Matanya menangkap setumpuk buku harianku di atas meja nakas di pojok ruangan, sejenak setelah dia masuk kamar.
Dia menatapku tersenyum, memiringkan kepala. Aku tertawa kecil, memberinya ijin untuk membukanya. "Puaskanlah hobi bacamu ..."
 Dia berjalan perlahan ke arah meja itu. Menggeser kipas angin duduk, menyisakan ruang untuk dia berjongkok. "Kamu masih nulis dark-diary?" Tanyanya. Aku berdehem, mengangguk mengiyakan sambil menutup pintu.Â
Ya, dark diary. Istilah yang dia gunakan untuk setiap tulisan-tulisanku di buku harian yang isinya semua hal-hal suram dan menyedihkan.
Diraihnya satu buku dengan sampul berwarna biru muda bertuliskan 'selling happiness'. Tertulis tahun 2010. Dibolak-baliknya lembar demi lembar. Aku mengamatinya. Dia satu-satunya yang tau isi buku harianku. Dan sepertinya dia menikmatinya. Mungkin karena hidupnya tak pernah berpapasan dengan nasib buruk.Â
Sesekali, sengaja dia membaca dengan suara agak keras jika menemukan sajak-sajak yang ku buat.
Seketika gerakan tangannya terhenti. Saat matanya sampai pada halaman yang hanya memuat noda bercak merah membentuk kata 'MATI'. Dia menatapku. Ekspresinya datar. Aku mengalihkan pandangan.
Dia paham akan bercak merah itu. Dia ingat betul, itu adalah saat titik terendah dalam hidupku. Saat itu, aku mencoba menghabisi diri. Entah keberuntungan atau kesialan, usahaku gagal. Tak seperti dugaanku, bunuh diri ternyata tak segampang menyayat nadi dengan cutter lalu mati. Takdir seakan mengejekku, 'jangan mati dulu, masih panjang penderitaan yang menanti!'
 "Mengapa?", dia bertanya tanpa melihatku, membolak-balik buku harianku yang lain.
"Mengapa apa ... ?"
"Mengapa kamu masih suka nulis hal-hal suram begini?"