Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sayembara Menulis Naskah Sinetron, Masih Perlukah?

7 Oktober 2015   08:40 Diperbarui: 7 Oktober 2015   11:30 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - syuting sinetron (Shutterstock)

Sekitar bulan Januari 2000, aku ikut Sayembara Penulisan Naskah Skenario Sinetron gelaran DKJT (Dewan Kesenian Jawa Tengah). Waktu itu yang dilombakan adalah jenis sinetron cerita lepas (sekarang istilahnya FTV) dan bukan sinetron serial. Jurinya ada tiga, yaitu Triyanto Triwikromo, Arswendo Atmowiloto, dan Lali (lupa namanya siapa).

Aku mengikutkan dua naskah. Yang pertama judulnya sudah nggak ingat lagi, soalnya kalah. Itu genre misteri thriller, tentang seorang cewek yang hidupnya ruwet karena bisa tahu hari dan tanggal kematian orang-orang terdekatnya. Ending-nya aku juga lupa gimana. Pokoknya dia juga ikut meninggal.

[caption caption=""Rumah Masa Depan", salah satu sinetron berkualitas dari masa lampau. (Foto: lapanpuluhan.blogspot.com)"]

[/caption]

 

Naskah kedua kukirim pas tanggal terakhir penerimaan naskah. Kuantar langsung ke sekretariat DKJT waktu itu di Jl. Indraprasta, Semarang, dekat kampus Effhar (Effendi Harahap). Judulnya Indonesia-1, tentang H-1 pelantikan Presiden RI hasil pilpres langsung pertama (di dunia nyata, pilpres langsung pertama baru ada tahun 2004) yang kacau dan jadi aneh.

Sang presiden terpilih yang nyentrik kehilangan tas dan dompet berisi kartu identitas dan uang. Akibatnya ia nyasar ke mana-mana dan bahkan sempat disangka copet. Orang juga tak percaya ia presiden terpilih, karena sudah memenuhi nadarnya untuk cukur jenggot bila menang pilpres (bayangkan Surya Paloh cukur jenggot, pasti nggak ada yang kenal!).

Pas pengumuman pemenang bulan Maret 2000, Indonesia-1 menang juara harapan (tiga pemenang harapan tidak dinomori). Tiga pemenang utama didominasi para penulis yang saat itu sudah malang melintang di dunia perskenariosinetronan, kayak Sunardian Wirodhono dan Sunaryono Basuki. Hadiah pemenang harapan yang Rp 250 ribu kupakai ngenet di Warnet Pointer Jalan Pemuda (seberang Gedung GRIS; sekarang jadi Paragon Mall) dan chatting di mIRC nyari “17/f/bdg”!).

Sebagaimana janji panitia di pengumuman lomba, naskah para pemenang akan diproduksi jadi sinetron sungguhan. Tapi janji tinggal janji. Aku nggak tahu bagaimana nasib ketiga pemenang utama. Yang jelas, Indonesia-1 berhenti sebatas piagam penghargaan dan prize money. Sampai sekarang naskah itu ya tetap naskah, belum juga malih rupa jadi sinetron beneran. Masih mending nasib Takkan Pernah Berdusta yang akhirnya jadi novel Kok jadi Gini? di Elex Media Komputindo.

Lomba, sayembara, kontes, atau audisi, dalam bidang apa pun, pada dasarnya adalah jalan masuk para beginner untuk mulai berkiprah dan menimba ilmu serta pengalaman dalam bidang yang digeluti. Janji manis tiap peristiwa kompetisi yang lebih berharga daripada sekadar piagam, sertifikat, piala, trofi, dan uang hadiah kan adalah kesempatan. Kesempatan untuk bisa ikut berkarya secara sungguh-sungguh, dan mendapat pengakuan.

Yang menang festival musik bisa ikut album kompilasi di major label. Pemenang sayembara penulisan novel bisa menerbitkan naskahnya di penerbit besar. Yang lolos seleksi SSB Arsenal bisa terbang ke London dan masuk tim junior The Gunners. Demikian pula peserta sayembara penulisan naskah sinetron pasti berharap, jika menang, naskahnya akan bisa diproduksi menjadi sinetron sungguhan.

Tapi sejauh yang kulihat selama ini, hal itu tak sering terjadi di sinetron.  Entah kapan terakhir kalinya aku nonton sebuah sinetron, baik serial maupun FTV, yang diangkat dari sebuah sayembara penulisan naskah. Sepertinya belum pernah.

Dan mengapa belum pernah? Correct me if I’m wrong, tapi karena memang sudah jarang sekali ada kompetisi penulisan naskah sinetron sejak terakhir kali yang aku ikuti tahun 2000 itu. Kalau mau diselikidi, penyebabnya pun jelas: andai aku panitia tahunan sebuah sayembara penulisan sinetron, lama-lama pasti akan malas juga bikin kalau para pemenangnya hanya akan berakhir di lemari arsip panitia. Tak satu pun bisa menembus atau dibina para pelaku industri.

Maka jagat kreatif sayembara-sayembara pun hanya semata kontes penuh antusiasme. Sementara dunia industri sinetron sudah merupakan suatu planet, bahkan galaksi, berbeda yang sangat eksklusif dan tak tersentuh dari sisi mana pun. Berbagai kontes boleh menelurkan pemenang-pemenang, namun industri berjalan sendiri di balik tirai yang tertutup rapat.

Ini melanjutkan “tren” pemerintah yang sembunyi dari geliat industri hiburan sejak era reformasi. Dulu pada era 1980-an banyak sekali terdapat ajang kompetisi yang disponsori pemerintah, seperti LCLR (Lomba Cipta Lagu Remaja) atau FLPI (Festival Lagu Pop Indonesia). Banyak penyanyi dan lagu-lagu berkualitas lahir dari lomba-lomba itu.

Di film juga ada. Departemen Penerangan RI (kini Kemkominfo) rutin menyelenggarakan sayembara penulisan naskah film cerita. Aku pernah ikut ini pada edisi tahun 1998, dan sepertinya itu gelaran terakhir. Habis itu tak kudengar lagi ada event-event kompetisi bergengsi tingkat nasional di dunia entertainment. Yang ada tinggal event sastra, seperti sayembara novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta).

Dulu pun, serial sinetron bermutu juga lahir dari kandungan pemerintah. Masih ingat Si Unyil dan ACI (Aku Cinta Indonesia)? Keduanya adalah produksi pemerintah Orba melalui Pusat Produksi Film Negara atau PPFN.

Seiring program pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menggalakkan ekonomi kreatif melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), seharusnya ini menjadi momen pemerintah untuk kembali muncul. Tentu bukan kehadiran yang bersifat indoktrinasi seperti semasa Orba, melainkan sekadar pemantik kreativitas dalam hal menghidupkan kembali ajang penulisan sinetron.

Industri persinetronan Indonesia saat ini dikuasai nama-nama besar yang amat susah ditembus penulis-penulis berkualitas. Itu diperparah dengan tiadanya geliat produksi sinetron di luar wilayah Provinsi DKI Jakarta. Kalau film, banyak. Komunitas sineas muda (indie) bertebaran di mana-mana, namun sebagian besar dari mereka menolak untuk juga belajar dan mengerjakan sinetron (sinema TV), karena dianggap kurang keren.

Pemerintah melalui Bekraf bisa “ikut campur” dengan menggelar semacam sayembara penulisan naskah sinetron, seperti yang kuikuti 15 tahun lalu itu. Kompetisi ini akan membuka gerbang lain di mana para penulis yang kurang dikenal bisa mendapat kesempatan untuk masuk ke industri.

Dan yang terpenting, para pemenang tidak lagi sekadar mendapat janji-janji kosong, namun eksekusi nyata bahwa naskah mereka benar-benar diproduksi menjadi sinetron. Ini bisa ditempuh dengan mengajak kerjasama berbagai sponsor besar (untuk menyokong biaya produksi), PH (untuk memproduksinya), dan stasiun TV (untuk menayangkannya pada jam prime time). Kalau tiga kutub ini terpegang, semua akan beres. Selanjutnya cuman soal teknis yang bisa didiskusikan.

Misalnya, untuk mencegah biaya produksi membengkak (sehingga panitia/produser beralasan naskah tak bisa diproduksi karena ketiadaan biaya, berhubung naskahnya bergenre sejarah, mahal di kostum dan properti blablabla!), genre cerita bisa ditentukan sejak awal (drama, komedi, romans; berlatar masa kini) sehingga gampang disyuting sebagaimana sinetron yang sudah ada.

Bisa juga yang dilombakan khusus hanya naskah untuk FTV, bukan serial, sehingga bujet produksi untuk 5-6 judul pemenang sudah bisa diketahui sejak awal. Tujuh tahun lalu, bujet produksi sinetron berdurasi 60 menit adalah sekitar Rp 100 juta. Dikalikan dua untuk durasi 90-120 menit dan disesuaikan dengan inflasi masa sekarang, nilainya mungkin berada pada kisaran Rp 200 juta hingga Rp 250 juta. Duit dari pemerintah pasti ada, terlebih bila berhasil menggandeng sponsor besar.

Dan kalau pihak stasiun TV rewel masalah ancaman rating (khawatir penghasilan berkurang karena sinetron pemenang festival tak ditonton), pemerintah bisa mensubsidi pemenang dengan membeli jam tayang secara blocking time. Nggak mungkin nggak ada duit. Yang dikorup saja mencapai triliunan, dan itu baru sekian upil duit pemerintah. Kalau cuman untuk beli blocking time 5-6 judul pertahun untuk durasi masing-masing 120 menit, pastilah ada.

Memasukkan nuansa-nuansa tontonan beda pada jam tayang utama sinetron pada awalnya pasti akan mengagetkan. Penontonnya bisa saja terbatas hanya kalangan akademisi, budayawan, dan pencinta tayangan cerdas berkualitas. Namun perubahan pasti akan membuahkan hasil, cepat atau lambat. Dan kalau naskahnya memang menarik sejenis Si Doel Anak Sekolahan, Bajaj Bajuri, atau Tetangga Masa Gitu, rasanya nggak mungkin juga nggak ditonton makhluk hidup.

Yang terpenting adalah keberhasilan menjembatani antara sisi kreatif-idealistik sayembara dengan dunia industri yang pragmatis-komersial, karena orang tidak ikut lomba untuk mengoleksi piala atau nyari duit. Dalam hal ini dunia sastra jauh lebih beruntung. Para pemenang sayembara sastra, entah itu puisi, cerpen, atau novel, pasti akan diproduksi jadi buku sungguhan—rak ketang cuman terbit indie.

Dan buku-buku pemenang sayembara bersaing secara nyata dengan buku-buku komersial. Best seller atau tidak, itu urusan belakangan. Yang paling utama, ajang sayembara berhasil menjadi pintu masuk untuk mulai berkarier bagi para pemula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun