Mohon tunggu...
Wiwid T. Pras
Wiwid T. Pras Mohon Tunggu... Pengacara - pekerja sosial/advokat/wiraswasta

pengacara yang aktif di beberapa lembaga sosiohumaniora di Malang Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pungutan Liar itu (sering) Berlabel Sumbangan Tapi Tanpa Suka Juga Abai Rela.

2 Januari 2025   11:05 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:02 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

  • Oleh : Wiwid Tuhu P, SH., MH.
  • Advokat pada ASMOJODIPATI LAWYER'S
  • Aktif pada beberapa lembaga sosiohumaniora di Malang

Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya - Pramoedya Ananta Toer-dalam tulisannya yang berjudul "Nama Aku Tidak Pernah Kotor"

Publik tentu kecewa disuguhi berita media massa perihal Hakim yang ditangkap karena gratifikasi setelah memutuskan bebas pelaku pembunuhan, demikian juga gerah tahu ada Hakim yang memutus ringan perkara korupsi dengan kerugian sampai 300 triliun, tapi menghukum berat pencurian kelas ringan, demikian pasti kesal dengan berita anggota polisi yang terlibat perdagangan narkoba, pemerasan, berbisnis ilegal dll, termasuk juga suap dan korupsi yang dilakukan aparatur sipil negara, padahal sebenarnya mereka yang disebut oknum oleh lembaga tempatnya bernaung, sudah  pasti semuanya merupakan produk Pendidikan yang sudah formal, dengan kurikulum yang dinilai memenuhi standart membentuk karakter berbudaya nasional.

Ironis memang jika ternyata pendidikan saat ini belum mampu menjadi tolok ukur pembentukan moral siswa, sehingga pendidikan karakter masih menjadi tantangan mendesak untuk melahirkan generasi cerdas sekaligus bermoral, tapi masih saja mengemuka pandangan yang menempatkan mata pelajaran sains sebagai prioritas utama, sementara pendidikan karakter dan budi pekerti kurang mendapat perhatian. Hingga akibatnya, banyak anak yang secara akademis cerdas justru kehilangan pegangan moral dan terjebak dalam perilaku negatif seperti penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, kekerasan antar pelajar, hingga tindak korupsi kolusi dan nepotisme ketika sudah tumbuh dewasa dan memiliki kewenangan atau kekuasaan tertentu. 

Tapi memang mau bagaimana lagi, sejalan dengan pemikiran Pramudya Ananta Toer dalam "Nama Aku Tidak Pernah Kotor" yang menjadi kalimat pembuka tulisan ini, bisa jadi problem mula yang perlu diselesaikan adalah bagaimana system Pendidikan mampu untuk kembali menghadirkan sosok guru yang teguh dengan hati nuraninya yang bisa di "gugu lan di tiru" (patut didengarkan pesan kebajikannya dan menjadi teladan), atau dengan kata lain bukan guru yang hanya bersifat mencari kerja sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan akan lebih mengerikan bilamana menjadi guru tapi memiliki sifat tamak tak segan berlaku curang hanya untuk memburu kenikmatan-kenikmatan duniawi.

  

Pendidikan atau dalam hal ini Pendidikan dasar sejatinya merupakan salah satu tanggung jawab utama pemerintah, terutama di tingkat daerah, yang mencakup pemerintah kabupaten atau kota, dan Tanggung jawab ini sangat penting karena pendidikan dasar berfungsi sebagai pijakan awal dalam membangun kapasitas manusia, baik dalam hal moral maupun literasi. 

Sebagai dasar penguatan sumber daya manusia, pendidikan ini memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan kemampuan awal anak-anak sebagai bagian dari generasi penerus bangsa. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah secara tegas mengatur pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa tanggung jawab pendidikan dasar prioritasnya berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten atau kota. Dengan demikian, pemerintah daerah berkewajiban memastikan terpenuhinya semua kebutuhan pendidikan dasar, termasuk penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, guru-guru yang profesional, serta kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap para peserta didik.

Kendati aturan ini telah dirumuskan dengan jelas dalam perundang-undangan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaannya masih jauh dari ideal. Keluhan masyarakat kerap muncul terkait dengan beban biaya yang dikenakan kepada peserta didik maupun wali murid dalam berbagai bentuk pungutan. Pungutan tersebut sering kali tidak didasarkan pada ketentuan hukum yang sah, tetapi dikemas sedemikian rupa dengan istilah "sumbangan." Padahal, praktik ini sifatnya tidak sepenuhnya sukarela, mengingat besaran biaya dan batas waktu pembayarannya telah ditentukan secara sepihak. Alasan yang kerap digunakan oleh pihak sekolah adalah telah terjadi kesepakatan untuk membantu penyelenggaraan pendidikan, seperti menyediakan fasilitas sekolah atau menggaji tenaga pendidik profesional. Namun, sesungguhnya semua kebutuhan tersebut seharusnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, terutama mengingat adanya alokasi anggaran sebesar 20% dari total anggaran pemerintah yang secara khusus dialokasikan untuk sektor pendidikan.

Yang lebih memprihatinkan, praktik pungutan semacam ini sering kali dilakukan dengan cara-cara yang menyebabkan diskriminasi terhadap peserta didik. Anak-anak atau wali murid yang tidak mampu membayar sering kali mengalami tekanan psikologis dan sosial yang membuat mereka merasa rendah diri atau tidak berdaya. Dalam situasi seperti itu, mereka sering merasa takut untuk menolak atau menyampaikan keberatan, karena khawatir akan menjadi sasaran diskriminasi lebih lanjut, seperti dikucilkan oleh pihak sekolah atau bahkan menjadi korban perundungan. Keadaan ini tentu sangat merugikan, karena tidak hanya menghambat akses mereka terhadap pendidikan yang layak, tetapi juga mengganggu perkembangan mental dan emosional anak-anak dalam masa pertumbuhan mereka. 

Kondisi ini sudah darurat sehingga memerlukan suatu pengawasan yang ekstra ketat dan komitmen yang lebih serius dari pemerintah untuk memastikan bahwa pendidikan dasar benar-benar terlaksana sesuai dengan tanggung jawab dan amanat undang-undang, dan jangan sampai pungutan-pungutan liar (apapun jenis labelnya) yang dinilai masih dalam nominal kecil layak untuk dimaklumi, sebab bilamana kejadiannya ada didunia Pendidikan dasar, terlebih ada didepan muka anak-anak calon generasi masa depan, maka akan terpatri dalam otak dan benaknya bahwa pungutan liar itu adalah hal lumrah, apalagi dikenali sebagai bagian untuk mendapatkan berkah/atau wujud terimakasih sudah mendapatkan pengajaran, sebab jika itu terjadi maka  dimasa mendatang anak-anak tersebut akan tumpul nalar kritis melawan tabiat bandit maupun jahat, masih relative baik jika sekedar menjadi egois pun juga apatis, sebab bukan tidak mungkin akan pula mewarisi perilaku koruptif dengan tanpa ada rasa bersalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun