Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Perempuan yang cita-citanya jadi hamba Allah dan Ibu Rumah Tangga yang baik :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak-Anak Bersayap

8 Desember 2022   00:57 Diperbarui: 8 Desember 2022   01:01 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hei, ini bukan mimpi. Aku dapat melayang di udara. Menembus dedaunan lebat hutan yang memayungi desaku. Menyaksikan air terjun jatuh bedebam ke tanah dengan tubuh melayang. Mengitari pelangi yang warnanya ternyata lebih banyak dari yang diajarkan ibu guru saat masih duduk di taman kanak-kanak dulu. Ini bukan mimpi. Ini bukan mimpii! Sungguh, ini nyata. Aku merasakan sayap-sayapku mengepak. Aku mengikuti liukan sungai yang berlompatan ikannya hendak mengikuti laju kedua sayapku. Aku melambai pada jendela-jendela kecil di pesawat yang melintas, melakukan manuver ke depan ke belakang seperti si kecil burung kolibri.

Terima kasih ya Allah, akhirnya aku punya sayap. Akhirnya aku bisa terbang. Aku akan menunjukkannya pada Rio dan Ria, dua bersaudara yang mengatakan bahwa aku tidak akan pernah dapat mewujudkan mimpiku yang ingin memiliki sepasang sayap dan dapat terbang ke angkasa. Sayap hanya untuk burung, kata Ria sambil tertawa geli.

Aku terbang lagi. Aku melihat dari kejauhan, di sana, di bagian bumi dimana ada negeri yang banyak anak-anak seusiaku hilir mudik terbang bebas di langit. Mereka mempunyai sayap-sayap yang bahkan lebih indah dari sayap milikku. Tidak hanya putih. Tapi warna-warni. Sayap mereka juga terlihat begitu kokoh, lebih lebar. Seperti terbuat dari permata dan butiran mutiara yang indah. Aku menghampiri mereka, bertanya apakah mau bermain denganku.

"Darimana engkau berasal wahai, kawan?," mereka balik bertanya.

Aku menjelaskan negeri asalku. Kemudian aku menunjuk deretan pulau yang amat panjang, yang terimpit segala bagiannya oleh luasnya samudra biru. Mereka heran, "itukah negerimu? Yang berwarna merah itu? Aku baru melihatnya." Dan, aku baru sadar ternyata negeri tempatku tinggal dari atas langit berwarna merah.

"Iya, itulah negeriku. Tapi sejujurnya negeriku itu hamparan warna hijau menyegarkan mata. Indah dan subur bagai dapat karunia potongan tanah dari surga. Sungai mengalir jernih, segala buah dan sayur tak terhitung jenisnya. Berjuta jenis binatang banyak hidup di negeriku. Orang-orang di desaku baik hati. Suka gotong royong. dan menjunjung tinggi nilai agama juga." Mereka berdecak kagum. "Sungguh sempurna negeri asalmu, kawan. Sepertinya kami ingin sekali berkunjung ke sana."

Aku berpikir sejenak, "hanya saja, entah mengapa orang tua-tua kami selalu merintih dan mengeluh untuk hanya dapat sepiring nasi untuk makan satu keluarga. Hutan-hutan di desa kami pun hampir tak tersisa pohonnya. Buah dan sayur banyak yang busuk karena tak laku dijual. Aku tidak tau, mengapa sekolahku juga harus terputus. Aku masih terlalu kecil untuk memahami semua itu." Kemudian riang aku melanjutkan, "aku hanya tau bahwa setiap malam aku dan kawan-kawan bermain petak umpet, siang mandi di kali atau menyusuri kebun-kebun orang dan melakukan kejahilan mengambil buah-buah yang sengaja mereka tanam. Atau bolos mengaji setiap malam kamis, karena kyai menyuruh kami menghafal bacaan sholat dan surat-surat pendek di depan kawan-kawan lain." Jelasku panjang lebar. Dan mereka mengganggukan kepala sambil tertawa pelan.

Kemudian mereka mengajakku terbang menuju langit negeri mereka. Tidak ada hamparan tanah yang ku lihat. Asap membumbung tinggi, membuat penglihatanku kabur. Suara-suara ledakan tangis anak-anak dan orang tua, juga senjata menyatu. 

"Dimana engkau tinggal wahai kawan yang baik hati?," tanyaku.

"Di sana." Mataku mengikuti jari mereka yang menunjuk suatu titik tidak jelas. Aku mengucek mataku, kabut semakin tebal. Dan yang berhasil mataku tangkap adalah robohan bangunan. Jalan-jalan yang di lintasi mesin-mesin penghancur dengan suaranya yang menakutkan. Dan gundukan-gundukan tubuh manusia. Benarkah yang ku lihat?

Mereka tersenyum seakan dapat membaca pikiranku, "kamu tidak salah lihat, memang itulah negeri kami. Rumah kami." Air mataku menetes. Jatuh, entah ke bagian bumi mana. Atau lebih dulu kering tersapu angin sebelum mendarat. "Apapun yang terjadi, itulah rumah kami. Tempat kami bersujud untuk menghadap tuhan. Allah subhanallahu wa ta'ala. Dan, tempat kami mengaji dan melantunkan kalam-kalam indah milik-nya. Di sanalah ada ibu kami yang selalu memastikan perut kami terisi, meski beliau sendiri lemah. Di sanalah ada bapak kami yang siap siaga dengan senjata apapun untuk melindungi kami. Memastikan kami aman. Dan di sanalah ada mereka-mereka yang selalu berpesan pada kami, isy kariman au mut syahidan! Kami harus hidup mulia, merdeka! Atau mati syahid di medan perang. Membela negeri kami. Membela yang suci bagi kami..." Mereka tetap tersenyum. Senyum tulus dan ikhlas yang tidak pernah aku lihat pada anak-anak seusia kami. Pipiku semakin becek, dan dalam waktu bersamaan sayapku terasa melemah, tak dapat lagi menopang tubuhku. "Tidak boleh ada kesedihan dalam hati kita, karena ketika kita bersedih sayap kita akan melemah. Sayap ini diberikan Tuhan tidak untuk menopang kesengsaraan." Kata mereka sambil menolongku memegangi tubuhku yang hampir terjerembab ke laut yang penuh dengan bungkus-bungkus makanan dan deterjen di bawah sana.

Aku melihat kepada satu-satunya anak perempuan sebayaku di antara mereka. "Bagaimana engkau bisa mendapat sayap itu wahai, kawan? Ah iya, siapakah namamu?" Aku bertanya karena sungguh takjub. Sayap itu tak seperti milik yang lain. Paling indah di antara mereka. "Namaku, Masoudah." Dia tersenyum dan mulai bercerita, sungguh cantik.

" ... Subuh tadi, datang segerombol orang-orang berseragam. Lengkap dengan senjata. Tzahal, utusan musuh-musuh kami. Di dalam gelap, aku tidak bisa melihat apapun kecuali peluru-peluru mereka yang mengkilat mengenai udara kosong dan jantung-jantung bapak-bapak kami yang menjaga kami di luar. Padahal hari itu adalah yaum an-nakbah. Hari dimana kami akan berkumpul di padang luas, atau di pos-pos pengungsian untuk memperingati penderitaan saudara-saudara kami yang terusir dari rumah mereka sendiri." Masoudah berhenti, dia memegang tanganku lembut. Kemudian melanjutkan. "Aku mengintip dari celah dinding roboh kamar adiku, mereka tetap saja memaksa masuk ke dalam tumpukan puing-puing rumah kami. Mereka menyeret ibu yang masih dalam keadaan sholat rakaat terakhir. Mereka bertanya tentang keberadaan mujahid-mujahid. Aku tau yang mereka maksud. Dan ibu pun juga tau. Tapi ibu hanya diam. Ibu terbaring, dengan darah yang mengalir di dahi ibu masih melanjutkan bacaan sholatnya. Orang-orang itu marah. Merasa dihiraukan. Dan langsung mengenakan isi peluru mereka ke dada ibu. Aku mengambil potongan puing besar, mengenakan pada salah satu kaki mereka. Tapi alas-alas kaki yang mereka pakai itu sungguh keras. Aku berlari karena mereka mengejarku, dan aku langsung kembali ke kamar adikku yang masih bayi. Aku mendekapnya, melindunginya dari suara keras mereka. Dalam hatiku tak hentinya berdoa, semoga Allah selamatkan adik kecilku ini. Mereka berhasil menangkapku, memukul kepalaku dengan senapan yang mereka bawa dan menembakkan isinya. Setelah itu hanya satu yang ku ingat dan aku senang karena syukurlah adiku masih tertidur. Dan bernafas lembut. Terima kasih ya Allah ... "

Cerita itu sungguh menyayat hati. Kini sayapku sempurna hilang. Kesedihan memenuhi hatiku. Perih. Bahkan mengumpat orang-orang yang terus mengirimi mereka biji-biji timah yang sangat panas meski mereka hanya melempar kerikil. "Rombongan pesawat-pesawat kecil yang mereka terbangkan di udara itu menyemburkan gas-gas yang membakar tenggorokan dan membuat pedih mata, memutus saluran pernapasan. Puluhan anak-anak tak berdosa, harus menemukan syahidnya saat belajar di pos-pos. Atau sekedar hendak mencari udara segar di luar tenda pengungsian." Lanjut masoudah.

Ya Allah, dapatkah gerombolan Ababil datang kembali seperti kisah yang diceritakan Kyai saat jadwal mengaji sirah, sejarah Nabi Muhammad, membakar musuh-musuh negeri kawan-kawanku ini seperti ulat yang menggerogoti daun?

Langit di atas negeri itu tiba-tiba menyingkap. Menurunkan hujan yang airnya tak seperti air hujan selayaknya. Air itu sungguh manis. Dan segar. Seruan adzan menggema, menggetarkan seisi udara. Dari langit aku melihat negeri itu berubah, sungguh tak dapat aku lukiskan indahnya. Warna-warna itu bukan warna yang pernah aku lihat di bumi. Sayap-sayap menyembul satu per satu menuju pintu langit yang dibuka. Mereka disambut, seluruh alam menyalami mereka dengan iringan nada-nada semesta yang sangat merdu. Saatnya untuk pulang ... Sebuah suara menggiring mereka. Aku bergetar.  

Aku masih ingin bermain dengan mereka. Bersama mereka. Bercerita banyak hal lagi. Mereka kawan yang baik. Tapi sayang, aku tidak bisa ikut dalam saf-saf mereka itu. Ada sebuah dinding tak terlihat yang mencegahku. Masoudah dan kawan-kawan membantuku kembali ke negeri asalku. Ma'assalamah, kata mereka. Aku tidak mau berpisah dengan mereka. Ini terlalu singkat. Aku menangis.

Aku kembali ke rumah. Namun, rumahku begitu ramai dengan tetangga-tetangga dan kawan-kawan mengajiku. Serta ada Kyai, yang memimpin doa di depan tubuh yang tertidur pulas. Ada Umi, yang menangis. Dan Abi yang menenangkan Umi, mengelus bahunya lembut.

Tubuh yang tergolek tak berdaya itu, ternyata tubuhku. Yang sudah tak lagi bernapas. Tak lagi dapat bergerak. Aku sudah tiada. Ingatan terakhir dalam kepalaku, adalah aku mandi di kali bersama kawan-kawan. Setelah itu, aku juga tak ingat apapun karena kepalaku sakit terantuk batu besar setelah kalah dengan arus deras yang tiba-tiba datang dari muara.

Dua sosok perempuan cantik bergaun biru langit, dan bersayap indah menghampiriku. Tersenyum dan mengatakan bahwa sudah waktunya aku untuk pulang. "Aku sudah ada di rumah sekarang," kataku. Tapi dua sosok perempuan cantik bersayap indah itu hanya tersenyum. Sayapku kembali mengembang. Itu artinya aku akan dapat menyusul Masoudah dan kawan-kawan dari negeri seberang itu lagi, kataku pelan. Dua sosok perempuan cantik bersayap indah itu tersenyum lagi, menggelengkan kepala. Katanya tidak bisa. Mereka menjelaskan sesuatu yang tidak aku pahami.

Aku mencium pipi Umi dan Abi, tapi mereka tak menyadari. Mereka tak henti-hentinya menangis, di sela-sela bacaan ayat suci di samping kepalaku. Umi menciumi seluruh wajahku. Air mataku menetes. Assalamualaikum, ... ucapku terakhir. Dan tanpa Umi sadari, beliau menjawab, waalaikumussalam. Semua orang yang hadir terkesiap. Karena tidak ada yang mengucapkan salam. Begitulah seorang ibu, hatinya selalu terpaut meski anak sudah tiada. Ya Allah jaga selalu Abi dan Umi-ku. Semoga di kehidupan abadi kelak kami dapat berkumpul lagi.

Dua sosok perempuan cantik bersayap indah itu menggandeng tanganku. Membawaku semakin jauh. Jauh ke langit. Memasuki pintunya yang terbuka lebar. Aisyah cinta Umi ... cinta Abi. Cinta semuanya.

Keterangan :

  • Isy kariman au mut syahidan : Artinya, "hidup mulia atau mati syahid". Ungkapan ini pertama kali dikemukakan oleh Asma Binti Abu Bakar kepada puteranya, Abdullah bin Zubair. Yang bertujuan untuk memotivasi para muslimin.
  • Tzahal : Adalah sebutan dalam bahasa Ibrani  bagi angkatan bersenjata Israel, yang terdiri atas Angkatan Darat Israel, Angkatan Udara Israel dan Angkatan Laut Israel. Dalam bahasa Inggris, singkatannya lebih dikenal sebagai Israel Defence Forces atau disingkat IDF.
  • Yaum an-Nakbah : Merupakan hari peringatan tahunan untuk pengusiran bangsa Palestina yang mendorong terbentuknya Israel pada tahun 1948.
  • Ma'assalamah : Selamat tinggal dalam bahasa arab.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun