Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sayembara Menulis Naskah Sinetron, Masih Perlukah?

7 Oktober 2015   08:40 Diperbarui: 7 Oktober 2015   11:30 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa juga yang dilombakan khusus hanya naskah untuk FTV, bukan serial, sehingga bujet produksi untuk 5-6 judul pemenang sudah bisa diketahui sejak awal. Tujuh tahun lalu, bujet produksi sinetron berdurasi 60 menit adalah sekitar Rp 100 juta. Dikalikan dua untuk durasi 90-120 menit dan disesuaikan dengan inflasi masa sekarang, nilainya mungkin berada pada kisaran Rp 200 juta hingga Rp 250 juta. Duit dari pemerintah pasti ada, terlebih bila berhasil menggandeng sponsor besar.

Dan kalau pihak stasiun TV rewel masalah ancaman rating (khawatir penghasilan berkurang karena sinetron pemenang festival tak ditonton), pemerintah bisa mensubsidi pemenang dengan membeli jam tayang secara blocking time. Nggak mungkin nggak ada duit. Yang dikorup saja mencapai triliunan, dan itu baru sekian upil duit pemerintah. Kalau cuman untuk beli blocking time 5-6 judul pertahun untuk durasi masing-masing 120 menit, pastilah ada.

Memasukkan nuansa-nuansa tontonan beda pada jam tayang utama sinetron pada awalnya pasti akan mengagetkan. Penontonnya bisa saja terbatas hanya kalangan akademisi, budayawan, dan pencinta tayangan cerdas berkualitas. Namun perubahan pasti akan membuahkan hasil, cepat atau lambat. Dan kalau naskahnya memang menarik sejenis Si Doel Anak Sekolahan, Bajaj Bajuri, atau Tetangga Masa Gitu, rasanya nggak mungkin juga nggak ditonton makhluk hidup.

Yang terpenting adalah keberhasilan menjembatani antara sisi kreatif-idealistik sayembara dengan dunia industri yang pragmatis-komersial, karena orang tidak ikut lomba untuk mengoleksi piala atau nyari duit. Dalam hal ini dunia sastra jauh lebih beruntung. Para pemenang sayembara sastra, entah itu puisi, cerpen, atau novel, pasti akan diproduksi jadi buku sungguhan—rak ketang cuman terbit indie.

Dan buku-buku pemenang sayembara bersaing secara nyata dengan buku-buku komersial. Best seller atau tidak, itu urusan belakangan. Yang paling utama, ajang sayembara berhasil menjadi pintu masuk untuk mulai berkarier bagi para pemula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun