Perwujudan tata kelola pemerintahan dapat dilihat melalui hasil pertanggungjawaban keuangan yang akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut, seluruh instansi pemerintah berlomba untuk mendapatkan sebuah opini sakral yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Tujuan dari label hasil pemeriksaan BPK sendiri adalah untuk melihat kewajaran atas pengelolaan keuangan yang ada dalamd instansi pemerintah baik instansi pemerintah pusat maupun daerah. Semakin wajar informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah, maka diharakan maka citra lembaga juga akan semakin baik.
Keseluruhan proses pemeriksaan atas pengelolaan keuangan tersebut didasarkan pada regulasi formal yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Kriteria atas opini kewajaran dan keandalan informasi yang disajikan pada Laporan Keuangan Instansi Pemerintah didasarkan pada beberapa kriteria yaitu : 1) Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah, 2) Kecukupan pengungkapan informasi, 3) Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan, dan 4) Efektivitas dalam pengendalian internal.
Kriteria opini kewajaran yang biasanya ingin didapatkan oleh sebuah lembaga adalah Opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Hal yang biasanya menjadi kelemahan instansi sehingga tidak dapat mendapatkan opini tersebut yaitu kontrol atas pengendalian internal. Pengendalian internal seharusnya terintegrasi sehingga dapat menciptakan suatu sistem yang mampu mengontrol proses pengelolaan keuangan dari awal hingga akhir.
Pengendalian internal menjadi hal yang wajib dilakukan untuk melakukan kontrol baik atas manajerial SDM maupun administrasi pengelolaan keuangan. Dengan mengendalikan apa yang ada di dalam internal maka akan terbentuk citra publik atas segala macam informasi yang beredar. Hal tersebut menandakan bahwa manajemen risiko instansi berfungsi untuk mengendalikan tindakan-tindakan yang akan merugikan secara kelembagaan.
Pengendalian internal yang efektif akan membuat aturan dan prosedur yang sudah disusun akan dijalankan sesuai dengan koridornya masing-masing. Semacam sebagai tindakan pengawasan yang meskipun dianggap sebagai prosedur sepele, nyatanya pengendalian ini juga menjadi sangat penting. Salah satunya adalah faktor untuk menentukan arah kebijakan yang akan diambil.
Pada instansi pemerintah, pengendalian internal menjadi penyempurna atau solusi atas beberapa macam kekurangan dalam manajemen. Namun anggapan penyempurna itu menjadi tidak berlaku ketika sistem yang dibuat sedemikian rupa tersebut juga bisa “dicurangi” oleh mereka yang ada didalamnya. Sama dengan pernyataan bahawasanya ”Peraturan diciptakan untuk dilanggar”, hal itu menjadi sangat nyata ketika sistem dan aturan pengendalian telah dibuat, namun tetap ada yang bisa “mengakali” sistem yang telah dibuat.
Sistem memang ada awalnya untuk mengendalikan, namaun jika ada yang cacat bukan berarti harus dihilangkan sama sekali bukan. Jika pada akhirnya memiliki kekurangan, sistem pengendalian tetap harus dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah. Tindakan persuasif pada dasarnya menjadi lebih baik harus langsung menemukan kecurangan yang tidak kita antisipasi sejak awal.
Resiko pengendalian internal juga ada pada saat sistem berlaku. Pengkajian ulang juga harus selalu dilakukan mengingat kondisi organisasi mengalami perubahan yang signifikan.
Selain itu, diperlukan juga tim pengendalian yang memang berkompeten untuk mendukung sistem yang diciptakan. Mengutip pada pendapat Suharso (2016) sebagaimana dicantumkan pada website klikharso.com meskipun Sistem Pengendalian Internal (SPI) diperlukan namun SPI juga memiliki beberapa kelemahan. SPI melibatkan pengambilan keputusan yang diambil oleh manusia dan tidak semua keputusan memberikan hasil yang tepat. Kecepatan pengambilan keputusan atas kondisi internal memang diperlukan, dan kadangkala mengesampingkan hasil pengendalian internal.
Kelemahan atas pengendalian internal juga dipengaruhi dengan adanya gangguan sistem seperti faktor perubahan SDM, perubahan sistem dan prosedur. Ketiga faktor ini sangat berpengaruh ketika tidak adanya adaptasi yang dilakukan oleh subjek dan objek yang terlibat. Gangguan psikologis seperti kelelahan dan kecerobohan pelaku internal ini juga menjadikan pengendalian menurun.
Pemetaan risiko pengendalian juga dapat terjadi ketika adanya kelemahan internal seperti kolusi dan korupsi di dalam SPI itu sendiri. Seperti diketahui bahwa SPI menjadi semacam bagian tersendiri dengan peringkat integritas SDM yang cukup tinggi. Namun apa yang akan terjadi jika di dalam sistem itu sendiri saling bekerja sama untuk mengelabuhi apa yang mereka laksanakan? Akan terjadi kerusakan sistem dari dalam dan akan menggerogoti organisasi secara internal. Meskipun secara penampilan tidak terlihat, nyatanya internal yang ada sangat kacau. Oleh karenanya, dengan beberapa kelemahan yang disebutkan akan menjadi pertimbangan seberapa penting pengendalian internal dalam sebuah organisasi pemerintah. Mempertimbangkan risiko, biaya dan manfaat terhadap keberadaan pengendalian internal, maka pengendalian juga memiliki plus minus tersendiri bagi organisasi. Pengendalian internal juga tidak terbatas pada manajerial perusahaan baik dari segi pengelolaan keuangan, namun juga secara keseluruhan. Pada instansi pemerintah, Pengendalian Internal dalam pelaporan keuangan instansi berpedoman pada PMK Nomor 17/PMK.09/2019 tentang Pedoman Penerapan, Penilaian, dan Reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Aturan tersebut menjadi pedoman bagi pengelola keuangan untuk menerapkan, menilai dan mereviu sejauh mana pengendalian internal yang dilakukan dalam rangka pelaporan keuangan pemerintah pusat.
Pada pemeriksaan BPK, pengendalian internal yang lemah menjadi salah satu temuan pemeriksaan yang hamper ditemukan pada keseluruhan laporan hasil pemeriksaan. Seharusnya pimpinan selaku atasan dan sebagai pengendali teknis mampu menerapkan SPI dengan baik.
Namun, dengan keadaan personil internal yang “mencelakai” sistem menjadikan apa yang telah diusahakan menjadi rusak. Selain itu, mengkaji beberapa kondisi, ada juga faktor ketidakmampuan pengendali utama untuk mengendalikan lingkungan.
Oleh karenanya, beberapa usaha pemerintah mungkin telah dilakukan seperti menyusun aturan paling rigid untuk selalu memaintenance sistem dan juga meningkatkan kompetensi bagi para pelaku pengendali sistem.
Contohnya : menerbitkan aturan mengenai pengendalian intern termasuk untuk prosedur, tata cara dan juga bagaimana cara melakukan reviu. Ada juga upaya peningkatan kompetensi misalnya di bidang keuangan dengan mengikutsertakan pejabat perbendaharaan seperti Pejabat Pembuat Surat Perintah Membayar (PPSPM), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Bendahara Pengeluaran/Penerimaan dan Staf Pengelola Keuangan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan baik secara luring dan daring.
Pada masa pandemi covid 19 pada saat ini, kegiatan bertatap muka mungkin dikurangi, namun upaya peningkatan kompetensi masih dilakukan. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kementerian Keuangan misalnya menyediakan media untuk meningkatkan kompetensi melalui website https://klc2.kemenkeu.go.id/, begitu pula dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyediakan pelatihan melalui https://elearning.kpk.go.id/, Badan Pemeriksa Keuangan melalui https://badiklatpkn.bpk.go.id/. Website tersebut bisa diakses oleh beberapa pegawai yang mungkin ingin meningkatkan kompetensi untuk melakukan pengendalian internal di bidang keuangan. Dengan meningkatkan kompetensi, maka diharap pelaku pengendalian internal mampu untuk menjalankan sistem secara keseluruhan. Meski tidak langsung menjadi sistem yang sempurna namun upaya telah dilakukan untuk mendukung hal tersebut. Dengan upaya tersebut, diharapkan juga temuan pemeriksaan BPK terkait kelemahan pengendalian keuangan dapat menemukan solusi yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H