Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sungguhkah Adegan Kekerasan "Dragon Ball" Mengancam Kita?

19 September 2015   21:18 Diperbarui: 19 September 2015   21:27 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DB bisa diklasifikasikan ke tontonan remaja, yang tak boleh ditonton anak-anak di bawah usia 13 tahun. Remaja dianggap sudah lebih mature sehingga tak akan dengan sebegitu gampangnya meniru-niru barang jelek di tayangan TV, atau film.  

Untuk menilai kepantasan hal semacam ini, genre bisa menjadi alat ukur pertama untuk mengujinya. Habis itu urgensi berdasar tema. Dari situ juga tolok ukurnya mengapa kemunculan adegan kekerasan di sinetron menjadi sesuatu yang salah.

Pada judul-judul sinetron yang bergenre drama (roman remaja atau rumah tangga), adegan kekerasan layak dipersoalkan karena konteks dan urgensinya juga. Mengapa ada kekerasan di genre yang tak berhubungan dengan kekerasan? Dan apakah perlunya menghadirkan penyiksaan dan bullying di cerita drama, yang daya tariknya tidak berada pada titik itu, sehingga oleh karenanya adegan itu menjadi tidak urgen?

Kekerasan dan kekejaman umumnya “dipinjam” genre drama untuk memicu api emosi penonton. Tapi apakah sungguh-sungguh kisah melodrama memerlukan itu? Drama berkualitas seperti The Fault in Our Stars atau Hachiko: A Dog’s Story efektif menyobek-nyobek emosi tidak dengan kekejaman, melainkan sentuhan murni kasih sayang.

Kemunculan adegan berbau kekejaman dan kekerasan di sinetron drama bisa menjadi sesuatu yang dapat dimaklumi bila disertai penjelasan yang logis dan masuk akal. Misal si ibu mertua sadis sekali pada menantu perempuannya karena ia psikopat, kanibal, atau punya dendam masa lalu. Tapi pernahkah sinetron memberi penjelasan yang rinci begini? Mereka jahat dan antagonis hanya karena mereka jahat dan antagonis. Itu tok.

Lalu bagaimana cara mengetahui dengan pasti bagaimana sebuah adegan kekerasan berpotensi menjadi contoh buruk atau tidak? Juga dengan mengukur konteks dan urgensinya. Ketika barang jelek dimunculkan dalam karya seni dengan konteks dan urgensi yang pas, maka otak kita akan meresponnya dengan ungkapan permakluman kita, “Ooh... itu cuman contoh”.

Itu terjadi sebagai respon logika dasar yang berhasil menghubungkan satu fakta dengan fakta lain, atau dengan background-nya. Ketika koneksi itu ketemu, alam bawah sadar kita akan sanggup untuk mengkotakkan dan mengurung materi jelek tersebut cukup sebagai “contoh” itu tadi—menjadi hanya semacam gambaran dari big picture yang tengah disampaikan.

Tips tentang “10 easy steps to rob someone’s house” jelas adalah jelek. Namun jika itu muncul dalam film dokumenter tentang perlunya siskamling, maka kita pun tak akan mencontoh tips-tips tersebut untuk mencari penghasilan tambahan. Alih-alih, itu akan kita share pada para tetangga sebagai bekal pengetahuan saat ronda malam di RT masing-masing.

Pencontohan barang jelek rentan terjadi pada sesuatu yang muncul tanpa konteks, misal adegan banting-bantingan di acara Smackdown, yang dulu sempat bikin heboh itu. Apa konteks aksi kekerasan di tayangan itu? Sama sekali tak ada. Yang ditonton hanya serentetan adegan kekerasan, lalu sudah. Karena tanpa konteks dan urgensi yang berfungsi sebagai filter mental, adegan-adegan yang ada pun terekam jelas apa adanya di benak penonton, lalu ditiru.

Padahal kalau ketemu konteksnya, aksi adu piting di Smackdown dan aneka macam judul gulat profesional ala Amerika Serikat itu tidak akan menimbulkan sensasi peniruan kekerasan sama sekali, melainkan justru malah sensasi kegelian. FYI, semua perkelahian itu simulasi, mirip adegan baku bukul di ketoprak atau wayang orang.

Para pegulat itu bukanlah atlet, atau petarung kayak Pacquiao dan Chris John, melainkan aktor. Apa yang mereka mainkan hanyalah teknik dasar para stuntman pengganti Stallone, Statham, atau Willis saat beradegan baku pukul di film-film laga. Mereka tak sungguhan menampar, memuntir, atau menyikut. Lawan yang meringis kesakitan saat dijotosi pun hanya tengah berakting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun