dia pernah punya acara talk show tentang grafologi di kanal lokal Cakra Semarang TV, dan sekarang berpraktik tasseografi di kafe Repoeblik Nongkrong.
Big picture Rumah Media adalah seperti yang dikatakan sastrawan besar Ahmad Tohari saat aku berkesempatan hang out dengannya di Wonosobo 10 tahun lalu. Ia mengungkap bahwa sastra memperhalus budi pekerti dan keluhuran kita sebagai manusia. Dan bangsa kita yang masih sama centang perentangnya antara tahun itu hingga sekarang membuktikan betapa masih sangat kurangnya kita mengakrabi sastra.
Kita hanya peduli hitungan angka rupiah, tapi melalaikan kewajiban untuk menjadikan kita insan-insan yang makin peka, santun, dan penuh cinta. Kita hanya mengakrabi rekening di bank, tapi terjauhkan dari buku.
Padahal sebagaimana kerap dikatakan para bijak, kunci kekuatan sebuah bangsa terletak pada kecintaan penghuninya terhadap dua hal, yaitu seni dan filsafat.
Rumah Media ada untuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H