Aku berdiri dengan tatapan kosong. Memandang lurus pada dedaunan pohon ketapang yang meranggas secara massal. Terlihat akar tunggangnya yang kuat menyembul dari sela paving terotar. Ku titi kenangan di sepanjang jalanan itu. Mengais kembali patahan-patahan kalimat yang masih tertinggal di sana. Oo, ingin sekali aku menggamit kembali tangannya. Dan mengajaknya pulang ke rumah yang seharusnya. Namun, ia memilih mengikuti bayangan semu dalam pikirannya yang tak dapat aku kenali. Dan pahami.
Aku tak begitu mengingat bagaimana bentuk wajahnya, perawakannya, atau bahkan namanya. Aku lupa. Hanya saja, ketika dia hadir ada sesuatu dalam dadaku yang ikut bergemuruh. Aku mengenali kehadirannya melalui angin yang membisikkan bahwa 'dia ada di sini.' Aku mengenangnya begitu saja. Entah. Segala ingatan tentangnya menjadi kabur. Tapi aku masih bisa merasakannya.
Seseorang tetiba memberikanku setangkai mawar merah dengan bungkus putih kemudian menghilang ditelan keramaian. Ah iya, baru ku ingat mengapa aku berdiri disini. Di antara keramaian kota yang sedang sibuk, hiruk-pikuk pawai atas kedatangan artis dari Korea yang sengaja dibayar dengan anggaran negara oleh salah satu pejabat. Ini bukan yang pertama, kali ini untuk meramaikan pesta ulang tahun pemimpin besar kami juga sekaligus perhitungan suara atas siapa yang akan menggantikan posisinya di kursi parlemen. Aku tau dari banner besar yang terpasang di bodi belakang bus pariwisata yang mengular di jalanan. Terlihat juga satu kapal terbang milik BUMN yang sepertinya sengaja dicarter orang-orang dari pulau seberang. Mereka datang dari berbagai kalangan. Menengah ke bawah, menengah ke-atas ... dan menengah saja.
Aku memiringkan kepala, memandangi setangkai mawar di tangan. Cantik, kataku dalam hati sambil tersenyum.
Terlihat seseorang memandu dari atas helikopter canggih tanpa bising baling-baling dengan pengeras suara yang menggema. Sautan klakson kendaraan kemudian berubah jadi layaknya orkestra jalanan yang mengagumkan. Saat ini, dunia mungkin sedang memberitakan bahwa betapa demokrasi di negeri ini berhasil dan patut jadi teladan. Setidaknya artis dari Korea itu mampu mempersatukan suara bangsa. Dengan tanpa menyembunyikan fakta bahwa tingkat korupsinya berhasil menduduki peringkat lima besar.
Aku masih saja memandangi mawar di tanganku. Ini kali pertama, seseorang memberiku mawar merah. Itupun, aku tak mengenalnya. Mungkin hanya orang random yang berbagi kebahagiaan di hari bertemu artis-artis dari Korea yang bahkan aku tak mengenal mereka. Entah, katanya video-video di sosial media mereka sudah disaksikan miliyaran orang. Hampir sebagian besar penduduk bumi mengenal mereka. Tapi, sungguh aku tak mengenalnya sama sekali. Mungkin selama ini aku hidup dalam gua, pikirku.
Dua jam berlalu. Keramaian semakin menjadi-jadi. Suara manusia dan robot transportasi tak lagi dapat aku definisikan. Aku mencoba mendengarkan hasil pemilihan suara yang disiarkan langsung dari layar besar yang dipasang jadi latar belakang panggung konser artis dari Korea itu. Begini-begini aku ingin menjadi warga negara yang sedikit patriotik, minimal jika ditanya siapa saja yang menjabat aku bisa jawab. Namun, perhitungan suara itu teredam lirik-lirik lagu yang diikuti jeritan penontonnya. Ah, yasudahlah. Toh hasilnya tidak akan berdampak signifikan dalam hidupku.
Aku melenggang. Kembali berdiri di tempat semula, seperti dua jam lalu. Mengenang kembali saat pertama kali mengenalnya. Namun, sedalam apapun aku menggali memori itu, tetap saja yang ku temukan adalah kosong. Dalam kehampaan aku hanya mendapati rasa sakit, takut dan kecewa yang menjalari hatiku kemudian.
Perlahan remang-remang ruang hampa itu terisi potongan-potongan gambar yang kian menyatu, menjadi sebuah adegan dimana seorang lelaki duduk di antara rak-rak buku di perpustakaan. Dan seorang perempuan mencuri pandang diam-diam kepadanya dengan tersenyum. Aku menangis. Ingatan itu lalu menghilang. Dalam pikiran aku menjerit, dia menyukaimu! Dan kamu masih berkilah mengatakan bahwa aku hanya mengada-ngada. Sesaat kemudian, gambar seuntai rambut sebahu itu muncul, tak dapat aku lihat mimik wajahnya. Dia berjalan menuju ke arahku. Membawa mawar hitam, dan cepat sekali dia pergi seraya berucap pelan 'selamat tinggal.' Dia pergi. Pergi jauh, terbang bersama prasangkaku yang kemudian jadi nyata. sedu-sedanku semakin dalam.
Aku tertunduk. Memandangi kakiku yang kupaksakan memakai alas. Luka goresan aspal dan guratan-guratan akibat batu kerikil justru membuatku terlihat menjadi manusia paling menyedihkan. Kata orang, aku perempuan yang cukup menawan. Itu dulu. Mungkin kini tiada lagi yang tersisa dari wajah dan tubuhku.
Aku kembali terisak. Mengusapnya dengan lengan baju. Menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Aku sendiri. Semua orang pergi dariku. Tuhan? Aku tidak tau dimana keberadaan-Nya. Kemana harus aku cari-Nya? Â Mungkin di atas sana Tuhan melihatku dengan penuh kasihan. Sejak awal Tuhan sudah bilang tak perlu meletakkan segala hal yang berhubungan dengan dunia ini dalam hati, tapi aku bebal.