Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang santri

Perempuan yang cita-citanya jadi hamba Allah dan Ibu Rumah Tangga yang baik :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ah, Semua Orang Memang Gila

26 Juli 2024   08:10 Diperbarui: 26 Juli 2024   08:13 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berdiri dengan tatapan kosong. Memandang lurus pada dedaunan pohon ketapang yang meranggas secara massal. Terlihat akar tunggangnya yang kuat menyembul dari sela paving terotar. Ku titi kenangan di sepanjang jalanan itu. Mengais kembali patahan-patahan kalimat yang masih tertinggal di sana. Oo, ingin sekali aku menggamit kembali tangannya. Dan mengajaknya pulang ke rumah yang seharusnya. Namun, ia memilih mengikuti bayangan semu dalam pikirannya yang tak dapat aku kenali. Dan pahami.

Aku tak begitu mengingat bagaimana bentuk wajahnya, perawakannya, atau bahkan namanya. Aku lupa. Hanya saja, ketika dia hadir ada sesuatu dalam dadaku yang ikut bergemuruh. Aku mengenali kehadirannya melalui angin yang membisikkan bahwa 'dia ada di sini.' Aku mengenangnya begitu saja. Entah. Segala ingatan tentangnya menjadi kabur. Tapi aku masih bisa merasakannya.

Seseorang tetiba memberikanku setangkai mawar merah dengan bungkus putih kemudian menghilang ditelan keramaian. Ah iya, baru ku ingat mengapa aku berdiri disini. Di antara keramaian kota yang sedang sibuk, hiruk-pikuk pawai atas kedatangan artis dari Korea yang sengaja dibayar dengan anggaran negara oleh salah satu pejabat. Ini bukan yang pertama, kali ini untuk meramaikan pesta ulang tahun pemimpin besar kami juga sekaligus perhitungan suara atas siapa yang akan menggantikan posisinya di kursi parlemen. Aku tau dari banner besar yang terpasang di bodi belakang bus pariwisata yang mengular di jalanan. Terlihat juga satu kapal terbang milik BUMN yang sepertinya sengaja dicarter orang-orang dari pulau seberang. Mereka datang dari berbagai kalangan. Menengah ke bawah, menengah ke-atas ... dan menengah saja.

Aku memiringkan kepala, memandangi setangkai mawar di tangan. Cantik, kataku dalam hati sambil tersenyum.

Terlihat seseorang memandu dari atas helikopter canggih tanpa bising baling-baling dengan pengeras suara yang menggema. Sautan klakson kendaraan kemudian berubah jadi layaknya orkestra jalanan yang mengagumkan. Saat ini, dunia mungkin sedang memberitakan bahwa betapa demokrasi di negeri ini berhasil dan patut jadi teladan. Setidaknya artis dari Korea itu mampu mempersatukan suara bangsa. Dengan tanpa menyembunyikan fakta bahwa tingkat korupsinya berhasil menduduki peringkat lima besar.

Aku masih saja memandangi mawar di tanganku. Ini kali pertama, seseorang memberiku mawar merah. Itupun, aku tak mengenalnya. Mungkin hanya orang random yang berbagi kebahagiaan di hari bertemu artis-artis dari Korea yang bahkan aku tak mengenal mereka. Entah, katanya video-video di sosial media mereka sudah disaksikan miliyaran orang. Hampir sebagian besar penduduk bumi mengenal mereka. Tapi, sungguh aku tak mengenalnya sama sekali. Mungkin selama ini aku hidup dalam gua, pikirku.

Dua jam berlalu. Keramaian semakin menjadi-jadi. Suara manusia dan robot transportasi tak lagi dapat aku definisikan. Aku mencoba mendengarkan hasil pemilihan suara yang disiarkan langsung dari layar besar yang dipasang jadi latar belakang panggung konser artis dari Korea itu. Begini-begini aku ingin menjadi warga negara yang sedikit patriotik, minimal jika ditanya siapa saja yang menjabat aku bisa jawab. Namun, perhitungan suara itu teredam lirik-lirik lagu yang diikuti jeritan penontonnya. Ah, yasudahlah. Toh hasilnya tidak akan berdampak signifikan dalam hidupku.

Aku melenggang. Kembali berdiri di tempat semula, seperti dua jam lalu. Mengenang kembali saat pertama kali mengenalnya. Namun, sedalam apapun aku menggali memori itu, tetap saja yang ku temukan adalah kosong. Dalam kehampaan aku hanya mendapati rasa sakit, takut dan kecewa yang menjalari hatiku kemudian.

Perlahan remang-remang ruang hampa itu terisi potongan-potongan gambar yang kian menyatu, menjadi sebuah adegan dimana seorang lelaki duduk di antara rak-rak buku di perpustakaan. Dan seorang perempuan mencuri pandang diam-diam kepadanya dengan tersenyum. Aku menangis. Ingatan itu lalu menghilang. Dalam pikiran aku menjerit, dia menyukaimu! Dan kamu masih berkilah mengatakan bahwa aku hanya mengada-ngada. Sesaat kemudian, gambar seuntai rambut sebahu itu muncul, tak dapat aku lihat mimik wajahnya. Dia berjalan menuju ke arahku. Membawa mawar hitam, dan cepat sekali dia pergi seraya berucap pelan 'selamat tinggal.' Dia pergi. Pergi jauh, terbang bersama prasangkaku yang kemudian jadi nyata. sedu-sedanku semakin dalam.

Aku tertunduk. Memandangi kakiku yang kupaksakan memakai alas. Luka goresan aspal dan guratan-guratan akibat batu kerikil justru membuatku terlihat menjadi manusia paling menyedihkan. Kata orang, aku perempuan yang cukup menawan. Itu dulu. Mungkin kini tiada lagi yang tersisa dari wajah dan tubuhku.

Aku kembali terisak. Mengusapnya dengan lengan baju. Menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Aku sendiri. Semua orang pergi dariku. Tuhan? Aku tidak tau dimana keberadaan-Nya. Kemana harus aku cari-Nya?  Mungkin di atas sana Tuhan melihatku dengan penuh kasihan. Sejak awal Tuhan sudah bilang tak perlu meletakkan segala hal yang berhubungan dengan dunia ini dalam hati, tapi aku bebal.

Aku melanglang seorang diri. Mencari ketenangan di negeri yang korupsinya tak kunjung berhenti ini. Mencari cinta di tempat yang bahkan orang-orangnya tak mempercayai keberadannya. Aku bertanya dimana lelaki itu sekarang, tapi tiada satupun yang mengenalnya. Semua orang sibuk dengan keriwehan pesta hari itu. Tak ada yang bersedih. Semua orang seperti telah meninggalkan bebannya di rumah sebelum datang ke sini. Meninggalkan berita-berita kekacauan dunia.  

Aku ... mencari, Ibu ... saat begini, biasanya beliau akan sediakan teh hangat dan berkeping-keping roti kelapa. Bu .. maaf, aku sudah terlalu jauh pergi. Aku tersenyum, ingatan masa kecilku masih lekat dalam kepala. Aku tertawa kecil, dulu Ibuku selalu mengatakan bahwa kelak ketika aku dewasa aku harus jadi orang sukses. Punya banyak uang biar bisa beli banyak manisan. Aku ingat hangat tubuhnya, aku merindukan itu. Ah, aku menangis lagi dan lagi.

Aku terduduk. Di atas batu tumpul di pinggiran taman. Masih di antara keramaian orang-orang menonton konser. Sekarang apa yang terjadi padaku tak lagi dapat aku mengerti. Gerak tubuhku dan segala apa yang ku pikirkan tak lagi menjadi kehendakku sepenuhnya. aku seperti balon helium, yang bergerak mengikut angin saja tanpa tau arah. Yang aku tau, orang-orang pun juga sama. Mereka tak lagi menjadi diri mereka sendiri. Lihatlah, sudah hampir setengah hari orang-orang tak punya lelah untuk berhenti mengekor artis-artis itu. Disertai jerit-jerit yang normalnya mungkin akan merusak pita suara.  

Hasil suara sudah keluar. Seperti dugaanku, pasti dia yang terpilih. Sebagian besar yang hadir di pesta ulang tahun itu adalah pendukungnya. Mereka bersorak dan menyalakan petasan di siang bolong seperti ini. Aku memicingkan mata, memandang mereka satu per satu. Pakaian dinas yang rapi, kataku pelan.  

Terlihat beberapa orang mengamuk atas hasil suara itu. Mereka membanting kursi dan membuang-buang apa yang bisa mereka raih. Aku tersenyum membayangkan akan punya banyak teman elit nantinya. Mengapa orang-orang pada gila jabatan? Aku bertanya pada diri sendiri. Karena mereka tidak punya cinta, ku jawab.

(Ah klise, kamu punya cinta tapi kamu juga tetap gila)

"Fi .." tangan lembut seseorang memegang pundakku.

Aku bertanya siapa dia. Tapi dia hanya tersenyum manis. "Masa lupa sama aku", jawabnya. Aku sebal pertanyaanku dibalas dengan tanya balik. Aku mengamati raut wajahnya dan ah ya benar, dia sahabatku, yang selama ini sabar mendengarkan segala ceritaku dan keluh kesahku tentang dunia dan negeri yang masih sakit ini. Aku selalu suka seragamnya yang putih bersih itu. Kemudian dia mengajakku kembali, saatnya makan dan minum obat, pintanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun