[caption caption="(Foto: Wikipedia)"][/caption]
Beberapa tahun lalu, seorang pengamen masuk ke bus ekonomi jurusan Semarang-Jogja yang kunaiki. Tanpa instrumen berupa gitar atau ukulele, dia menyanyikan lagu-lagu pop Indonesia dari tahun 1970-an, seperti milik Tetty Kadi, Erny Djohan, atau Arie Kusmiran. Lain dari pengamen lain yang cukup membawakan satu-dua lagu, dia nyanyi lama sekali.
Mungkin ada kalau enam sampai tujuh lagu. Dan cara nyanyinya kayak ngelantur tanpa ujung pangkal, sampai-sampai kondektur bus meneriakinya, “Tro, Mitro, uwis! Mudhun kana!” (Sudah, turun sana!). Saat itu barulah aku mengamati sang pengamen. Dan melongolah aku melihat seperti apa penampilannya.
Dia tidak bertipe pengamen pada umumnya, yang rata-rata remaja ABG bertampang anak jalanan. Pengamen satu ini sudah berusia paruh baya, lebih tua dari aku. Bajunya rapi, meski hanya berupa kemeja dan celana pendek. Kulitnya putih bersih.
Padanya kuberikan selembar uang seribuan. Lalu setelah ia melompat turun, kernet dan para penumpang sibuk membicarakannya. “Mesakke. Kuwi mesthi wong sing stres gara-gara usahane bangkrut njur dadi kere…!” ujar seorang perempuan yang disetujui para penumpang lain (Kasihan. Itu pasti orang yang stres gara-gara usahanya bangkrut lantas jatuh miskin).
Fragmen kejadian itulah yang melintas di benakku saat nonton film Blue Jasmine, besutan sutradara legendaris Woody Allen. Dengan skenario ditulis sendiri oleh Allen, cerita film ini mirip dengan dugaan sang ibu penumpang bus kala itu, yakni tentang warga jet set yang stres dan lama-lama nggak waras setelah bangkrut dan jatuh miskin sejadi-jadinya.
Blue Jasmine berkisah soal kepailitan yang menimpa Jeanette French (Cate Blanchett), sosialita kaya raya yang mengubah namanya menjadi Jasmine. Tak berduit lagi, dan terusir dari tempat tinggal mewahnya di New York, ia lantas hijrah ke San Fransisco dan tinggal menumpang di rumah adik perempuannya yang miskin, Ginger (Sally Hawkins).
Jasmine dan Ginger adalah sama-sama anak adopsi. Jadi tak ada hubungan darah antara mereka. Sejak kecil, ortu mereka selalu menyebut Jasmine sebagai pemilik “gen yang lebih baik”. Dan itu terwujud pada masa dewasa mereka. Jasmine jadi sosialita jet set, sedang Ginger berjuang keras mencari nafkah sekenanya dengan bekerja serabutan.
Saat mereka ketemu lagi, Ginger telah bercerai dari Augie (Andrew Dice Clay) dengan dua anak laki-laki yang hampir menginjak remaja. Ia akan segera menikah dengan Chili (Bobby Cannavale) yang agak bodoh dan berangasan. Saat dikenalkan pada Jasmine oleh Ginger, Chili berusaha mencomblangkan Jasmine dengan Eddie (Max Casella).
Bagian selanjutnya adalah kegalauan Jasmine dalam melanjutkan hidup sebagai mantan orang kaya. Ia ingin kuliah, tapi karena tak berduit, ia putuskan untuk mengambil kursus daring (online) guna menjadi seorang desainer interior. Sayang ia “computer-illiterate”, sehingga harus kursus lebih dulu. Untuk membiayai kursusnya, ia kerja sebagai resepsionis di tempat praktik seorang dokter gigi. Sebuah pekerjaan yang disebutnya “terlalu rendah” untuk standar kehidupannya dulu.
Dalam sebuah pesta, ia dan Ginger lalu sama-sama berkenalan dengan para pria yang menarik. Ginger ketemu Al (Louis CK), pria paruh baya yang bekerja sebagai tukang memasang sound system. Sedang Jasmine lengket dengan Dwight (Peter Sarsgaard), duda elit mantan diplomat yang tengah akan mencalonkan diri sebagai anggota Kongres.