2.Permintaan pembayaran seolah-olah dibuat berdasarkan kesepakatan yang mengikat, meskipun terdapat suatu cipta kondisi untuk menekan peserta didik/walinya untuk hanya harus setuju.
3.Permintaan pembayaran seoalah-olah dibuat secara sukarela, akantetapi besaran nilai pembayaran dan jangka waktu pembayaran ditentukan.
4.Tidak terdapat transparansi perencanaan dan penggunaan anggaran yang diambil melalui nomenklatur sumbangan/infak/sedekah dll, dengan tidak adanya persebaran dokumen tertulis untuk bisa dijadikan bukti.
5.Mendudukkan peserta didik/walinya untuk harus berpartisipasi memberikan sumbangan, bilamana ingin memiliki prestasi, dengan pernyataan Lembaga sekolah selalu saja kekurangan tenaga pendidik berkwalitas, kekurangan sarana dan prasarana, tanpa menunjukkan pos-pos pengeluaran mana saja yang sudah dipenuhi oleh anggaran Pendidikan 20% milik pemerintah.
6.Pembayaran pungutan dijadikan suatu persyaratan tertentu yang seolah-olah wajib, seperti misalnya syarat mengambil rapor/ ijazah, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, mengikuti lomba dll.Â
7.Komite sekolah seringkali tidak memiliki komposisi sebagaimana ketentuan Pasal 4 Permendikbud No.75 tahun 2016, dengan dipimpin tidak sebagaimana amanat Pasal 6 (4) Permendikbud No.75 tahun 2016, dan lalai untuk memenuhi ketentuan Pasal 13 Permendikbud No.75 tahun 2016, sehingga menjadi gagal memberikan pertimbangan kepada sekolah, dan untuk mengawasi pelayanan sekolah serta menindak lanjuti keluhan/saran/aspirasi peserta didik/wali murid, serta untuk berupaya kreatif dan inovatif, atau pada pokoknya gagal memenuhi ketentuan Pasal 3 Permendikbud No.75 tahun 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H