Matanya menangkap setumpuk buku harianku di atas meja nakas di pojok ruangan, sejenak setelah dia masuk kamar.
Dia menatapku tersenyum, memiringkan kepala. Aku tertawa kecil, memberinya ijin untuk membukanya. "Puaskanlah hobi bacamu ..."
 Dia berjalan perlahan ke arah meja itu. Menggeser kipas angin duduk, menyisakan ruang untuk dia berjongkok. "Kamu masih nulis dark-diary?" Tanyanya. Aku berdehem, mengangguk mengiyakan sambil menutup pintu.Â
Ya, dark diary. Istilah yang dia gunakan untuk setiap tulisan-tulisanku di buku harian yang isinya semua hal-hal suram dan menyedihkan.
Diraihnya satu buku dengan sampul berwarna biru muda bertuliskan 'selling happiness'. Tertulis tahun 2010. Dibolak-baliknya lembar demi lembar. Aku mengamatinya. Dia satu-satunya yang tau isi buku harianku. Dan sepertinya dia menikmatinya. Mungkin karena hidupnya tak pernah berpapasan dengan nasib buruk.Â
Sesekali, sengaja dia membaca dengan suara agak keras jika menemukan sajak-sajak yang ku buat.
Seketika gerakan tangannya terhenti. Saat matanya sampai pada halaman yang hanya memuat noda bercak merah membentuk kata 'MATI'. Dia menatapku. Ekspresinya datar. Aku mengalihkan pandangan.
Dia paham akan bercak merah itu. Dia ingat betul, itu adalah saat titik terendah dalam hidupku. Saat itu, aku mencoba menghabisi diri. Entah keberuntungan atau kesialan, usahaku gagal. Tak seperti dugaanku, bunuh diri ternyata tak segampang menyayat nadi dengan cutter lalu mati. Takdir seakan mengejekku, 'jangan mati dulu, masih panjang penderitaan yang menanti!'
 "Mengapa?", dia bertanya tanpa melihatku, membolak-balik buku harianku yang lain.
"Mengapa apa ... ?"
"Mengapa kamu masih suka nulis hal-hal suram begini?"
"Hei, ayolah. Sudah lama kamu tak mengunjungiku. Kita bahas hal-hal lain saja yang lebih 'insightful'. Misalnya, tentang ... elit global. Atau mengapa Amerika memilih membantu Ukraina dan mengecam Rusia, tapi tidak kepada Palestina? Alih-alih membantu Yahudi Israel ... Atau tentang tagar marriage is scary dan fear mongering lain yang lagi hangat-hangatnya menghajar akal dan nurani anak muda? Atau ..  bahas tentang pengalihan isu pejabat hari ini?"
"Maka dari itu, sudah bertahun-tahun kamu menjauh dariku, aku ingin tau kabarmu. Kabar hatimu. Apakah kamu sudah membaik atau masih sama." Dia merubah posisi duduknya. Kini kakinya berselonjor bebas. "Sebelum bahas dunia dan kesemrawutannya, mari lakukan baby-step dengan memahas duniamu. Aku ingin memastikan duniamu baik-baik saja dulu."
Persahabatan kita memang unik. Kataku dalam hati. Kamu selalu dapat mengetahui apapun isi kepalaku. Dan hari ini, kamu datang. Tanpa basa-basi.Â
"Mengapa aku suka nulis hal-hal suram, ya? Emm jujur, karena ... aku tidak bisa menuliskan hal-hal bahagia yang ku alami." Jawabku setelah meneguk setengah botol air.
"Mengapa tidak bisa?"
"Mengapa ...?" Aku mengulang tanyanya. Suaraku mengambang. Pikiranku seperti mencoba meraih rangkaian kata imajiner di udara. Jariku mengetuk-ngetuk botol air yang masih ku pegang. "Karena ..." aku mengambil jeda. " ... aku tidak tau." Kemudian aku menghempaskan diri di atas kasur lantai tipis satu-satunya di kamar.
Untuk beberapa saat, kami hanya terdiam. Dia yang masih terpaku dengan bacaannya, dan aku yang dipaku pikiranku sendiri. "Ya sudahlah. Kamu istirahat saja. Kita lanjut besok." Ujarnya. Aku hanya melihat ke arahnya tanpa berkata apa-apa. Seperti belasan tahun aku telah mengenalnya akan percuma jika aku menyuruhnya tidur juga, karena dia tak pernah tidur.
Perlahan, alunan musik kecapi mandarin dari ponselku mulai memenuhi kamar. Ku biarkan seonggok tubuhku telentang, melonggarkan setiap ruas persendian. Ku pejamkan mata.Â
Kedua telapak tanganku bersejajar rapi di bawah pusar, membentuk pola segitiga terbalik pada pertemuan sesama ibu jari dan jari telunjuk. Sekarang aku mulai bernapas manual, menyadari setiap tarikan oksigen dan hembusannya yang halus dan konsisten.Â
Ku biarkan seluruh energiku tertarik ke tulang belakang. Membiarkan ia menyatu disana. Ku ikuti setiap gerakan yang ku ingat dari belajar secara daring tentang relaksasi ala Qigong.
Sembilan tahun, aku tak pernah lagi merasakan tidur nyenyak. Dan lima tahun terakhir ini, aku harus menelan pil-pil penenang yang begitu banyak setiap malam. Dua butir berwarna putih, dua butir berwarna kuning pucat dan sebutir besar kapsul berwarna merah muda. Aku tau, menelan pil-pil itu hanya membuatku tak sadar seperti mayat hidup, bukan tidur.Â
Ketika terbangun, aku mendapati tubuhku remuk luar biasa hingga memaksaku untuk kembali menelan obat, kreatin.
Dan sudah sebulan, aku mencoba melakukan relaksasi Qigong. Aku ingin menemukan tidurku, tanpa pil-pil itu. Namun, seperti meneteskan air pada tanah yang bertahun-tahun tandus, aku harus sabar untuk menjadikannya subur kembali.
Saat aku mencoba mengosongkan pikiran, Â justru semakin banyak kenangan yang bermunculan. Aku melihat seorang anak kecil yang kurus di pojok ruang dengan cahaya temaram sedang meringkuk memeluk lutut. Terdengar isakan darinya bersama suara lecutan ikat pinggang, dan kata-kata tak pantas terus dilemparkan kepadanya. Seorang perempuan gempal entah darimana , datang sempoyongan bersama aroma alkohol yang menguar. Mereka berdua bertengkar, mengeluarkan umpatan-umpatan. Bahkan menyalahkan kehadiran anak kecil yang masih menangis itu di dunia. Si pria menampar pipi perempuan itu hingga memerah, lalu pergi begitu saja.
Kemudian, semua bayangan itu berpindah. Menampakkan anak kecil yang kurus itu kedinginan di emperan toko. Dia duduk merapat pada pintu plat menghindari tempias hujan. Dengan kotak kayu berisi aneka roti kering dan air kemasan. Wajah anak itu tak asing bagiku ...
Semakin lama, detak jantungku semakin terdengar jelas olehku. Detik jarum jam. Denyut nadi. Aliran darah. Rambut dan kukuku yang memanjang. Bahkan aku seperti bisa merasakan sel-sel dalam tubuhku membelah diri.
Apakah aku sudah menyatu dengan alam semesta? Seperti kata coach Qigong di youtube itu. Tapi, aku masih dapat mendengar berisik hujan menerpa atap seng. Suara orang-orang bersautan. Bising laju kendaraan di tengah malam. Lolongan anjing tetangga. Decak cicak kawin. Dengkuran kucing. Derit pintu diterpa angin. Gemerisik dedaunan di kebun belakang kamar kost. Masih ku baui juga asap pabrik pengasapan ikan dua puluh empat jam yang berjarak dua puluh meter dari kost. Kulitku juga masih merasakan lembab kasur, juga .. hangat air mengalir di pelipisku.
Aku merasakan seseorang memegang tanganku. Tangan itu begitu dingin. Sebuah bisikan pelan di telingaku membuat mataku mengerjap-ngerjap. Dia tiba-tiba memelukku. Aku tersenyum kepadanya. "Ada apa?" Tanyaku mencoba menyembunyikan apa yang aku rasakan.
"Jangan pernah merasa sendiri, aku akan selalu menemanimu. Jangan sedih lagi ..." Dia memelukku semakin erat.
Aku membalas pelukan itu. "Setelah berpisah denganmu waktu itu, aku tak pernah lagi bersedih."
 "Jangan berbohong padaku. Lihatlah, matamu sembab. Apa mimpi-mimpi buruk itu kembali lagi?" Aku merasakan hangat di pundakku. Dia menangis. Dia tak berubah, seperti ada keterikatan dia selalu dapat merasakan apapun sedihku. Serapi apapun ku simpan. "Kamu masih menyimpan benci kepada orang tuamu?"
Aku menggeleng pelan. Sebisa mungkin tetap mempertahankan senyum. "Tidak." Ku lepas pelukan. Kemudian memegang tangannya dan mengusap air mata di pipinya. Dengan susah payah menahan tangis ku sendiri ku katakan padanya, "Selamat tinggal ..."
Aku menunduk, memandangi garis tanganku yang rumit. Memoriku kembali kepada saat itu ...Â
Saat terakhir kali aku melihatnya. Saat aku memutuskan untuk berbagi cerita kepada seorang psikolog. Saat aku ingin memperkenalkannya dengan psikolog itu, namun hanya dibalas senyuman hangat. Dan saat kamu tiba-tiba menghilang begitu aku rutin berkonsultasi.Â
(Aku mengangkat kepala. Kamu sudah pergi dari hadapanku. Tangisku pecah. Membelah deraian hujan yang masih bersemayam.)
 .... psikolog itu memberitahuku dengan lembut, bahwa kamu tak pernah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H