Bakda ashar, sehari setelah resepsi terselenggara, Widuri harus kembali ke kota. Ada kerja yang harus diselesaikannya dan tidak dapat diwakilkan. Suaminya, Jo, sudah maklum akan kerja istrinya yang tak kenal waktu itu. Tidak ia ambil pusing apapun yang dikatakan tetangganya.
Sepekan berlalu. Janur kuning di pekarangan rumah kini telah berubah menjadi  kecoklatan. Sejak setelah akad selesai diucapkan, dua sejoli itu belum ada kesempatan berdua saja sebagai pengantin baru. Atau istilah bekennya, bulan madu. Hanimun.
Dan malam itu. Menjadi kali pertama mereka benar-benar menikmati waktu bersama. Di sebuah rumah berdinding kayu dan berlantai tanah sederhana milik mendiang nenek Jo. Rumah yang menjadi tempat bertumbuh Jo sejak kecil. Sejak kedua orang tuanya tiada.
"Gimana kerjaanya? Lancar?"Â Jo memulai percakapan. Mereka duduk di atas ranjang dengan sebagian badan tertutup selimut. Ia membaca buku milik Eric Weiner. Man Seeks God.
"Lancar. Sangat lancar. Saking lancarnya kami sering lembur." Widuri menimpali dengan senyuman. Tangannya masih meraba keyboard laptop, mengetikkan sesuatu.
"Kamu lelah?" Jo menatapnya.
Widuri menggeleng. "Tidak .."
"Ambil napas, rehatin dulu pikirannya."
"Iya, sayang ..."
"Iya apa?"
"Iya ... emmm ... iya napas."