Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sungguhkah Adegan Kekerasan "Dragon Ball" Mengancam Kita?

19 September 2015   21:18 Diperbarui: 19 September 2015   21:27 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="(Foto: teespring)"][/caption]

Lagi, sebuah tayangan televisi disemprit KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena mengandung muatan kekerasan. Kali ini yang terkena “kartu kuning” adalah serial anime Dragon Ball, yang tayang di Global TV. Namun beda dari sempritan lain, edisi kali ini mengundang banyak pertanyaan karena berbagai faktor.

Yang paling utama, para fans DB menganggap bahwa porsi adegan kekerasan di serial tersebut tidaklah terlalu dominan. Selain itu, banyak pula pesan positif yang diberikan serial yang diangkat dari manga populer karya Akira Toriyama itu.  Pertanyaan bisa pula dialamatkan pada timing-nya. DB sudah beredar di Indonesia sejak pertengahan 1990-an. Kenapa baru diongkek-ongkek sekarang?

Bagi saya sendiri, yang adalah tukang bikin cerita sekaligus aktivis amatan tayangan TV plus literasi media, kerutan di dahi muncul lebih karena persoalan lain yang lebih substantif. Sesungguhnya pada titik mana kandungan kekerasan (dan juga hal-hal jelek lain) di tayangan televisi layak untuk dipermasalahkan?

Adegan kekerasan baik yang fisik maupun verbal secara apa adanya memang keliru. Tak layak muncul karena bisa ditiru anak-anak dan remaja. Namun kalau baku pukul dan orang membentak-bentak sadis misalnya, muncul dari tayangan dokumenter semacam 86 di Net yang menghadirkan petugas reskrim menjotos dan membentak preman yang melawan aparat, apakah layak tayangan itu juga disemprit karena muatan kekerasannya?

Bertitik tolak dari paradigma ini, segala sesuatu baru dapat diberi penilaian sesudah dilihat konteks yang menyertainya. Pisau memang menyeramkan. Bisa digunakan untuk melakukan pembunuhan secara efektif. Tapi apakah karena itu lantas semua pisau harus dilarang keberadaannya di dapur rumah-rumah kita?

Vonis tak bisa diberikan semata berdasar keberadaan pisau, tapi konteks apa yang menyertainya. Jika eksistensi pisau diberi konteks berupa aksi penodongan, sudah pasti si pisau bersalah. Namun jika konteksnya berupa adegan sadis mengiris-iris bawang, kubis, wortel, dan suwiran daging ayam untuk bikin sop, value yang melekat pada pisau menjadi amat berlawanan.

Maka pertanyaan pun bisa diberikan dalam kasus DB. Pada titik konteks yang bagaimana sehingga adegan kekerasan pada DB bisa dinyatakan sebagai sesuatu yang merugikan?

Faktanya, DB adalah sebuah serial bergenre fantasi, fiksi ilmiah, aksi, dan petualangan yang menampilkan tema seni bela diri alias martial arts. Adegan-adegan kekerasan hadir karena dua alasan: menyesuaikan konteks genre cerita, plus urgensi berdasarkan tema. Lha kalau kemunculan adegan adu jotos dalam sebuah serial atau film laga dipermasalahkan, terus penonton mau disuruh nonton apa?

Apa ya tiap kali Iron Man, Hulk, dan Captain America ngantemi anggota HYDRA di film-film MCU (Marvel Cinematic Universe), pihak LSF perlu menambahkan tulisan “Adegan berbahaya; dilakukan oleh profesional!” atau “Adegan ini menggunakan properti yang tidak berbahaya”, biar tidak ditiru anak-anak dan ABG yang menontonnya?

Dilihat dari hukum berpikir ini, adegan kekerasan (yang aslinya jelek) justru menjadi perlu di DB, karena sesuai konteks dan memenuhi urgensi. Pencegahan dari kemungkinan aksi peniruan bisa dilakukan dengan memagari tayangan itu melalui klasifikasi usia pemirsa.

DB bisa diklasifikasikan ke tontonan remaja, yang tak boleh ditonton anak-anak di bawah usia 13 tahun. Remaja dianggap sudah lebih mature sehingga tak akan dengan sebegitu gampangnya meniru-niru barang jelek di tayangan TV, atau film.  

Untuk menilai kepantasan hal semacam ini, genre bisa menjadi alat ukur pertama untuk mengujinya. Habis itu urgensi berdasar tema. Dari situ juga tolok ukurnya mengapa kemunculan adegan kekerasan di sinetron menjadi sesuatu yang salah.

Pada judul-judul sinetron yang bergenre drama (roman remaja atau rumah tangga), adegan kekerasan layak dipersoalkan karena konteks dan urgensinya juga. Mengapa ada kekerasan di genre yang tak berhubungan dengan kekerasan? Dan apakah perlunya menghadirkan penyiksaan dan bullying di cerita drama, yang daya tariknya tidak berada pada titik itu, sehingga oleh karenanya adegan itu menjadi tidak urgen?

Kekerasan dan kekejaman umumnya “dipinjam” genre drama untuk memicu api emosi penonton. Tapi apakah sungguh-sungguh kisah melodrama memerlukan itu? Drama berkualitas seperti The Fault in Our Stars atau Hachiko: A Dog’s Story efektif menyobek-nyobek emosi tidak dengan kekejaman, melainkan sentuhan murni kasih sayang.

Kemunculan adegan berbau kekejaman dan kekerasan di sinetron drama bisa menjadi sesuatu yang dapat dimaklumi bila disertai penjelasan yang logis dan masuk akal. Misal si ibu mertua sadis sekali pada menantu perempuannya karena ia psikopat, kanibal, atau punya dendam masa lalu. Tapi pernahkah sinetron memberi penjelasan yang rinci begini? Mereka jahat dan antagonis hanya karena mereka jahat dan antagonis. Itu tok.

Lalu bagaimana cara mengetahui dengan pasti bagaimana sebuah adegan kekerasan berpotensi menjadi contoh buruk atau tidak? Juga dengan mengukur konteks dan urgensinya. Ketika barang jelek dimunculkan dalam karya seni dengan konteks dan urgensi yang pas, maka otak kita akan meresponnya dengan ungkapan permakluman kita, “Ooh... itu cuman contoh”.

Itu terjadi sebagai respon logika dasar yang berhasil menghubungkan satu fakta dengan fakta lain, atau dengan background-nya. Ketika koneksi itu ketemu, alam bawah sadar kita akan sanggup untuk mengkotakkan dan mengurung materi jelek tersebut cukup sebagai “contoh” itu tadi—menjadi hanya semacam gambaran dari big picture yang tengah disampaikan.

Tips tentang “10 easy steps to rob someone’s house” jelas adalah jelek. Namun jika itu muncul dalam film dokumenter tentang perlunya siskamling, maka kita pun tak akan mencontoh tips-tips tersebut untuk mencari penghasilan tambahan. Alih-alih, itu akan kita share pada para tetangga sebagai bekal pengetahuan saat ronda malam di RT masing-masing.

Pencontohan barang jelek rentan terjadi pada sesuatu yang muncul tanpa konteks, misal adegan banting-bantingan di acara Smackdown, yang dulu sempat bikin heboh itu. Apa konteks aksi kekerasan di tayangan itu? Sama sekali tak ada. Yang ditonton hanya serentetan adegan kekerasan, lalu sudah. Karena tanpa konteks dan urgensi yang berfungsi sebagai filter mental, adegan-adegan yang ada pun terekam jelas apa adanya di benak penonton, lalu ditiru.

Padahal kalau ketemu konteksnya, aksi adu piting di Smackdown dan aneka macam judul gulat profesional ala Amerika Serikat itu tidak akan menimbulkan sensasi peniruan kekerasan sama sekali, melainkan justru malah sensasi kegelian. FYI, semua perkelahian itu simulasi, mirip adegan baku bukul di ketoprak atau wayang orang.

Para pegulat itu bukanlah atlet, atau petarung kayak Pacquiao dan Chris John, melainkan aktor. Apa yang mereka mainkan hanyalah teknik dasar para stuntman pengganti Stallone, Statham, atau Willis saat beradegan baku pukul di film-film laga. Mereka tak sungguhan menampar, memuntir, atau menyikut. Lawan yang meringis kesakitan saat dijotosi pun hanya tengah berakting.

Pernah dulu pas zaman awal ada tayangan UFC di TPI (sekarang MNCTV), ada atlet (baca: aktor) gulat profesional nekad menantang master mixed martial arts. Hasilnya, dia langsung KO hanya dalam pukulan pertama, karena memang dasar kemampuannya adalah akting, bukan pertarungan berdarah.

Nah, ini juga bisa dijadikan bahan pelajaran bagi kita para penulis fiksi saat menempatkan materi-materi negatif (sadisme, sensualitas, verbal bullying) dalam cerita-cerita kita. Cara termudah untuk mencegah benda-benda itu dari menjadi masalah adalah dengan meng-“kandang”-kannya dalam suatu kotak tertutup imajiner melalui konteks dan urgensi yang jelas.

Ada orang menyayat perut orang yang masih hidup guna mencari kunci untuk membuka jebakan beruang yang mengancam kepala adalah sesuatu yang amat suadiss pol. Tapi itu tak dipersoalkan kalangan mana pun karena diberi konteks dan urgensi yang jelas oleh James Wan dan Leigh Whanell dalam film Saw yang fenomenal itu.

Tapi coba itu dimunculkan di serial Doraemon, atau Adit & Sopo Jarwo, pastilah KPAI wajar jika mBengok...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun